16. Terjebak Sebelum Sampai

1062 Kata
"Tidak! Jangan sampai aku menjadi pembunuh selanjutnya." Kembali melangkahkan kaki setelah menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit, untuk beristirahat. Jam tangan sudah menunjuk pukul 13.30 jauh dari perkiraan. Mereka terlalu lama dan lamban, Bram tahu kebanyakan meminta berhenti adalah bocah kecil yang sedang dituntunnya. Ia bisa terpaksa menggendong, mengejar waktu yang hilang entah ke mana. Namun, Acha pasti keberatan. Dipastikan ia semakin tidak menyukai Bram karena sok menjadi pahlawan. Irsad memaklumi, toh yang mengajak rombongannya adalah Bram sendiri. Cuaca di antara pepohonan yang menjulang penuh dengan akar memanjang, membuat semangat melangkah terasa menyulitkan. Sesekali Acha menghirup udara dalam, membatin apakah ia mampu melanjutkan pendakian yang sangat lama ini? Pandangannya menyapu bersih apa yang mengelilingi sekarang. Penuh pepohonan, di atas kepala langit jauh di sana tidak lagi secerah tadi pagi. Apakah akan datang hujan di mana mereka masih berada di tengah hutan? Tidak, bukan tengah hutan ini masih berada di titik awal pendakian. Dari depan, Bram menoleh meminta Acha berjalan di depannya. Acha menggeleng lemah, terpaksa Bram menurut saja. Namun, ia sempat memberikan kode kepada Aldo yang tepat berada di belakang Acha. "Aduh ... Devit gak kuat!" Devit tersungkur, beruntung ia tiduran di tempat yang sedikit lapang. Bram menyusulnya duduk bersisian. Dapat ia lihat, Acha masih berjalan jauh dari jangkauan. Keringat peluh membanjiri keningnya. Melihat Bram dan Devit memilih berhenti, sedangkan pendaki lain masih berjalan menjauhi cepat-cepat menuju puncak. Acha pun segera menyusul, terduduk di bawah lipatan kaki Bram. "Masih kuat?" tanya Bram, seraya mengeluarkan air mineralnya. Kedua mata Acha memejam erat, pendengarannya menangkap pertanyaan Bram barusan, tetapi ia memilih diam sambil mengatur napasnya. Bram sendiri tetap memerhatikan Acha, wajah tanpa polesan riasan wajah terus mengingatkannya akan sebuah penantian. Di bawah tangga sana, duduk seorang perempuan yang terus mencari-cari keberadaan sosok lelaki yang sama sekali tidak ada di sana. Sampai berani bertanya, adakah lelaki bernama Devid? Siapa dia? Sahabat lama dari Bandung? Ah, ya, Acha berjuang demi mendapatkan hati lelaki yang sudah melupakannya. Apakah sekarang masih mencintainya juga? Tentu saja! Jika tidak, mungkin ungkapan cinta Bram akan diterima oleh Acha. Bahkan mungkin mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri yang halal. Bram tersadar dari lamunan kacaunya. Ia segera mengajak Devit untuk kembali berjalan, bocah itu mengeluh panjang. Menatap tanjakan yang semakin menantang, tak jauh dari pandangan sebuah tali tambang terlihat menjadi alat bantu para pendaki. Karena lama beristirahat, rombongan terbagi menjadi dua kelompok, Irsad bersama keempat pendaki lain dan Bram bersama Acha, Devit, Aldo dan Bimo. "Yuk, cuaca mulai gak mendukung," ajak Bram, tangannya terulur berharap Acha mengaitkan jemarinya. Acha mendongak. Sebelumnya ia telah menghabiskan sisa air mineralnya. "Mau hujan?" tebaknya. Bram menatap langit jauh di sana, tidak lama guntur menggelegar. Devit yang mendengar suara pertanda hujan akan datang itu segera mendekati Bram, tangannya mencengkeram ujung jaket hitam Bram gemetar. "Iya, gak lama bakal hujan, nih," balas Bimo, ia menatap jam tangannya. "Jam dua siang," lanjutnya. Mereka pun terpaksa melanjutkan perjalanan yang seakan takkan mendapati ujungnya. Bram harus bertanggungjawab membawa dua orang yang ia cintai. Satu per satu tali temali yang ditemui berhasil dilalui, sampai di titik akhir sebuah tali tambang biru membentang ke atas membuat napas Acha terasa sesak. Padahal hutan yang menghimpit tadi dari bawah sudah tak terlihat lagi, tersisa hanya beberapa rumput tinggi dan batang pohon yang mati. Acha terduduk lemas. Apalagi Devit, wajahnya mulai memucat! Ia ingin menangis, tetapi berusaha kuat menahannya. "Ayo, dikit lagi!" seru Bram menyemangati. Kepala Devit menggeleng lemah. "Capek, Om ... dari tadi dikit lagi mulu!" gerutunya, memilih merebahkan tubuh di samping Acha. Aldo dan Bimo mendahului Acha yang semakin pasrah untuk tak lagi melanjutkan perjalanan. "Bram, gua duluan, ya, tinggal lurus aja! Pasti anak-anak juga lagi kesusahan diriin tenda." Bram sedikit keberatan, tetapi ia mengiyakan saja. Bukannya takut ditinggal dengan Acha dan Devit. Namun, bagaimana jika mereka berdua tak sanggup melanjutkan perjalanan? Apakah Bram harus mengiyakan keinginan Acha untuk nge-camp di pos dua? Oh, semoga saja tidak! Duar! Guntur menggelegar, rintik air dari langit enggan memberikan kesempatan bagi mereka untuk bangkit dan kembali melanjutkan perjalanan. Secepat kilat, Bram mengeluarkan poncho milik Devit. Acha yang tahu situasinya tidak aman karena hujan sudah turun datang, susah payah membuka carrier miliknya. Mengeluarkan poncho dan sia-sia! Acha terlalu lama dan lemah untuk mengeluarkna semua tenaganya. Bram yang masih memasangkan poncho ke badan Devit semakin kesulitan, melihat Acha yang jelas-jelas tak bisa berbuat apa. Aldo dan Bimo yang sudah tak ada di dekat mereka membuat Bram lagi-lagi ketakutan. Acha sudah pasrah, terserah dengan badannya yang basah kuyup! Selesai membenarkan poncho Devit, Bram menarik cepat carrier Acha dari genggaman. "Lo kenapa, sih? Jangan sampe kena hipo, ya, Cha!" umpat Bram, seraya mengeluarkan poncho milik Acha. Saat Bram meminta Acha untuk memakaikannya, wanita itu malah menolaknya kasar. "Gua gak butuh!" Bram menatapnya bingung, hujan yang semakin lebat membuat Bram dan Acha benar-benar basah kuyup, sedangkan Devit yang sudah berlindung dengan poncho-nya tetap diam di tempat. Tatapannya terjaga, menatap keadaan sekitar yang disiram ganas oleh air langit. Dingin! Devit mulai menggigil, perutnya yang banyak diisi cokelat terasa melilit. "Mama!" jeritnya. Suara Devit tertahan derasnya hujan, angin gunung juga tak kalah datang dengan ganasnya. Menghempas dedaunan, menciptakan suara angin yang terasa mengerikan didengar. Baru pertama kali dan mungkin akan menjadi kenangan buruk bagi Devit. Lihatlah, parahnya lagi Bram dan Acha sama-sama tak melindungi tubuhnya dari derasnya hujan. Ada apa? Mengapa mereka saling menatap tajam dalam kebisuan? "Gua mau pulang, gua gak bisa lanjutin, Bram!" Acha menunduk, bulir air matanya tersamarkan oleh air hujan. Tangan Bram terulur, meremas kedua bahu Acha. "Bukan waktunya lo mengenang dia, Cha! Jangan bodoh kayak gini, kita bawa Devit!" Acha mencari-cari keberadaan Devit dan anak itu sudah tak sadarkan diri di belakang Bram. "Devit!" Bram berbalik, segera menyambar tubuh mungil bocah lima tahun itu. Bocah yang tak tahu menahu tentang pendakian. Bocah yang dijanjikan oleh Bram bahwa gunung itu sangat menakjubkan! Tidak semenyeramkan apa yang dikatakan orang! "Dev, Devit!" panggil Bram mulai ketakutan, ia mencari-cari keberadaan rombongannya. Nihil. Tak ditemukan di balik kabut yang semakin menebal. "Oi! Irsad, Aldo!" Dari belakang, Acha sibuk memakai poncho-nya. Ini tentang keselamatan anaknya, bukan mempertahakan keegoisannya! "Bram, dia kenapa?!" Bram tak menjawab, tangannya yang dingin semakin bertambah dingin. Devit benar-benar tidak sadarkan diri. Jangan sampai ketakutan itu terjadi, Acha sudah menangis terisak takut terjadi sesuatu dan dia kembali menyesal. Jangan lagi menjadi seorang pembunuh! Note : Malam ini aku up satu bab, ya, maaf banget soalnya ada sodara yang baru meninggal. Mohon doanya, ya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN