Bekas Jahitan

654 Kata
“Ki-ta mau ke mana?” Aku bertanya dengan bodohnya sambil meremas paha yang terbalut celana bahan panjang. Mike tidak menoleh ke arahku. Dan aku berpikir kalau dia tidak akan menjawabku, sebelum suara datarnya mengalun memasuki gendang telingaku. “Rumah sakit terdekat.” Ia menjawab singkat. “Aku cuma butuh obat.” Kuimbangi cara bicaranya. Datar dan singkat. Ia menoleh kali ini. Menatapku dengan tatapannya yang cenderung sulit untuk diterjemahkan tersebut.  “Sampai lemas begitu. Pasti terjadi sesuatu. Apa yang kamu makan tadi?” tanyanya. “Kamu kebanyakan makan sambal. Iya, kan? Mike menebaknya dengan tepat sasaran. Dan sekarang aku yang kelabakan. Antara terkejut kalau ia masih mengingat tentang aku yang tidak bisa makan makanan pedas dan juga karena lilitan di perutku yang tidak mau reda. Keduanya membuatku tidak sanggup untuk menjawab perkataan Mike. Sebab yang kubutuhkan saat ini adalah toilet. Begitu Mike membelokkan mobilnya ke Brian’s Hospital, rumah sakit terdekat dari pemakaman serta rumah sakit tempat aku bekerja dan ternyata rumah sakit ini juga milik temannya Mike, aku semakin meremaskan pahaku karena rasa mulasnya semakin menjadi. Saat mesin mobil sudah mati, aku segera membuka pintu mobil. Menutupnya dengan kasar dan aku tidak lagi menghiraukan panggilan Mike. “Dokter kenapa?” tanya salah seorang perawat yang hampir kutabrak karena berlari menuju toilet yang ada di lantai satu dari gedung rumah sakit ini. Ini gila! Bagaimana aku bisa berkahir menggenaskan seperti ini? Aku mengurung diri lumayan lama di dalam toilet, sampai titik-titik peluhku semakin banyak bermunculan. Saat gejolak pada perutku tidak terlalu menyiksa, aku keluar. Di sana, Mike sedang berbicara dengan seorang dokter perempuan yang aku kenal. Tentu saja, karena aku juga bekerja di sini. Begitu melihatku, Mike mendekat. Sementara dokter Irhen membulatkan mata saat menatapku. “Ayo periksa,” ujar Mike saat ia sudah tiba di dekatku. Dengan enggan aku mengikuti Mike dan menurut saat dokter Irhen menyuruhku untuk berbaring di atas ranjang periksa dan mulai mengeluarkan perlengkapannya. “Sudah berapa lama bolak balik ke kamar mandi?” Dokter Irhen bertanya. “Dari – tadi.” Dokter Irhen tersenyum. Karena hubungan personalku dengan dia tidak terlalu dekat, ia hanya memberikan senyum profesionalnya sebagaimana yang biasa ia lakukan kepada pasien lain. Dokter Irhen masih tersenyum kepadaku sambil memeriksa perutku dengan stetoskop. “Ada makan sesuatu yang sangat pedas, makanan lama yang mungkin sudah basi atau kadaluwarsa?” Aku mengangguk pelan. Dokter Irhen kemudian memeriksa tekanan darahku dan mengeluarkan termomoter untuk memeriksa suhu badanku. Tubuhku rasanya semakin lemas, apalagi ketika Dokter Irhen menyuntikku. Setelah semuanya selesai, dokter Irhen menoleh ke belakang dan menatap Mike. Saat itu jugalah rasa lemasku bertambah menjadi berkali-kali lipat. Sejak kapan Mike ada di sini? Maksudku persis di ruangan ini? Seharusnya dokter Irhen menutup tirai ketika memeriksaku tadi. Aku segera memeriksa tirai yang menjadi pemisah antara ranjang periksa dan lokasi terbuka di ruangan rumah sakit. Dan aku bisa bernapas lega saat mengetahui kalau benda tersebut memang dipasang dengan baik, dokter Irhen menutupnya. Hanya saja kenapa Mike berada di dalam tirai. Berdiri diam dan menatap ke perutku dengan tajam. “Kekasih Pak Mike kekurangan banyak cairan serta sedikit demam.” Aku tidak tahu hal mana yang lebih mengejutkan untukku. Perkataan dokter Irhen tentang aku yang adalah kekasih Mike atau tatapan pria itu yang tak kunjung teduh kala menatap tepat ke wajahku. “Terima kasih,” kata Mike singkat. Tanpa melihat melihat kepada dokter Irhen, Mike kembali berbicara, “Minta resep obatnya, Dok.” Dokter Irhen mengangguk. Kemudian ia melihatku sejenak sebelum membuka tirai dan berjalan sambil menuliskan resep obat pada kertas kecil yang selalu ada dalam kantong jas dokternya. Kupikir, Mike akan mengikuti dokter Irhen dari belakang. Namun ternyata salah, pria dengan ketampanan yang tak pernah memudar itu masih setia pada posisinya. Berdiri tegak bak patung selamat datang dan mengunci seluruh tubuhku di dalam retinanya. Membuat keringat dingin yang tadi sudah berkurang kembali banjir di keningku. Apalagi karena ia bertanya seperti ini. “Bekas jahitan apa yang ada di perut kamu?” *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN