Part 2

1213 Kata
Alvian menatap rumah sederhana di depannya. Rumah itu akan menjadi tempat tinggal dirinya dan keluarganya untuk sementara atau mungkin selamanya, karena Alvian sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Alvian duduk di teras rumah barunya itu sembari menopang dagunya. Dalam sekejap kehidupan Alvian dan keluarganya berubah drastis. Yang tadinya berkecukupan, kini Alvian dan keluarganya harus hidup sederhana. Dari yang tadinya sering menikmati kemewahan, kini Alvian dan keluarganya harus hidup serba sederhana. Alvian ingin membantu papanya untuk melunasi hutang-hutangnya, namun uang tabungan Alvian tidaklah cukup. Alvian hanya memiliki tabungan sebesar dua ratus juta rupiah. Dan sepertinya Alvian akan menggunakan uangnya itu untuk modal usaha dan biaya kuliah adiknya. Sepertinya Alvian harus segera mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan juga ikut membantu melunasi hutang-hutang papanya yang jumlahnya tidak sedikit itu. Alvian terkesiap saat ada yang menepuk pundaknya. Ia tersenyum saat tahu yang menepuk pundaknya itu adalah papanya. Papa Alvian duduk di samping Alvian. Ayah dan anak itu sama-sama menatap langit malam yang cerah. “Papa tahu kamu ikut mikirin masalah hutang-hutang Papa. Sebaiknya enggak usah dipikirin, biar Papa saja yang menyelesaikannya. Om sama tante kamu bersedia bantu kita, tapi yang gitu, mereka enggak bisa bantu lunasin. Masing-masing dari mereka patungan dua ratus juta,” ucap papa Alvian sembari tersenyum. Namun Alvian tahu dibalik senyuman papanya itu pasti menyimpan luka. Alvian sangat bersyukur om dan tantenya bersedia membantu mereka walaupun tidak sampai melunasi hutangnya. Alvian merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang rukun—keluarga yang tidak meninggalkan anggota keluarga lainnya yang sedang kesusahan. “Lebih baik sekarang kamu fokus sama diri kamu sendiri,” lanjut papa Alvian yang tampak ceria—berusaha menutupi rasa frustrasinya dari anak-anaknya. Papa Alvian tidak mau melihat anak-anaknya sedih. “Pa, besok Alvian mau cari kerja.” Papa Alvian menoleh ke arah putra sulungnya itu. Bibir papa Alvian berkedut membentuk sebuah senyuman, senyuman yang mirip sekali dengan Alvian. “Papa bantu doa, semoga kamu mendapatkan pekerjaan dengan segera,” ucap papa Alvian sembari menepuk pundak putranya. Alvian ikut tersenyum seperti papanya. **** Alvian mengusap peluhnya yang menetes membasahi pelipisnya. Lalu setelah itu ia minum air mineralnya dalam tuperware, yang sengaja ia bekal dari rumah untuk menghemat pengeluaran. Sudah hampir setengah hari ia memasukkan berkas lamaran ke berbagai perusahaan. Selain itu, tadi juga ia sempat mengirim berkas lamaran lewat website perusahaan saat istirahat di warung nasi. “Semoga aja keterima di salah satu perusahaan besar. Amiin.” Alvian berdoa agar segera cepat mendapat panggilan interview dari salah satu perusahaan yang ia lamar. Alvian pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya menggunakan motor matic milik adiknya—kendaraan yang masih tersisa hingga sekarang. Ya, selain rumah, aset-aset lainnya juga ikut disita dan dijual. Yang tersisa hanyalah dua motor matic yang biasa digunakan oleh adiknya dan juga asisten rumah tangganya dulu. Alvian melewati jalanan yang cukup sepi untuk menuju rumahnya. Jalanan itu memang sepi karena hari sudah memasuki waktu Maghrib, selain itu jalanan itu terkenal keangkerannya. Citt! Brak! Alvian terkejut mendengar bunyi rem dan juga bunyi benturan yang sangat keras. Sepertinya telah terjadi kecelakaan. Dan dugaan Alvian benar, di depan sana telah terjadi kecelakaan. Sebuah mobil menabrak sebuah pohon besar dan tampak kepulan asap keluar dari bagian depan mobil itu. “Astagfirullah!” pekik Alvian. Alvian pun segera mendekati TKP untuk mengevakuasi si pengendara atau pun penumpangnya, karena hanya ada Alvian di sana. Alvian pun segera mengeluarkan si pengendara mobil itu yang sudah tidak sadarkan diri. Kepanikan Alvian terjadi saat melihat percikan api dari bagian depan mobil tersebut. Alvian pun segera membawa si pengendara mobil itu menjauhi TKP, dan membawanya ke tempat yang lebih aman. “Ya Allah, tolong selamatkan kami.” Lalu tak lama kemudian bunyi ledakan yang berasal dari mobil tadi. Alvian pun segera menghubungi nomor darurat—polisi, untuk menangani kasus kecelakaan ini. Tak berselang lama setelah bunyi ledakan itu terdengar sangat nyaring, warga sekitar jalan itu pun berhamburan keluar dari rumah mereka dan berjalan mendekati TKP. “Ada apa?” “Ada kecelakaan pak RT!” “Astagfirullah!” “Astagfirullah, itu gimana sama pengendara mobilnya?” “Tolong Pak! Si pengendaranya di sini!” Alvian berteriak meminta tolong kepada warga yang ada di sana. “Astagfirullah! Ayo cepet bantu!” Para warga di sana pun membantu Alvian membawa si pengendara mobil itu ke sebuah klinik dua puluh empat jam yang lokasinya berada tidak jauh dari jalan tersebut. **** “Arghh!” erang seseorang yang baru saja bangun dari pingsannya. “Maaf Pak, Bapak tidak diperkenankan banyak bergerak dulu. Kondisi Bapak masih belum pulih.” Alvian mencoba memperingati si pengendara mobil tadi yang baru saja sadar dari pingsannya. Si pengendara itu pun menatap ke sekelilingnya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dan ia ada di mana sekarang. “Saya ada di rumah sakit?” tanya di pengendara itu yang sudah sadar dirinya ada di mana setelah melihat ke sekelilingnya. “Bukan Pak, Bapak sekarang ada di klinik. Tadi Bapak mengalami kecelakaan,” jelas Alvian. Si pengendara itu mengerutkan keningnya, ia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Lalu sedetik kemudian si pengendara itu panik dan kalang kabut mencari-cari sesuatu. “Ada apa, Pak?” “Flashdisk, flashdisk itu mana!” Si pengendara itu panik mencari flashdisk dalam saku bajunya. “Yang ini bukan?” Alvian merogoh sesuatu dalam kantong celananya, lalu menunjukkan sebuah flashdisk berwarna hitam. Si pengendara itu pun membelakan matanya melihat benda kecil yang tengah dicarinya itu. “Maaf, ini Pak.” Alvian pun menyerahkan flashdisk berwarna hitam itu kepada si pengendara yang sudah dibuat kalang kabut mencari benda kecil itu yang sepertinya sangat berharga bagi si pengendara itu. “Kamu yang bawa saya ke sini?” Alvian tersenyum. “Betul Pak, dengan beberapa warga sekitar TKP. Tapi mereka sudah pulang beberapa waktu yang lalu.” “Terima kasih. Lalu bagaimana dengan keadaan mobil saya?” “Mobil Bapak terbakar,” jawab Alvian. Si pengendara itu awalnya terkejut setelah mendengar kondisi mobilnya, namun setelahnya biasa saja, lagi pula mobilnya bukan hanya itu saja. Di rumahnya terdapat beberapa mobil mewah. Sudah sangat dipastikan kalau si pengendara itu bukanlah orang biasa. “Kamu mau apa biar nanti saya kasih ke kamu sebagai balas budi, karena kamu telah menyelamatkan nyawa saya,” ucap si pengendara itu. Alvian menggelengkan kepalanya. “Tidak usah Pak, saya ikhlas membantu Bapak.” “Ey, jangan begitu, saya tidak enak loh.” “Tidak usah, Pak. Lagi pula sudah seharusnya manusia saling tolong menolong,” balas Alvian dengan ikhlas. Si pengendara itu menghela napasnya. “Maaf sebelumnya, nama kamu siapa?” “Alvian,” ucapnya sembari tersenyum. “Sudah bekerja atau sedang kuliah?” “Saya sudah lulus kuliah, tapi belum dapat pekerjaan,” jawab Alvian. Bibir si pengendara itu berkedut membentuk sebuah senyuman. Sepertinya ia tahu apa yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan balas budi. Si pengendara itu tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya, dan menyerahkan sebuah kartu kecil kepada Alvian. “Ini kartu nama saya.” Mata Alvian membulat setelah mengetahui identitas si pengendara itu yang ternyata adalah seorang petinggi perusahaan Net-Lix cabang Indonesia. “Kamu belum bekerja ‘kan. Coba isi formulir lamaran di website resmi Net-Lix Group. Jangan khawatir tidak diterima, karena kamu sudah fiks saya terima,” titah si pengendara itu. Senyuman Alvian mengembang, sepertinya ini jalannya untuk mendapat sebuah pekerjaan, yaitu dengan menolong seseorang dari sebuah kecelakaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN