04. Ditolak? Coba Lagi

1257 Kata
"Bukan sesuatu yang teramat sulit untuk digapai. Apalagi orang paling istimewa baginya benar-benar hilang, lima tahun berlalu bukanlah waktu yang pendek." Bukan mencintai dalam diam yang selama ini Bram pendam. Ia dengan gambang memperlihatkan, bahwa sangat peduli akan kehidupan Acha yang masih kukuh dengan pendirian. Berharap Devid kembali selamat, setelah dinyatakan hilang. Terkecuali sebuah cincin pernikahan mereka. Pertanyaannya, mengapa tersemat di jemari penumpang lain? Ah, maksudnya masih orang Indonesia. Namun, mengapa tidak Devid saja yang ditemukan? Kemungkinan berakhir kecewa karena Devid benar-benar telah meninggal dunia. Sekarang Bram masih terpaku menatap lalu lalang pejalan kaki. Hujan kembali datang menepi, segelas kopi kapucino mengepul di atas meja sendiri. Begitu juga Bram, tanpa seseorang yang setia menemani. Tentu saja, ia selalu menolak halus beberapa perempuan yang ingin mendekatinya. Alasan yang selalu diucapkan adalah sedang menjaga hati. Untuk siapa? Untuk Acha yang sama sekali tak pernah memberikan kesempatan baginya untuk menemani dalam kehidupannya. Bram menarik napas berat, selain tatapan genit dari beberapa teman kantornya. Ia juga mendapat banyak pesan masuk di setiap detik, menit dan waktu. Setelah ia melamar kerja di sebuah perusahaan besar dan hanya menemukan bayang perempuan kegatelan, Bram memilih keluar dari kekangan aturan kantor. "Gua balik lagi nge-guide aja, Vin, gak tau kenapa satu cewek yang gua suka tetep, dia. Semakim ada banyak cewek yang mencoba mendekati, gua langsung ilfeel," jelas Bram waktu lalu, menjawab pertanyaan teman kantornya. "Padahal, Bos, udah wanti-wanti ke gua, Bram! Lu bagus kalo diajak meeting, apa pun yang diperintah sesuai keinginan. Asal lo tau, bahkan gua iri tauk lo sepinter itu!" balas Devin, ia juga mencoba merayu Bram agar masuk kantor lagi. Namun, Bram tetap menolak. Ia lebih baik dianggap pengangguran saja. Walaupun sebenarmya ia tetap bisa hidup bebas dengan uang hasil memotret juga menjadi guide setiap gunung yang diinginkan penyewa. Hampir, semua rasa sakit karena menerima penolakan Acha ia lampiaskan menaklukkan puncak tertinggi daratan. Pulau Jawa sampai luar pulau Jawa pun sudah ia rasakan bagimana kesannya. Selalu, dalam doa setiap sampai di titik puncak ia berharap Acha menjadi partner mendakinya nanti. Di saat Bram menenangkan diri diiringi suara hujan, ia menemukan ide yang brilian. Sesungging senyum mengakhiri lamunan panjang. Segera beranjak pergi dari kafe, menancap gas cepat pergi menuju rumahnya. Di mana ia sudah menyiapkan kado kedua untuk Devit. Bocah mungil yang sudah menganggapnya mungkin sebagai ayah? Bram berharap begitu. Toh, Bram juga yang mengazani Devit waktu bayi. Sesampainya di rumah, ibunya kembali menyambut hangat di setiap melihat anak bungsunya itu pulang. "Dari mana saja kamu, Bram? Tadi ada teman kantormu datang," ucap Bu Lastri, seraya menyambar remot tv. Bram berbalik sebelum masuk ke dalam kamarnya. "Ma, Bram 'kan udah bilang, gak bakal kerja lagi, kan?" Bu Lastri menarik napas panjang. "Kamu ini, harapannya mau nikahin anak orang, tapi gak punya kerjaan. Apa yang harus kamu banggakan? Tampang?" "Bukan gitu juga, Bram lagi banyak proyek. Bram, memang gak kerja di kantoran, tapi bukan berarti Bram pengangguran, Ma ...." Ia pun segera masuk ke dalam kamar, menemukan kotak hadiah berisi mobil remot mahal untuk Devit. Di luar kamar, Bu Lastri mulai terbiasa dengan tingkah anaknya itu. "Terserah kalo gitu, yang mau jalanin juga kamu." Bram segera membawa kotak hadiahnya, tanpa memberitahukan kepergiannya kepada sang ibu, ia segera masuk kembali ke dalam mobil. Bukan langsung pergi ke apartemen Acha. Namun, ia punya ide, bukankah Devit sudah besar di umur 5 tahunnya ini? Tentu saja, Bram bisa mengajak bocah itu pergi berlibur, merasakan udara pegunungan yang membuatnya candu. Hujan sudah tak lagi turun, tetapi awan mendung masih terlihat jelas dan tak lama langit menjadi hitam. Bram menepikan mobilnya di parkiran depan sebuah masjid. Tidak jauh dari sana, sebuah toko peralatan gunung tujuannya masih buka. Ia segera masuk ke dalam masjid, kumandang iqamat magrib mengakhiri aktivitas duniawinya. Selepas salam dan zikir sebentar, Bram dikagetkan oleh pertanyaan seorang mahasiswa di sampingnya. "Kak Bram, ya? Alumni UI anak MAPALA?" tebak mahasiswa itu, di samping kanan dadanya, Bram membaca dalam hati sebuah nametag bertuliskan Anwar Arsadi. "Iya, kamu anak UI juga?" tanya balik Bram memastikan. Anwar terbahak. "Haha! Bukan, kak, saya dari univ swasta, tapi kenal sama Kak Bram waktu pendakian ke Ciremai itu, loh!" Bram mengerutkan keningnya dalam. "Gitu, ya, saya lupa soalnya banyak nanjak ke gunung lainnya," balas Bram, lupa akan wajah Anwar itu. "Hehe, saya Anwar, Kak. Bukan anak MAPALA tapi maksa ikut waktu pendakian ke Ciremai itu. Seneng bisa ketemu, bisa minta kontaknya, gak?" "Boleh, lain kali nanjak bareng, ya." Bram pun memberikan nomor ponselnya. Setelah berbasa-basi, mereka pun berpisah. Bram memutuskan berjalan kaki nenuju toko perlengkapan gunung, ia disambut seorang penjaga toko yang sudah mengenalinya. Namanya Anya, masih berumur 21 tahun, gadis yang katanya selalu menanyakan Bram kepada pegawai lain saat ia mendapat libur kerja. "Bram, kemaren Anya minta kontak lu, gua kasih deh. Ada gak dia nge-chat?" "Anya itu cewek cantik plus kalem, lu harus mau deh pacaran ama dia. Dijamin gak malu-maluin!" "a***y! Parah, sih, dari SMA dia jadi inceran semua cowok!" Semua info tentang Anya sudah Bram telan bulat-bulat dan ia hanya membalas denagn senyum kecilnya. Anya? Dia memang cantik dan elegan. Rambutnya selalu diikat ke belakang, menampilkan leher putihnya, kadang juga digerai. t**i lalat di ujung hidung mancungnya yang membuat langka di antara pegawai toko di sana, ia juga murah senyum, sedikit cerewet juga. "Selamat malam, Mas Bram." Anya membukakan pintu toko. "Malam," balas Bram, ia mencoba bersikap biasa. "Ehem!" Dehem Nijar, pegawai toko yang selalu melaporkam tentang kelakuan Anya tanpa Bram minta. "Jar! Gua minta jaket anak umur lima taun," pinta Bram, seraya memilih beberapa sepatu gunung yang ukurannya kecil. Anya melirik Nijar yang juga sedang memandangnya. "Mas Bram, buat siapa jaketnya? Sepupu?" tanya Anya, suaranya terasa lembut dan mendayu-dayu. "Ohh, buat anak temen!" Bram beranjak dari tempat sepatu, mencoba menjauhi Anya yang mulai agresif ingin dekat dengannya. Padahal, bukan seperti itu keinginan Bram. Ia harap Anya harus sadar diri, juga Nijar harus menceritakan statusnya. Walaupun dapat disimpulkan, Bram sedang menunggu seorang janda agar meliriknya. Anya juga sudah tahu soal Bram yang menanti Acha. Namun, ia tidak peduli. Sosok Bram adalah lelaki yang langka dan banyak diincar perempuan. Khususnya sesama pendaki. Pertama hasil potretannya selalu sangat mengagumkan, kedua wajahnya yang benar-benar berkarisma dan menantang, ketiga soal hobinya jantan sekali. Anya tersenyum kecil, langkah Bram yang mencoba menghindarinya sudah ia ketahui. "Gua tetep berusaha, lagian Mba Acha juga udah gak peduli sama kehadiran, Mas Bram," batin Anya. Setelah barang yang diminta sudah terkumpul, Bram pun segera membawanya ke kasir. Di belakangnya Anya tetap memantau. Bram tahu dan ia semakin tidak suka kepada perempuan semacam Anya. Sudah tahu ia tidak peduli, tetapi malah sok peduli dan perhatian. Percuma! Hati Bram hanya untuk Acha seorang. "Banyak amat, mau ngajak anak orang ke gunung, lo?" sindir Nijar, membuat Bram mendengkus sebal. "Bukan urusan lu!" balas Bram. Anya menimpal, "Aduh, belum juga jadi ayah udah perhatian, ya. Mas Bram emang beda!" Bram tersenyum canggung. "Ini buat hadiah ulang tahun, kok, gak lebih." Selesai membayar hasil belanjaan, Bram segera pamit keluar. Tanpa ia sadari, Anya mengikuti sampai di samping pintu kemudi mobilnya. Bram berbalik kaget, sedangkan Anya mulai senyum malu-malu kucing. "Mas Bram, kok, chat dari Anya gak dibales mulu, sih?" Ah, itu Bram memang sengaja. "Oh, lo nge-chat? Nanti gua bales, sorry lagi sibuk!" Dengan cepat Bram segera masuk ke dalam mobilnya. "Oh, ya udah. Dadah!" Anya melambaikan tangannya, mobil Bram sudah melaju kencang menjauhi. "Duh, ngurusin anak janda mulu. Tau rasa kalo dikecewain!" gerutunya. Note : Alhamdulillah bisa update hari ini, apa kabar kalian? Kangen gak sama Acha dan Devid? Insyaallah, bulan Agustus ini aku konsisten update, mohon doanya agar lancar jaya, hihi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN