Part 5

1276 Kata
Setelah jam kantor selesai, Alvian tidak langsung pulang ke apartemennya, ia langsung pergi ke mansion Presdir Kim. “Selamat datang Tuan, Anda sudah ditunggu Presdir Kim di ruangannya,” ucap kepala maid—menyambut kedatangan Alvian di depan pintu masuk. Alvian tersenyum menanggapi ucapan kepala maid itu. Sesuai pesan kepala maid tadi, Alvian melangkahkan kakinya menuju ruangan Presdir Kim yang terletak di lantai dua mansion itu. Alvian hafal betul di mana letak ruang kerja Presdir Kim di mansion itu, karena beberapa kali Alvian pernah ke sana bersama sekretaris Min. Tepat di depan sebuah pintu yang berukuran cukup besar, Alvian menghentikan langkah kakinya. Alvian menatap pintu itu sebelum akhirnya ia mengetuk pintu besar itu. Tok tok tok “Masuk!” Setelah mendapat izin dari si pemilik ruangan, Alvian pun masuk ke dalam ruangan itu. Sean tersenyum melihat kehadiran sekretaris keduanya itu. “Bagaimana dengan Daesung Corp? Apakah mereka masih terus memaksa membeli perkebunan warga di Jeju?” tanya Sean. Alvian menganggukkan kepalanya singkat. “Betul Presdir, mereka masih terus memaksa ingin membeli lahan perkebunan warga untuk membangun resort megah di sana.” Sean berdecak sembari mengusap dagu lancipnya, Daesung Corp memang tidak pernah ingin kalah dengan Next-Lix Group, mereka mencoba menambah anak perusahaan mereka untuk mengalahkan perusahaannya. “Lalu bagaimana dengan pemilik kebun itu, apakah dia berniat akan menjualnya?” Dahi Alvian terlihat berkerut. “Emm, saya kurang tahu Presdir,” jawabnya dengan jujur. Ya, Alvian tidak tahu karena Alvian sendiri tidak terlalu mengurusi masalah itu. Sean menganggukkan kepalanya. “Baiklah, biar sekretaris Min saja yang mengurusi si b*****h itu.” Dalam hati Alvian membenarkan ucapan atasannya itu. Lebih baik sekretaris Min saja yang mengurusi masalah itu, karena jujur saja ia tidak begitu ahli mengurusi hal-hal seperti itu. Apalagi ia tahu, mereka akan melakukan segala hal dengan cara kotor agar perusahaan yang mereka pimpin lebih unggul. “Sesuai pembicaraan kita tadi pagi, selama aku pergi kau harus memantau adikku. Adikku mengalami gangguan kejiwaan, makannya dia dikurung di mansion bagian timur. Jadi jika dia mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, kau jangan dengarkan dia.” Alvian mengangguk. “Ah, satu lagi.” Sean menatap wajah Alvian dengan raut serius. “Jangan sampai ada pihak media atau pejabat-pejabat mengetahui keberadaan adikku di mansion ini!” Alvian mengangguk. “Baik, Presdir.” Sean tersenyum puas, apalagi saat Alvian tidak bertanya alasan kenapa adiknya tidak boleh diketahui keberadaannya oleh media dan para pejabat. “Bibi Choi!” Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. “Iya, Presdir?” “Tolong bantu sekretaris Al menjaga adikku selama aku pergi,” pinta Sean. “Baik, Presdir.” Lalu Sean berbisik kepada bibi Choi yang dikenali oleh Alvian sebagai kepala maid di mansion atasannya itu. “Baik, Presdir.” Bibi Choi mengangguk setelah mendengar bisikan majikannya itu. Sean pun memberikan isyarat kepada bibi Choi untuk pergi dari ruangannya. Setelah bibi Choi pergi dari ruangannya, Sean pun kembali membahas masalah pekerjaan dengan Alvian. ***** Tepat pukul delapan malam, Sean dan sekretaris Min pergi ke LA, mengurus masalah cabang di sana yang sempat terguncang karena serangan licik dari musuh. Selama Sean pergi, Alvian akan menginap di mansion atasannya itu untuk memantau Stefannie—adik atasannya itu yang katanya mengalami gangguan kejiwaan setelah ditinggalkan oleh ayahnya dan juga tunangannya. “Nyonya,” sapa Alvian sembari membungkukkan badannya saat berpas-pasan dengan Ilena Xi—istri dari Seano Anatama Kim. Ilena tersenyum. “Anda belum tidur sekretaris Al?” “Ah, belum Nyonya, saya belum merasa kantuk,” jawab Alvian seraya tersenyum canggung. Ilena terkekeh geli melihat gelagat Alvian yang merasa canggung dengannya. “Kau tidak usah merasa canggung sekretaris Al, aku tidak akan menggigitmu atau melaporkanmu ke suamiku untuk memecatmu,” canda Ilena—mencoba mencairkan suasana agar tidak merasa canggung. Alvian tersenyum sembari menundukkan kepalanya. “Yoojung-ah,” panggil Ilena kepada pelayan yang sejak tadi mengikutinya di belakang. “Iya, Nyonya?” “Tolong buatkan dua gelas teh. Aku ingin minum teh di taman belakang bersama sekretaris Al,” titah Ilena. “Baik, Nyonya.” Pelayan yang bernama Tae Yoojung itu pun pergi ke dapur—membuat teh untuk majikannya. Sementara itu, Ilena mengajak Alvian pergi ke taman belakang. “Sekretaris Al, kau berasal dari Indonesia, aku sangat suka sekali dengan Indonesia.” Alvian tersenyum mendengar istri majikannya itu mengucapkan bahwa ia menyukai negara kelahirannya itu. “Apa yang membuat Nyonya menyukai Indonesia?” “Aku suka tempat-tempat wisata di sana, seperti Bali dan Lombok,” jawab Ilena. “Sebenarnya masih banyak tempat-tempat wisata bagus di Indonesia Nyonya, selain Bali dan Lombok,” balas Alvian. “Ya, aku tahu itu, makannya aku suka sekali dengan Indonesia. Banyak tempat-tempat wisata yang belum sempat aku sambangi,” ujar Ilena. Sempat terjadi keheningan beberapa saat, Alvian dan Ilena asyik berkutat dengan pikirannya masing-masing. “Al, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu,” ucap Ilena memecahkan keheningan di antara mereka selama beberapa saat. Alvian mendongakkan wajahnya. “Iya, Nyonya?” “Mengenai suamiku, apakah kau pernah mendengar suamiku membicarakan—“ Drt drt drt Ucapan Ilena terputus saat mendengar getar ponselnya. Ia pun segera membuka pesan masuk ke ponselnya. Suamiku : Awas saja bila kau bertanya atau mengungkapkan mengenai Stefannie kepada Alvian. Kau tentu tahu bukan, akibatnya jika kau berani mengatakan hal sebenarnya kepada Alvian Ilena meremas ujung dress-nya setelah membaca pesan dari suaminya. Ilena pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman itu, pandangannya berhenti saat netranya beradu dengan salah satu pengawal yang ia yakini diberikan beban tugas untuk memantau kegiatannya dengan Alvian selama suaminya itu tidak ada di Seoul. Sementara itu, Alvian menaikkan sebelah alisnya, ia menunggu kelanjutan ucapan istri majikannya itu. “Sebaiknya kau istirahat sekretaris Al, ini sudah larut malam. Aku takut kau akan bangun terlambat,” ucap Ilena. “Nyonya ini tehnya.” Suara Yoojung menginterupsi Ilena dan Alvian. “Tolong antarkan ke kamarku, karena aku ingin istirahat di kamar,” titah Ilena. “Baik Nyonya.” Ilena menatap wajah Alvian. “Selamat malam, Sekretaris Al,” pamitnya. Alvian menatap bingung kepergian Ilena dengan penuh tanda tanya. Alvian sangat penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh Ilena, dan kenapa Ilena terlihat kesal setelah menerima pesan masuk ke ponselnya. “Orang-orang kaya memang aneh,” gumam Alvian. Alvian pun mulai beranjak dari bangku taman itu. ***** Pagi-pagi sekali sebelum Alvian berangkat menuju kantor, Alvian memutuskan melihat ke kamar Stefannie yang masih terkunci rapat. Kunci kamar itu ada padanya dan juga bibi Choi. Hanya dirinya dan juga bibi Choi yang mempunyai akses untuk bisa masuk ke dalam kamar itu. Ceklek Alvian membuka perlahan pintu kamar itu. Setelah semuanya terbuka lebar, Alvian melihat sosok seorang wanita tengah menghadap ke luar jendela. “Nona, ini sarapan Anda.” Alvian meletakkan nampan yang berisi sepiring nasi beserta lauk pauknya, dan segelas air putih di atas nakas sebelah ranjang. Wanita itu masih tidak bergeming, wanita itu masih asyik menatap keluar jendela. “Aku tidak lapar.” Akhirnya wanita itu mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat diam tidak bersuara. Alvian menghela napasnya, sudah ia duga wanita itu akan menolak makanan yang ia bawa. “Tapi Anda harus makan Nona, Presdir menyuruh saya untuk memastikan Anda makan dengan teratur, dan tidak lupa meminum obat Anda.” Alvian berusaha selembut mungkin agar tidak menyinggung Stefannie yang katanya mengalami gangguan mental. Stefannie tidak bergeming. Ia masih setia pada posisi awal—menghadap ke arah luar jendela. Alvian kembali menghela napasnya. “Nona, saya harap Anda segera memakan sarapan dan obat Anda. Saya tidak bisa menunggu Anda memakan sarapan Anda, karena saya harus pergi ke kantor. Saya akan menyuruh bibi Choi kemari untuk memastikan Anda memakan sarapannya dan obatnya.” Namun baru beberapa langkah Alvian melangkahkan kakinya keluar, tiba-tiba suara Stefannie menginterupsi. “Aku tidak gila!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN