Tumbangnya Lizzie membuat Colin cemas, karena sasaran Paul kini telah berubah. Lelaki berambut hitam yang merupakan mentornya itu, tampak berlari kencang ke arah Colin yang sedang memundurkan langkahnya dengan gemetar. Sambil berlari, Paul berteriak-teriak, mengungkapkan bahwa dirinya jijik pada sikap Colin yang tidak bisa diandalkan dan seperti seorang pecundang.
Membuat para penonton, yang juga mendengar dengan jelas percakapan-percakapan yang terlontar dari mulut para peserta yang sedang bertanding, jadi ikut merasa tegang dan histeris karena sebagian dari mereka memposisikan diri sebagai Colin, dan sebagiannya lagi tampak menyoraki Paul agar menghabisi lawannya dengan cepat, karena mereka memposisikan dirinya sebagai Sang Mentor.
Akhirnya, seluruh penonton perempuan di setiap bangku menjerit ketika wajah Colin terhajar oleh serangan tinju dari Paul hingga lelaki berambut biru itu terbanting keras dan berguling-guling di tanah, membuat pakaiannya jadi kotor karena terselimuti oleh debu-debu dari permukaan arena.
Semua penonton laki-laki bersorak dengan gembira menyaksikan Paul berhasil melancarkan serangannya pada muka Colin, seolah-olah mereka lah yang telah melakukannya, sehingga kepuasan yang liar muncul di benak tiap lelaki.
Namun, kegembiraan para penonton liar yang didominasi oleh kaum laki-laki, terhenti saat melihat Lizzie kembali bangun dari posisi berbaringnya dan berlari dengan gaya membungkuk untuk menyeruduk punggung Paul.
Sadar pada keberadaan seseorang yang hendak menyerangnya dari belakang, Paul langsung menoleh dan melompat ke samping dengan cepat. Sayangnya, Lizzie bisa mengendalikan gaya berlarinya sehingga pergerakannya tidak berhenti dan terus menerobos menuju Paul.
Tidak suka disudutkan seperti itu, Paul langsung nekat untuk ikut datang ke arah Lizzie agar bisa saling menyerang dalam jarak dekat.
"KAU MEMBUATKU MUAK, b******k!"
Raungan Paul telah menciptakan suasana jadi semakin menegangkan, apalagi Lizzie langsung menegakkan badannya dan membalas omongan Paul dengan teriakannya yang tidak kalah membahana.
"JUSTRU AKU YANG SEHARUSNYA BILANG BEGITU PADAMU, b******n!"
Hingga kemudian,
BUAG!
Serangan tinju dari dua arah yang berlawanan mengudara dengan kecepatan yang sangat gila sampai akhirnya mendarat dan saling menabrak dan membenturkan tinjuannya masing-masing ke tiap kepalan tangan mereka dan tertampaklah darah yang mengucur di tangan kanan Lizzie dan tangan kanan Paul, karena saat ini tangan mereka saling terbentur dalam tekanan yang sangat kuat.
Dalam posisi itu, Lizzie mulai berbicara, hingga suaranya menggelegar-gelegar di tengah arena.
"KAU TIDAK BECUS MENGURUSI PAHLAWAN-PAHLAWANMU! KAU TIDAK COCOK MENJADI MENTORKU! LEBIH BAIK KAU UNDUR DIRI DARI HADAPANKU! DAN MENYERAHLAH! b******n!"
Tidak terima dirinya dibentak-bentak separah itu oleh pahlawannya sendiri, Paul menggelemetukkan rahangnya dan mulai meraung-raung seperti seekor singa yang menunjukkan kekuasaan sejatinya pada semua orang.
"KAU PIKIR AKU PEDULI PADA PEMIKIRANMU, HAH!? TERIAKKAN SAJA SEMUA ISI KEPALAMU SEKARANG! AGAR MEREKA SEMUA TAHU BAHWA KAU TIDAK LEBIH DARI SEKEDAR PEREMPUAN t***l YANG TIDAK TAHU DIRI!"
Menyaksikan itu, Leo sangat tercengang, tidak menyangka kalau gadis itu punya keberanian yang sangat besar sampai menunjukkan kebenciannya yang sangat dalam kepada mentornya sendiri. Tentu saja Leo terkejut karena semua pahlawan bimbingannya tidak ada yang seperti itu, mereka semua patuh dan hormat pada dirinya. Itulah mengapa dia terkaget menyadari bahwa Paul punya pahlawan pembangkang di antara sepuluh pahlawannya, dan itu benar-benar mencengangkan.
Bukan hanya Leo yang terkejut pada situasi itu, Gissel dan Lolita pun menunjukkan kekagetannya yang besar, dua perempuan itu tidak pernah menduga kalau seorang pahlawan bisa memberontak sebegitu kuatnya pada mentornya sendiri. Sungguh, ada kekaguman yang terbersit di benak Gissel saat menonton pertandingan itu, entah mengapa dia jadi sangat kagum pada Paul yang tampak tegar dan kuat meski punya pahlawan yang sangat pemberontak.
"Gadis itu benar-benar tidak punya rasa hormat sedikitpun pada mentornya sendiri," kata Lolita dengan hidungnya yang merengut, tidak suka melihat perilaku ganas dari Lizzie. "... menjijikan."
"Tidak, Lolita!" Gissel langsung berseru pada pelayan pendampingnya yang duduk di sebelahnya, mukanya didekatkan agar Lolita bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
"Memang seperti itulah sikap manusia sesungguhnya, tidak mungkin seorang manusia bisa dengan mudah patuh pada seseorang! Lebih baik begitu, dan itu normal! Karena tiap-tiap manusia memang punya keyakinannya sendiri! Dan aku suka dengan pemberontakannya! Itu jadi terkesan bahwa seorang pahlawan pun tidak wajib untuk mematuhi mentornya, selama dia punya keyakinannya sendiri, itu sudah cukup!"
"Tapi, Nona--"
Saat Lolita hendak menimpali omongan Gissel, suara teriakan yang kembali melengking di tengah arena membuat dua perempuan itu refleks memandang ke lapangan, begitu juga dengan seluruh penonton di setiap penjuru, mereka semua langsung memusatkan perhatiannya ke sumber suara.
"AAAAAAAAARGH!"
Lizzie menjerit kencang karena tidak kuat menahan kepalan tangan Paul yang menempel di kepalan tangan kanannya sehingga ia pun jadi lemas dan berakhir terkena tinjuan keras dari lawannya tepat ke dagunya, sampai akhirnya gadis tomboi itu terhempas ke atas, melayang-layang sejenak dan terjerembab ke permukaan tanah, dengan kepala duluan yang mendarat.
Seperti biasa, para penonton langsung bergemuruh riuh, menyorakki Paul sebagai mentor yang tangguh karena tidak mudah kalah saat bertarung melawan pahlawan-pahlawannya. Bukan hanya Gissel yang mulai terkagum, mentor-mentor lain pun, yang berasal dari berbagai negara, jadi mengagumi keperkasaan Paul yang sangat hebat.
"SEKARANG APA LAGI, HAH!?" bentak Paul pada Lizzie yang kini terbaring lemas di tanah. "KAU MAU MELAKUKAN APA LAGI!?"
"Tunggu, di mana Colin?" tanya Cherry dari bangkunya saat menyadari bahwa keberadaan Colin lenyap begitu saja dari tengah arena. "Jangan-jangan dia kabur!?"
"Lihat saja ke depan," timpal Nico dengan tersenyum dingin, kaca matanya berkilat-kilat saat terkena sinar terang dari matahari. "Jangan berani-beraninya kalian meremehkan kekasihku."
"SEPERTINYA AKAN TERJADI SESUATU YANG MENGEJUTKAN." Dari tadi diam saja, akhirnya Roswel berunjuk gigi untuk memulai debutnya sebagai seorang pembawa acara. "MARI KITA LIHAT, APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA."
Sebetulnya Roswel mengatakan itu tidak sambil teriak-teriak, tapi karena di pipinya tertempel sebuah mikrofon mungil, menyebabkan setiap ucapan yang dilontarkannya jadi terdengar jelas oleh semua orang.
Begitu juga dengan Paul, yang merasa ganjil saat mendengar perkataan dari pelayan pendampingnya. Paul pun lekas menoleh dan memandangi Roswel dengan kesal, "KAU INI BICARA APA, b******k!? JELAS-JELAS MEREKA BERDUA SUDAH TUMBANG OLEHKU! DAN AKULAH PEMEN--"
Perkataan Paul terpotong saat mulutnya tiba-tiba dibekap dengan sebuah kain tebal oleh seseorang dari belakang, dan dengan gesitnya, orang itu memelintirkan leher Sang Mentor hingga berputar ke belakang, menyebabkan terciptanya suara retakan tulang yang mengerikan, dan tertampaklah wujud dari seorang lelaki berambut biru yang kini bertelanjang d**a, sebab pakaiannya dijadikan sebagai alat pembekap dan pemelintir leher lawannya.
Ternyata itu adalah Colin!
"U-Urgh!" Paul kesakitan karena lehernya diputar sampai ke belakang oleh Colin. "K-Kau!"
"Aku hanya ingin menang! Aku hanya ingin menang! Aku...," Dengan kejamnya, Colin langsung menghajar wajah Paul dengan kepalan tangannya sampai mentornya terbanting ke tanah. "... HANYA INGIN MENAAAAANG!"
Sontak, aksi Colin yang mengejutkan telah menimbulkan reaksi yang beragam dari para penonton, tapi rata-rata mereka tidak menduga kalau lelaki berambut biru itu dapat menyerang Paul dengan cara yang sangat kejam begitu. Tidak pernah terpikirkan sedikit pun di benak seluruh penonton kalau lelaki penakut seperti Colin akan melakukan hal senekat itu.
"SEKARANG! AKULAH PEMENANGNYA!"
Colin berdiri gagah dengan mengacungkan kepalan tangan kanannya kuat-kuat, seolah-olah menunjukkan pada semuanya bahwa dia adalah orang terkuat di antara para peserta yang bertanding di arena.
"DAN DIA ADALAH HERCOLIN ALEZANDRA," ucap Roswel, memperkenalkan nama lengkap dari lelaki berambut biru yang kini sedang berdiri sendirian di tengah arena. "NAMUN, APAKAH BENAR, DIA ADALAH PEMENANGNYA?"
Baru saja penonton mau memberikan tepuk tangan meriah untuk Colin, tapi terjeda oleh omongan Roswel yang membimbangkan. Padahal semua orang yakin kalau pertandingan telah dimenangkan oleh Colin dan Lizzie, karena salah satu dari mereka telah berhasil mengalahkan Paul. Namun, perkataan Roswel yang terdengar tidak meyakinkan membuat para penonton jadi ikut merasa tidak yakin dan penasaran pada kelanjutan alur pertandingan.
"Eh? Kenapa kau bilang begitu, Roswel?" Colin juga ikut tercengang mendengar omongan Roswel, sampai tidak sadar kalau sesuatu yang berbahaya akan mendekatinya.
BELEDAG!
Dengan brutal, pinggang Colin dijejak dan didorong sangat keras oleh seseorang dari belakang, membuat lelaki berambut biru itu tergelincir ke tanah dengan hentakkan yang cukup keras, sehingga keningnya jadi lecet dan berdarah.
"TULANGKU! KAU MEMATAHKAN TULANG LEHERKU!"
Dan rupanya itu adalah perbuatan dari Paul, yang kelihatannya sudah kembali normal, lehernya tidak seperti sebelumnya, tidak terputar ke belakang.
"KAU KIRA AKU AKAN KALAH HANYA KARENA LEHERKU DIPELINTIR OLEHMU, HAH!? JANGAN HARAP KAU, b******k!"
Raungan Paul semakin buas, membuat beberapa dari penonton menutupi telinganya, tidak kuat mendengar teriakan-teriakan kencang itu.
BLETAK!
Sebuah pukulan kuat menimpa kepala belakang Paul sampai Sang Mentor jadi jatuh membungkuk ke tanah.
"Lawanmu bukan hanya Colin!"
Lagi-lagi para penonton dikejutkan dengan kemunculan dari seseorang yang seharusnya tergeletak lemas di tanah. Karena ternyata, serangan itu berasal dari Lizzie, gadis itu dengan sombongnya mendaratkan telapak kakinya ke punggung Paul yang kini sedang membungkuk di tanah.
"Berhati-hatilah pada titik butamu, kau tidak akan tahu akan ada siapa di belakangmu, karena lawanmu itu ada dua orang, bodoh."
Lizzie tersenyum senang dengan sengaja menekankan injakan kakinya semakin kuat di permukaan punggung Paul, membuat mentornya jadi agak mengerang, tidak tahan pada rasa sakitnya yang masih menjalar di sekitar area tersebut.
"Tapi sejujurnya aku tidak menyangka," kata Lizzie dengan terkekeh-kekeh. "Kau masih bisa bertahan setelah lehermu dipelintirkan oleh Colin. Itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana caramu menormalkan kembali tulang-tulang lehermu yang patah itu? Kau tidak menggunakan sihir atau kekuatan sakti apa pun, kan, Paul?"
"Jangan membuatku tertawa," Dengan terengah-engah, Paul menjawab ucapan angkuh Lizzie dengan menolehkan kepalanya ke belakang, menatap tajam mata gadis tomboi itu dengan mengancam. "Semua itu kulakukan oleh kekuatan tubuhku sendiri. Tulang leher patah tidak membuatku menyerah, aku bisa memutarkannya kembali agar normal lagi!"
"Kau serius?" Lizzie sedikit tercengang mendengarnya, begitu juga seluruh penonton yang juga ikut mendengar percakapan mereka berdua. "Siapa sangka kalau mentorku ini ternyata hewan buas yang bahkan bisa bangkit kembali dari kematian. Benar-benar menjijikan!"
Tidak mau terus-terusan diperlakukan seperti seekor babi oleh Lizzie, sekuat tenaga Paul membangunkan badannya, membuat kaki kanan gadis tomboi itu yang sedang menginjak punggungnya jadi terangkat secara perlahan, hingga akhirnya Sang Mentor telah berdiri sempurna di hadapannya.
"Inilah mengapa aku benci laki-laki," umpat Lizzie dengan mendecih jengkel melihat Paul yang kembali bangkit dari posisi bungkuknya. "Mereka semua selalu bersikap seolah-olah mereka adalah makhluk terkuat di bumi, dan perilakumu ini benar-benar MENJIJIKAN! PAUL b******n!"
Saking jengkelnya, Lizzie langsung menyerang Paul dengan pukulan tangan kanannya yang hendak menargetkan kepala Sang Mentor. Tapi sayangnya, Paul berbalik dengan gesit dan menahan tangan Lizzie yang nyaris mengenai kepalanya, dan lelaki itu pun menyeringai pada gadis tomboi yang merupakan pahlawannya itu.
"Sudah kubilang, kan? Aku tidak akan menahan diri di sini," kata Paul tanpa melepaskan tangan kanan Lizzie dari cengkraman tangannya. "Meskipun kau adalah pahlawan bimbinganku, aku tidak akan segan untuk membunuhmu sekarang!"
"B-Berlebihan sekali!"
Perhatian penonton mulai teralihkan ke suara yang muncul barusan, yang berasal dari sosok Colin yang masih bertelanjang d**a dengan seluruh tubuhnya yang kotor terkena debu tanah.
"Kau tidak perlu berlebihan begitu, Paul!" teriak Colin dengan badannya yang gemetaran. "Membunuh pahlawanmu sendiri di sini? Itu terlalu berlebihan! Di sini kita tidak diperkenankan untuk saling membunuh! Lagipula ini hanya sebatas ujian kedua kami! Jadi tidak perlu ada yang tewas di sini!"
"KAU INI BANYAK OMONG YA, DASAR PENGECUT!"
Paul menimpali teriakan-teriakan Colin dengan ejekan yang cukup kasar dan brutal, seakan-akan keberadaan lelaki berambut biru itu hanya pelengkap yang tidak berguna sama sekali.
"K-Kau!" Colin benar-benar muak mendengarnya. "Pengecut! Pecundang! Pengecut! Pecundang! AKU SUDAH BOSAN MENDENGARNYA!"
Menyaksikan Colin yang mulai aneh, Lizzie berteriak, "HEY! COLIN! KAU INI BERISIK SEKALI! JIKA TIDAK MAMPU MEMBANTUKU UNTUK BERTANDING MELAWAN MENTORMU! PULANGLAH SAJA KE KOTAMU! AKU TIDAK BUTUH PASANGAN PENGECUT SEPERTIMU!"
Seketika, amarah Colin menumpuk sangat banyak di benaknya, hingga akhirnya sudah tak tertahankan lagi.
Colin pun menundukkan kepalanya, tubuhnya mulai sempoyongan, seperti seseorang yang sedang mabuk.
"Kalian semua. Tidak mengerti bagaimana perasaanku. Kalian semua. Harus kubuat mengerti."
Baru saja Colin mengatakannya, tubuhnya mengeluarkan cahaya biru yang sangat terang, terang sekali bahkan sampai beberapa penonton menutupi matanya.
"Cahaya apa itu!?" Paul terbelalak melihatnya, begitu juga dengan Lizzie yang sama-sama tercengang.
Nico langsung berdiri dari kursinya, tidak menyangka melihat kekasihnya akan mengamuk sampai mengeluarkan cahaya biru misterius dari seluruh tubuhnya.
"Tolong hentikan dia! Siapa pun! Hentikan Colin sekarang! Dia bisa mati!" Nico berteriak-teriak sekencang mungkin dari bangkunya, meminta seseorang untuk menghentikan aksi Colin yang sepertinya akan sangat membahayakan nyawanya. "LIZZIE! PAUL! TOLONG HENTIKAN COLIN!"
Sayangnya, suara Nico sama sekali tidak terdengar oleh Lizzie mau pun Paul, karena jaraknya sangat jauh, ditambah lelaki berkaca mata itu tidak menggunakan mikrofon sama sekali sehingga suaranya tidak begitu terjangkau ke setiap penjuru.
Pekikan-pekikan Nico hanya terdengar oleh teman-teman sesama pahlawannya yang duduk bersamanya di sana.
"Ada apa!? Nico!?" Cherry kaget mendengar omongan Nico.
"Tenangkan dirimu dulu, Bro!" Jeddy jadi panik.
"Nico? Bisakah kau santai sedikit?" Isabella kebingungan.
"Duduklah dulu, Nico." Koko jadi gelisah.
"Suaramu tidak akan terdengar, Nico." ujar Victor dengan merasa cemas.
"Sebenarnya ada apa?" Naomi jadi ikut-ikutan khawatir.
Abbas hanya melirik ke arah Nico dengan terheran-heran.