Hari H

1112 Kata
“Istri terbaik ...,” keluhku sambil mengaduh pasrah. Kecemasan yang tadi sempat menghilang kini berkibar kembali. “Ingat! Kamu sudah tidak bisa berbalik lagi, kesepakatan tidak bisa ditarik,” ucapnya mengingatkan. Aku menunduk dengan bahu yang otomatis bergerak turun. Perasaan iya dan tidak, maju mundur tak tentu. “Semangatmu ternyata pasang surut,” komentarnya tak kuhiraukan. Bersamaan dengan itu tukang ojek yang tadi sudah berjanji akan menjemput sudah nampak di tepi jalan. Aku beranjak dan enggan mengucapkan selamat tinggal. “Dua bulan lagi kita akan menikah di Bali, jangan lupa datang dengan baju yang bagus,” serunya dari belakang. Aku tak menoleh dan terus melanjutkan langkah, lalu membonceng ke ojek jemputan dan meninggalkan tempat yang asri ini. Waktu berlalu, tempo dua bulan yang diberikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kuhadapi ternyata terasa cepat sekali. Kini aku sedang duduk di pesawat menuju pulau Bali dengan dua perasaan yang saling bertolak belakang. Bahagia karena masalah-masalah itu selesai dan cemas menghadapi apa yang akan datang. Aku mengembuskan napas dan memejamkan mata, padahal dari jendela pesawat ini, awan-awan tampak mengambang indah. “Dari mana Kamu dapat uang sebanyak ini? Mencurigakan,” bisik rentenir wanita yang bertubuh gendut itu. “Mau tahu apa mau dibayar?” jawabku diplomatis. Wanita yang rambutnya di cat warna tak jelas ini melirik dengan kesal. “Sebentar,” ucapnya sambil beranjak dan mengambil catatan. “Ini hutang dengan orang lain, ya?” lanjutnya masih penasaran ingin mengetahui asal uang cash yang sekarang ada di mejanya. “Curi dari ATM,” selorohku berbisik sambil melirik ke kiri ke kanan. “Ihh! Dasar!” umpatnya dengan kesal karena tak memperoleh jawaban. Jari-jari yang membulat itu, lalu menuliskan kuitansi dengan jumlah puluhan juta dan membubuhkan tanda stempel dengan tulisan lunas. Bagai kompor yang tersiram air es, hati ini melihat kuitansi pelunasan hutang itu diserahkan. “Wah! Jadi tak perlu lagi kukirim debt collector ya, masih terbayang bagaimana Kamu lari tunggang langgang lintang pukang menghindari kejaran anak-anak buahku,” teriak laki-laki dengan rambut klimis ini sambil terbahak-bahak, mungkin laki-laki ini mengingat bagaimana aku harus beberapa kali terjatuh ketika berlari dalam pengejaran itu. “Wah! Ternyata Kamu pintar cari uang, kudengar kerja part time-mu banyak, hebat ... hebat,” pujinya tak berhenti. Aku menghela napas mengingat dua dari percakapan yang terjadi ketika melunasi hutang-hutang dalam jumlah besar yang terus beranak pinak bahkan bercucu dan bermenantu itu. Belum lagi hutang di tetangga kanan kiri, hingga warung-warung sekitar tempat tinggal yang sampai mengeluarkan fatwa pelarangan belanja padaku. Mungkin dalam radius sekian meter aku sudah dilarang mendekat ke warung-warung itu karena dikhawatirkan akan menambah bon. Hari-hari setelah kembali dari pertemuan dengan laki-laki itu, kulalui dengan menyisir siapa saja yang pernah memberikan hutang padaku dan kedua orang tua. Bahkan, rumah sakit tempat keduanya dirawat juga tak luput dari pelunasan hutang itu hingga semua selesai, lunas ... nas. Pemilik rumah kontrakan yang kami tinggali setelah rumah milik kedua orang tua terjual itu tersenyum lebar ketika tunggakan terbayar, lalu sempat menawari untuk menyewa lagi setelah sebelumnya mengancam akan melemparkan barang-barang pribadi yang tak seberapa ini ke jalan. Mata ini terasa menghangat ketika ingat mengunjungi makam kedua orang tua. “Ayah, Ibu, hutang kita sudah lunas,” isakku pilu, merasakan bagaimana hidup yang semula bahagia mendadak terjungkir karena sebuah kecelakaan yang dialami kedua orang tuaku. Semua yang terasa indah direnggut berganti dengan kepayahan yang berat. Keduanya yang tidak bisa bergerak membutuhkan perawatan dan biaya yang tidak sedikit. Rumah yang ditempati pun tak menutup biaya-biaya itu setelah terjual. “Mohon doa restu Ayah, Ibu, Marakesh mau menikah,” bisikku lirih lalu menangis tertahan. Pikiran ini buntu, tenaga sudah habis untuk kerja-kerja yang menghasilkan uang yang sedikit itu. Kini semua usai, aku tak perlu lagi menghadapi hal-hal itu, tetapi hal yang akan kuhadapi ini juga membuat jiwa jauh dari ketenangan. Tak sadar diri ini terlelap dan terbangun ketika pengumuman landing dengan sempurna terdengar. “Ah!” seruku terkejut ketika satu tangan menarik dan menuntunku untuk mengikuti langkahnya, tatkala kaki ini sampai di luar terminal kedatangan, Aldar. “Itu saja bawaanmu?” ujarnya heran sambil melirik satu ransel yang ada di punggungku. “Kenapa?” ucapku bingung. “Uangmu habis?” ujarnya tanpa menoleh. “Enggak,” sahutku cepat. “Para wanita akan membeli semua barang mewah begitu memiliki uang sebanyak itu,” ucapnya sambil masuk ke dalam taksi. “Aku bukan termasuk dari salah satu para wanita yang Kamu sebutkan itu,” jawabku dengan cuek. “Kamu lebih mirip orang yang akan berwisata daripada akan menikah,” komentarnya sambil mengamati apa yang kupakai, celana jins, kaos, jaket dan tak lupa topi sebagai pelengkap. “Sst! Jangan keras-keras napa? Yang penting ‘kan baru,” protesku pelan sambil melihat ke arah sopir taksi. “Itu bukan sesuatu yang harus dirahasiakan,” balasnya sambil mendekatkan wajah ke wajah ini, aku langsung menarik kepala ke dekat jendela dan merasakan pipi ini menghangat, laki-laki ini malah tersenyum lalu tertawa geli. Taksi berhenti di sebuah daerah di Bali dengan pemandangan sawah yang menghijau indah. Aldar menuntunku ke sebuah rumah yang terpencil jauh dari rumah lain. Ah ... benar apa kata orang, ini memang sempalan surga, udaranya pun segar. “Kamu suka?” ucapnya ketika aku memandang takjub pemandangan itu dan lupa untuk masuk ke rumah itu. Aku mengangguk, laki-laki itu membawa tas punggungku masuk dan membiarkan mata ini puas memandang pesona alam yang tersaji. Setelah puas memanjakan mata, aku masuk ke ruangan yang ditata dengan apik ini, lalu berdiri mematung tak tahu apa yang harus dilakukan. “Kamu bisa mengawalinya dengan duduk di kursi,” seru Aldar seolah tahu apa yang kupikirkan, mungkin itu tergambar jelas di wajah ini. “Istirahatlah besok kita akan menikah secara resmi,” ucapnya dengan tenang padahal kalimat itu begitu meresahkan. Pagi datang diawali dengan aku yang sibuk keluar masuk toilet. Bukan! Bukan karena diare, tetapi rasa mulas yang tiba-tiba menyerang. Namun, jika sampai ke kamar mandi, rasa itu mendadak hilang. “Marakesh!” seru Aldar dari luar kamar. “Tenangkan dirimu, ini mau menikah bukan mau perang, semua sudah diurus,” suruhnya sambil mengetuk pintu kamar. “Aku sedang berusaha,” balasku dengan kencang, biar ia mendengar dengan jelas. Butuh lebih dari lima belas menit untuk menyuntikkan pikiran-pikiran positif ke otak dan menunggu hasil injeksi itu bereaksi pada tubuh. Tarik embus napas juga kulakukan agar mempercepat proses penenangan pikiran. Akhirnya dengan memaksakan diri, diri ini sedikit tenang. “Hah! Itu yang Kamu pakai?” seru Aldar ketika aku keluar kamar. “Kita akan ke kantor pemerintah, aku harus pakai yang sopan,” kilahku tegas. “Tapi, itu seperti akan bekerja di kantor,” komennya pada rok krem menutupi lutut dan kemeja putih ini. “Kamu ingin aku lari dari pernikahan ini,” balasku cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN