"Bersyukurlah, ada yang lebih parah cacat tak sempurnanya anggota keluarga yang diharapkan. Apalagi, cacat karena sibuk mengejar duniawi, jangan sampai kita menjadi pelakunya juga."
Mendengar rengekan Devit yang sudah mulai mengantuk membuat Acha bernapas lega. Kemungkinan Bram juga akan mengundurkan diri, tetapi di luar dugaan lelaki itu malah melangkahkan kakinya ke luar balkon. Di mana tetesan air hujan masih turun, menggenang di samping tempat jemuran. Di dalam rumah, Acha sudah menahan makian sebelum masuk ke dalam kamar.
Seolah yang menjadi tuan rumah adalah Bram yang bebas ke mana saja dan pulang kapan saja. Padahal 'kan Acha, seharusnya ia tidak canggung mengusir Bram di waktu yang sudah menunjuk sembilan malam. Waktu di mana umumnya semua orang mengistirahatkan diri dari pekerjaan duniawi. Apalagi besok bukan hari libur, dengan kesal Acha mencoba menidurkan Devit di sampingnya.
Tidak butuh waktu lama, napas Devit mulai teratur. Kedua matanya terpejam, dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara Acha segera keluar kamar. Menemukan Bram yang sedang menyesap dalam rokok, lalu mengepulkan asapnya tenang bak tanpa beban. Acha tetap diam di ambang pintu, mendekap kedua tangannya di d**a.
"Lo boleh pulang," ucap Acha, Bram menoleh dengan kerutan di dahi.
"Gua mau bicara dulu." Bram beranjak dari duduknya, mendekati Acha yang langsung mundur lalu pergi ke ruang TV.
Setelah duduk dalam keheningan, Bram mulai berkata, "Gua serius ngajak, Devit, ke gunung. Lo mau, 'kan kabulin ajakan gua?"
Acha menoleh. "Dia, tuh, anak gua, Bram. Gak bakal izinin apalagi kabulin!" tegasnya.
"Kenapa? Lo takut? Bukan berarti tempat terakhir yang lo sama Devid kunjungi, semuanya mengerikan, Cha. Padahal, mungkin bakal ngobati hati elu. Bukan nyakiti," jelas Bram, mencoba merayu Acha ke jalan yang ia harapkan.
"Jangan paksa gua, pulang sana! Gua gak enak sama tetangga." Acha berdiri, berjalan menuju pintu yang siap terbuka meminta Bram cepat keluar dari apartemennya.
Bram menurut, tetapi bagaimana dengan niat mengajak Devit ke gunung? Ah, nanti saja. Toh, masih ada waktu satu bulan untuk merencanakan. Bram menyambar jaket hitamnya, melempar seulas senyum kaku yang sama sekali tak ditanggapi Acha.
"Gua pulang," pamit Bram.
Acha hanya mengangguk, lalu pintu kembali ditutup. Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, memejamkan kedua matanya rapat sampai setetes air mata lolos tak tertahankan. Mengapa semuanya sangat di luar keinginan? Mengapa selalu Bram yang mengisi kekosongan? Mengapa tidak Devid saja yang segera Tuhan paksa pulang ke pelukan?
"Gua salah apa, sih? Perasaan waktu Devid ada, gua selalu bersyukur bisa bersama. Gak pernah gua sumpahin dia ilang lagi, bahkan sampe ngilang lima tahun!" Tubuh Acha ambruk, tersungkur ke lantai kembali menangisi nasibnya yang sangat buruk.
Kadang sekelebat ketakutan bahwa Acha bukan jodoh Devid sampai surga sempat membuatnya begadang, banyak pikiran sampai paginya ia tak bisa ke sekolah untuk mengajar. Ia juga berpikir lagi, jika harus menjauhi Bram dengan alasan enggan menimbulkan fitnah. Rasanya sangat tak berterima kasih atas bantuannya, dia lelaki yang membantu Acha di saat Devit kecil butuh dekapan, disayangi oleh keluarga kecilnya.
Mungkin Acha egois. Melupakan apa yang Bram berikan untuknya dan anaknya. Namun, itu yang terbaik, ia akan belajar tegas. Menolak semua keinginan Bram apa pun bentuknya, termasuk soal niat pendakian itu. Devit masih kecil, jika perlu Acha akan melapor kepada ibu Bram agar anak lelakinya itu diam. Sadar diri, jangan lagi berharap lebih.
Suara alarm jam berdering nyaring, sudut mata Acha menangkap sosok Devit yang masih tidur dengan napas teratur. Tadi malam, Acha terpaksa harus tidur di samping buah hatinya. Memberikan pelukan hangat. Memberitahukan, bahwa ibunya tidak hilang, seperti sang ayah yang entah ke mana.
"Sayang, bangun, yuk." Acha membangunkan Devit, anak kecil itu mengerang membuka kelopak matanya perlahan.
"Morning, Mama!" Sebuah kecupan dalam mendarat di kedua pipi Acha.
"Morning too ... anak kesayangan, Mama." Acha membalas kecupan penuh sayang di dahi Devit. "Kita masih harus sekolah. Jadi, bangun pagi, lalu Devit Sayang jadi imam, ok?"
Devit langsung beranjak dari tidurnya. "Siap! Devit ambil wudu dulu, ya, Ma." Ia pun berlari meninggalkan Acha.
Dulu, Acha sulit mengajak Devit untuk salat berjemaah dengannya. Banyak alasan dan pertanyaan yang dilontarkan, kembali menanyakan papanya yang seharusnya menjadi imam. Sampai menangis terisak karena Acha terus saja meyakinkan Devit bahwa papanya itu sedang kerja.
"Kenapa lama, Ma? Devit, kangen. Kapan pulangnya!" jerit Devit.
"Belum waktunya, mungkin pesawat yang papa tumpangi mogok di bandara. Kamu harus percaya, pasti papa pulang, Sayang."
"Mogok, ya? Kok, gak dibenerin, Ma?"
Setiap malam sebelum tidur juga, Devit selalu menanyakan di mana papanya. Acha hanya mampu menjawab, sedang kerja mencari uang untuk membelikan mainan banyak bagi Devit.
"Harusnya, papa, pulang aja, Ma. Devit, gak minta dibeliin banyak mainan, kan? Telepon, Ma, cepet ...," rengeknya.
Sekarang, barulah Devit mulai membiasakan diri bahwa papanya masih bekerja. Namun, setelah mendengar pertanyaan teman di sekolahnya tentang Bram tiba-tiba ia menyimpulkan. Kemungkinan Bram adalah papanya, tetapi kenapa tidak pernah tidur bersama? Pertanyaan itu dilontarkan Devit kepada gurunya di sekolah. Tanpa sepengetahuan Acha tentunya dan Bu Risa, tidak pernah ada niat menyampaikan pertanyaan sedih itu kepada Acha.
Kehidupan single parent Acha sudah banyak diketahui orang. Termasuk keberadaan Bram yang menjadi penolong di setiap waktunya. Jadi, semua guru di sekolah sepakat takkan membahas tentang seorang ayah di kelas Devit. Mereka tahu, keadaan sebenarnya yang sedang dialami dan mereka tahu bagaimana hati Devit mendengarnya. Pilu. Namun, tak mampu mengutarakan rasa sakitnya.
"Mama, qamat!" pinta Devit, sebuah sarung hitam dipakainya dengan rapi. Lagi, Bram yang mengajarkannya sampai Devit bisa memakainya sendiri.
Acha menatap geli tinggi badan mungil Devit di depan. "Allahuakbar, Allahuakbar ...."
"Assalamualaikum," salam Devit, dilanjut salam terakhir, lalu mencium punggung tangan Acha.
"Pinter anak, mama." Acha mencium kedua pipi Devit dengan senang.
"Aamiin, Devit yang mandi duluan!" Dengan cepat Devit berlarian, menarik handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Lagi, sesungging senyum lebar mengawali pagi yang diharapkan selalu indah. Acha segera merapikan dua sajadah dan mukenanya ke dalam kamar. Menarik gorden, menatap kesibukan orang lalu lalang di bawah sana. Selalu dalam doanya terharapkan, kapan pun waktunya ia akan menerima Devid dengan senang. Meskipun sebuah cacat fisik menjadi kekurangan.
"Gua tetap bersabar, tapi kali ini gua gak berjuang nyari lo, Dev. Dalam doa aja, ya, dan gua percaya lu pasti denger doa gua di sana," harap Acha, tidak ada setetes air mata. Karena Devid tak suka melihat air matanya menetes hanya hal sepele. Kecuali soal hal merindu.
Selesai sarapan dengan menu kesukaan Devit nasi goreng buatan Acha. Mereka segera keluar dari apartemen, para tetangga saling melempar senyum, tidak terlewatkan menyempatkan diri untuk menjawil kedua pipi Devit yang sangat menggemaskan. Tiba di depan gerbang sekolah dasar, Devit mencium punggung tangan Acha lalu memberikan salam, langsung berlarian menyusul teman satu kelasnya.
Acha enggan langsung melajukan mobilnya. Ia menatap wajah senang dari para orang tua yang mengantar anaknya. Ada seorang ayah dengan baju kaus oblongnya, memberikan selembar uang, lalu diterima penuh senyum oleh gadis mungil berkepang dua. Ada juga yang diantarkan oleh pengasuhnya, di mana salah satu orang tuanya? Mungkin sibuk dengan pekerjaan? Beruntung Acha masih mampu mengantarkan Devit ke sekolah, bagaimana jika ia terlalu sibuk?
Lihatlah, anak yang diantar pengasuh itu sedikit murung tidak ceria. Acha membatin, "Semoga, gua selalu ada buat Devit sampe dia besar."