My Crazy Fear - 03

1053 Kata
“Jadi, apa rencanamu setelah ini, Hamilton Jewell?” tanya seorang perempuan tua berambut putih, yang sedang duduk di depan seorang pria muda berambut kuning cerah. Mereka saat ini sedang duduk di kursi empuk, saling berhadapan, di sebuah ruangan luas nan nyaman yang dihiasi banyak sekali lukisan abstrak di tiap dindingnya. Hamilton Jewell, pria si rambut kuning itu, terlihat menundukkan kepalanya. Ekspresinya tampak seperti orang yang sedang mencemaskan sesuatu, sangat gelisah dan risau. Bahkan dia tidak mendengar pertanyaan yang barusan diucapkan oleh perempuan itu. Pikirannya mengambang ke mana-mana, mukanya jadi tampak begitu ketakutan. “Hamilton Jewell? Kau mendengarku?” Seketika, dia kembali sadar dari lamunannya yang traumatis. “Ah, ya!? K-Kenapa!?” “Aku tanya, apa rencanamu setelah ini? Sejauh ini, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, dengan berbagai cara, untuk menyembuhkan Haphephobia-mu, dan kau juga sudah mengeluarkan banyak sekali uang untuk itu, tapi—” “T-Tolong, jangan! Jangan katakan hal seperti itu! Aku tidak merasa kecewa padamu, aku yang salah di sini, aku yang menolak untuk sembuh, bukan kau yang tidak mampu menyembuhkanku. Jangan salah paham, oke? Aku tidak kecewa pada setiap metode penyembuhanmu, jujur, itu sangat berguna. Aku beberapa kali sembuh oleh setiap usahamu, tapi, aku selalu kembali lagi ke titik awal, atas kemauanku sendiri. Entahlah, aku merasa, ketakutanku sudah menuju ke tahap ekstrim.” Wanita tua itu hanya menghela napas. “Jadi, apa rencanamu setelah ini?” “Aku tidak tahu, aku bingung,” Muka Hamilton jadi pucat saat mengatakannya. “Aku merasa tidak punya masa depan.” “Tolong jangan katakan hal yang seperti itu, Hamilton. Setiap orang punya masa depannya masing-masing. Aku paham kondisimu, tapi aku yakin, kau punya masa depan. Tidak apa-apa bersedih, tidak apa-apa menangis. Tapi tetaplah bangkit, karena aku yakin, kau juga punya masa depan yang cerah.” Hamilton termenung. Entah, sepertinya, kata-kata yang diucapkan oleh psikiaternya sudah terdengar sangat klise, sampai Hamilton berasa ingin muntah, tapi anehnya dia merasa apa yang dikatakan wanita tua itu membuatnya ingin menangis. Sepulang dari kediaman psikiater langganannya, Hamilton melepas bajunya dan tidur di ranjangnya dengan tengkurap. Dia kembali mengingat apa yang dikatakan oleh wanita tua itu, dan mau ditentang bagaimana pun, perkataannya sangat mempengaruhi pikiran Hamilton. Merasakan gejolak yang tidak biasa, Hamilton berpikir untuk mencari cara agar dia bisa menyembuhkan penyakitnya ini secepat mungkin, dia tidak ingin hidup berdampingan dengan itu selamanya. Hamilton ingin hidup normal seperti orang-orang pada umumnya. Malam itu, Hamilton berpikir dan berpikir, sampai akhirnya dia mendapatkan suatu ide. Hamilton segera membuka laptopnya, dan mencari sesuatu yang terlintas di pikirannya lewat internet, menemukan situs yang cocok, ia segera klik dan baca kalimat per kalimat yang tersajikan di dalamnya. Memahami isi dari artikel itu, Hamilton melamun sejenak. Dari berbagai cara, sepertinya dia harus memilih cara yang ekstrim agar penyakitnya bisa sembuh dengan cepat. Haphephobia adalah suatu kondisi di mana seseorang punya ketakutan yang berlebih pada sentuhan fisik orang lain. Hamilton mengalami kondisi itu dari ia kecil, bayangkan saja, ketika dipeluk oleh ibunya saja, dia merasa tidak nyaman dan merinding ketakutan. Rasanya seperti sedang menyentuh sesuatu yang menyeramkan. Memang aneh, dan agak sulit untuk menjelaskannya, tapi begitulah kondisi dari seorang pengidap haphephobia. Banyak hal yang ingin Hamilton lakukan jika rasa takutnya hilang, dia ingin memeluk ibunya dengan erat, menepuk tangan temannya, mencubit pipi adiknya, dan mencium orang yang ia cintai. Sayangnya, itu masih terlalu sulit untuk digapai. Ponselnya berdenting, tanda menerima pesan yang masuk, dan Hamilton segera membacanya. Dia tersenyum getir saat rencananya bisa membuahkan hasil. Dari semua orang, hanya Samuel yang membalas pesannya, dan memberikan informasi kalau di tempatnya ada lowongan. Ya, benar. Rencana Hamilton adalah bekerja di suatu tempat yang dapat merangsang rasa takutnya, seperti di tempat-tempat yang ramai, banyak orangnya, sehingga sentuhan secara sengaja maupun tidak sengaja, akan selalu terjadi tiap saat. Sebenarnya tubuh Hamilton gemetar ketakutan saat membaca kabar baik yang dikirimkan Samuel, tapi dia sangat senang. Membalas pesan itu, Hamilton mengatakan pada Samuel, bahwa dia sangat berterima kasih atas informasi itu dan siap untuk bekerja di sana. Setelah berbasa-basi sedikit dengan Samuel, akhirnya Hamilton mengakhiri pembicaraan itu dengan kata ‘sampai jumpa di sana’, meski di sisi lain, ia ingin menolak rencana yang disusunnya sendiri. Dari informasi yang telah diterima, Hamilton diharuskan datang Jumat pagi, dan tempat ia bekerja adalah club malam, yang artinya, sebuah tempat hingar bingar yang selalu didatangi oleh banyak orang. Hamilton tahu betul resiko dari rencananya ini, tapi dia tidak bisa mundur, sebab dia ingin memiliki masa depan yang cerah. Hamilton sangat berterima kasih pada segala usaha yang dilakukan oleh psikiaternya, tapi sepertinya satu-satunya cara agar dia sembuh, adalah menenggelamkan diri ke tempat sumber rasa takutnya. Ia bisa membayangkan bagaimana seramnya berdiri di sekitar banyak orang, tapi tidak ada cara lain lagi. Hamilton benar-benar ingin sembuh dan melanjutkan hidup secara normal. Selain itu, dia juga butuh uang receh untuk jajan, sebab belakangan ini, orang tuanya sering telat mentransfer uang jajannya. Hamilton berharap semoga dengan ini penyakitnya bisa sembuh seratus persen. Jumat paginya, ia segera bangun dan bersiap-siap untuk datang ke club. Memang, clubnya dibuka hanya di malam hari, tapi khusus di hari-hari weekend, club selalu dibuka dari pagi. Sebelum berangkat, Hamilton menyantap sarapannya terlebih dahulu, sembari memegang hapenya, berselancara di sosial media. Tiba-tiba dia menemukan info menarik, karena Samuel mengirim pesan kalau Hamilton akan bekerja menjadi seorang host di club malam, yang artinya, pekerjaan yang akan ia peroleh, adalah pekerjaan yang penuh dengan sentuhan orang lain. Sangat horor jika membayangkannya dari sudut pandang haphephobia, Tapi Hamilton menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. Dia tidak boleh tegang, jutsru itu bagus, karena pekerjaan itulah yang cocok untuk dijadikan sebagai terapi penyembuhannya. Hanya itu, seperti yang Hamilton pikirkan berulang-ulang, satu-satunya cara untuknya bisa hidup normal seperti orang lain. Hamilton yakin, dengan menerima pekerjaan ini, dia akan menghadapi sumber rasa takutnya dalam tingkat yang sangat ekstrim. Entah, apa yang akan terjadi nanti, tapi  apapun itu, dia harus berani menghadapinya. Hamilton terus meyakinkan dirinya sendiri untuk terus maju dan jangan menyerah, ini semua demi masa depannya. Demi cita-citanya. Demi harapannya. Pikiran-pikiran yang traumatis dan menimbulkan rasa takut terus bermunculan saat Hamilton menerima pesan dari Samuel, tapi dia terus menarik napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. “Tenanglah, Hamilton. Jangan khawatir, semua akan berjalan baik-baik saja. Kau akan mendapatkan hasilnya kelak. Ini demi masa depanmu.” ucap Hamilton pada dirinya sendiri sebelum akhirnya keluar dari rumahnya dan berangkat ke lokasi club memakai mobil sport-nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN