"Aku yakin Rama seperti ayahnya. Semakin bertambah usia, libidonya semakin tinggi. Meminta haknya tiap hari dan berulang kali, bahkan sampai pagi. Ibu yang tak bekerja, hanya bisa ikhlas melayaninya. Ibu melihat wajah lelah yang kamu sembunyikan sama seperti Ibu dulu. Makanya Ibu selalu bertanya seperti itu tapi kamu tak pernah memberi jawaban."
Naura hanya diam, mencerna setiap ucapan wanita yang masih menawan di usia senjanya.
"Berhentilah berjualan, Nak. Fokuslah pada rumah tanggamu. Layanilah suamimu dengan sepenuh hati. Biar tak ada beban apalagi rasa lelah yang selalu kamu rasakan setiap hari. Jika Ibu menasihati Rama, Ibu takut dia akan salah paham. Ibu takut dia mengira kamu yang mengadu pada Ibu. Ibu tak ingin membuat kalian bertengkar, apalagi kalian selalu harmonis dari dulu sampai sekarang. Ibu sangat bangga pada kalian."
Naura membisu, hanya mendengarkan. Tak ada niat menyela atau memotong apa yang Erna bicarakan.
"Ibu mohon, berhentilah berjualan, Nak. Kalau hanya membiayai sekolah kedua cucuku, Ibu masih sanggup bahkan uang sakunya juga akan Ibu tanggung semua. Kamu dan Rama saja yang keras kepala. Tak pernah mau menerima bantuan Ibu."
"Terima kasih, Bu. Kami masih sanggup membiayai anak-anak kami. Simpanlah uang Ibu untuk keperluan Ibu sendiri atau Ibu bisa memberikannya pada cucu Ibu satunya." Naura menolak dengan halus tawaran ibu mertuanya.
"Ragil sudah banyak uang. Sebagai pejabat pemerintah dia tak perlu bantuan. Aku hanya memikirkan kalian, apalagi menantu Ibu yang satu ini. Ibu sangat bersyukur mempunyai menantu sepertimu, Naura. Cantik, lemah lembut, dan shalihah."
"Terima kasih, Bu. Ibu selalu berlebihan memujiku. Ibu selalu membuatku serasa terbang di awang-awang." Erna tersenyum mendengar ucapan menantunya. Naura terlihat lebih cerah, rasa kantuknya pun hilang entah ke mana.
"Tidurlah, biar Ibu bantu mencuci peralatan," kata Erna pada Naura yang akan membuka bungkusan di hadapannya. Bahkan ibu mertuanya sudah menyiapkan piring dan sendok untuknya.
"Jangan, Bu. Tolong Ibu jangan seperti ini. Bagaimana Naura bisa tidur dengan tenang kalau Ibu yang mencuci semua peralatan? Temani Naura makan saja, ya, Bu. Apa Ibu mau Naura buatkan minuman?"
"Nggak usah, Ibu tadi sudah minum jeruk hangat di mobil. Makanlah, Ibu akan menemani. Besok Ibu akan mengirimkan orang untuk membantumu mencuci dan juga membersihkan rumah. Ibu tak mau ada penolakan atau Ibu tak mau berkunjung ke sini lagi." Erna sangat menyayangi menantunya. Dia sebenarnya tak ingin melihat Naura berjualan. Hanya saja Naura selalu menolak permintaannya.
Naura hanya mengangguk pelan sambil mengunyah nasi padang. Erna pun masih terus berbicara, sesekali meminta kembali Naura agar berhenti berjualan. Bukan tanpa alasan Naura tak mau menerima bantuan, dia hanya ingin ikut berjuang untuk pendidikan anak-anaknya.
Rama bekerja di sebuah perusahaan Logistic dengan gaji standar Upah Minimum Kota ditambah sedikit tunjangan. Sementara biaya sekolah kedua putra mereka tak sedikit jumlahnya.
Affan dan Azam, kedua putra Rama dan Naura sekolah di sebuah pondok pesantren di luar kota. Naura memilihkan pendidikan yang terbaik buat keduanya dengan biaya yang tak murah. Sekolah berlabel "Islamic Boarding School" dipilihnya dengan fasilitas yang lengkap di asramanya. Dia hanya ingin kedua putranya merasa nyaman apalagi jauh dari orang tua.
Ditambah lagi ibu mertua yang kurang setuju mendengar Naura akan menyekolahkan cucunya di sebuah pondok pesantren. Dengan alasan nanti cucunya tak bisa makan enak, tidurnya di tikar, nanti kulitnya gatal-gatal, dan berbagai alasan lain. Akhirnya setelah mengetahui fasilitas dan kualitas pondok pesantren yang dipilih Naura, Erna pun setuju.
"Ibu pulang dulu, ya. Istirahatlah, tidurlah dengan tenang. Jangan lupa minum vitamin dan juga kunci pintunya."
Naura mencium punggung tangan ibu mertuanya lalu memeluknya. Dia sangat bersyukur memiliki mertua sebaik Erna.
"Pertimbangkanlah saran Ibu, demi kebaikan dirimu dan juga rumah tanggamu. Apa perlu Ibu membagikan warisan sekarang agar kamu berhenti berjualan?"
"Ah, Ibu ini. Jangan begitu, Bu. Insyaa Allah nanti Naura pikirkan. Naura selalu berdo'a Ibu diberikan kesehatan dan umur panjang yang berkah."
"Terima kasih, ya, Sayang. Kamu memang menantuku yang istimewa."
Kedua wanita berbeda generasi itu pun kembali berpelukan. Bahkan mereka tak terlihat seperti menantu dan mertua. Erna berjalan menuju mobilnya di depan rumah. Sang sopir yang setia selalu menunggu di dalam mobil saja.
Kembali Naura merebahkan badan yang mulai terasa remuk redam. Dia tak butuh waktu lama untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Satu atau dua jam saja asal lelap, sudah cukup baginya.
Akan tetapi, matanya tak mau lagi terpejam. Ucapan ibu mertuanya sungguh membuat pikirannya tak tenang. Naura sendiri merasa heran dengan yang dia rasakan akhir-akhir ini.
"Bukankah sudah kewajibanku sebagai istri melayani suami? Kenapa aku merasa gelisah? Apa yang aku takutkan?"
Berbagai macam pertanyaan berputar di kepalanya. Bahkan dia tak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi pada dirinya. Yang pasti, Naura hanya merasa lelah.
***
Hujan mulai mengguyur bumi sejak sore, rasa dingin mulai menyelimuti badan. Naura ingin sekali rasanya tetap rebahan, tetapi ada tugas yang harus dia selesaikan.
Naura bersyukur tukang sayur biasanya sudah mengantar semua pesanan tadi siang. Tangan cekatannya mulai mempersiapkan bahan-bahan dengan cepat sebelum suaminya pulang. Pesanan lima puluh nasi kotak harus sudah siap besok pagi jam delapan.
Suara motor sport berhenti tepat di teras rumah. Setelah mengucap salam, Rama masuk dan langsung menuju kamar mandi. Kebiasaan buruknya yang tak mau memakai jas hujan, membuat sekujur tubuh dan pakaiannya basah. Naura lalu membuatkan teh hangat dengan perasan jeruk lemon untuk menghangatkan badan, dia tak ingin suaminya demam.
Naura berjalan menuju ke kamar, menyiapkan kaos dan celana pendek untuk suaminya. Dia segera melangkahkan kakinya keluar, berencana menyiapkan makan malam. Namun, sampai di pintu kamar, Rama sudah menghadang.
Tanpa bicara, Rama langsung menggendong dan merebahkan tubuh istrinya di ranjang. Pergumulan panas pun terjadi, ditambah dengan suasana yang dingin, membuat Rama tak ingin segera mengakhiri permainan.
Lelah ....
Kembali rasa itu datang. Akhir-akhir ini rasa lelah selalu memenuhi hati Naura. Dia selalu mengeluh dan menggerutu dalam hati. Seperti melayani suami dengan tak ikhlas dan terpaksa.
Naura segera mandi kemudian melaksanakan kewajiban tiga rakaat. Teh hangat untuk Rama akhirnya dia yang minum.
"Ya Allah ... sampai kapan seperti ini?" tanya Naura dalam hati.
Dia merasa sedih walaupun tak dipungkiri jika dirinya juga ikut menikmati. Seharian jika suaminya ingin, Naura bisa mandi keramas sampai empat-lima kali, bahkan bisa lebih. Naura merasa saran ibu mertuanya harus dipertimbangkan. Berhenti berjualan dan menerima bantuan untuk membiayai sekolah Affan dan Azam.
Rama dulu tak seperti ini, meminta haknya pun tidak setiap hari. Namun, sudah hampir selama dua tahun ini, libidonya semakin tinggi dan selalu meminta haknya setiap hari, bahkan sampai pagi.
Tadinya Naura pikir karena tak ada anak-anak di rumah, ternyata sampai sekarang semakin menjadi. Apalagi setelah tubuh kurus Naura menjadi lebih berisi, selalu meminta haknya berulang kali.
Naura tahu kewajibannya sebagai istri. Dia juga yakin Rama suami yang setia. Jika suaminya tak meminta haknya padanya, lalu kepada siapa lagi? Sementara di luar sana banyak suami yang mencari kesenangan dengan wanita lain yang bukan istrinya. Saat ini, Naura sendiri tak tahu, apakah harus bersyukur atau harus merasa menderita.
Dilihatnya Rama masih terlelap di pembaringan. Dibiarkannya sampai waktu sholat isya' tiba. Setelah melaksanakan kewajiban empat rakaat, Naura baru membangunkannya. Naura menepuk berulang kali pipi dan juga lengan Rama, akhirnya mata laki-laki itu terbuka. Jika bangun dan melihat sang istri, Rama langsung merasa bahagia. Dia pun tersenyum manis dan mengecup jari tangan Naura.
"Terima kasih, Sayang. Maaf, ya, aku langsung memakanmu tadi. Terbawa suasana ... ha ha ha ...." kata Rama sambil tertawa.
"Ayo sekarang makan dulu, Mas, habis itu tidur lagi. Kasihan tuh perut, mulai protes minta diisi," sahut Naura karena mendengar bunyi perut Rama yang juga kelaparan.
"Hmm ... hujan-hujan begini enaknya makan kamu saja, Sayang," balas Rama yang membuat Naura menghela napas panjang.
"Yang Mas makan juga butuh asupan makanan. Kalau aku pingsan bagaimana?" ujar Naura mencari alasan.
"Oke ... aku akan temani kamu makan, yang penting nanti lagi, ya?" kata Rama tak mau kalah.
"Mas ... aku besok ada pesanan nasi kotak pagi-pagi. Tolonglah, nanti malam libur dulu, ya. Aku ... aku lelah, Mas."