"Kalau saya boleh tahu, kenapa tadi pagi kamu enggak sarapan?" tanya pak Arya yang berjongkok di depanku, dan menatapku yang sedang terbaring di atas sofa, padahal—di sisi kiri dan kanan sofa masing-masing terdapat sebuah kursi, yang bisa ia duduki, tapi ia malah memilih untuk berjongkok; dan hal tersebut membuatku jadi merasa tidak enak padanya, apalagi jika mengingat dirinya yang merupakan atasanku. Sungguh! Aku jadi merasa seperti tidak sopan.
"Saya sedang enggak nafsu makan, pak" aku tersenyum canggung, dan menatapnya dari samping.
Ia langsung menghela nafasnya, dan memalingkan pandangannya sejenak, "Kan saya pernah bilang, kalau sarapan itu begitu penting, selain membuat tubuh menjadi berenergi, akan membuat perut jadi terisi, dengan begitu angin enggak akan masuk ke dalam tubuh, apalagi kalau kita bekerja di ruangan yang ber-AC".
"Iya pak" aku mengulum bibirku, dan memalingkan pandangan darinya, karena aku jadi merasa semakin tidak enak.
"Lalu kenapa kamu enggak makan siang? Kan sudah waktunya istirahat"
"Saya sedang banyak pekerjaan, pak. Nanti jika ditunda, maka pekerjaan saya akan menumpuk, lalu nanti bisa-bisa saya lembur" jawabku, sambil tersenyum dan menoleh ke arahnya.
"Enggak akan lembur, kan pekerjaannya bisa dilanjut besok, terkecuali jika memang harus diselesaikan hari ini juga" ia berkata, sambil menatapku.
Tapi tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu dari luar sana, membuat kami langsung menoleh.
"Sebentar, ya" ia bangkit dari posisinya, dan berjalan untuk membukakan pintu.
Aku hanya menggangguk, dan kulihat ia yang membuka pintu dan mengobrol dengan seseorang, yang merupakan seorang OB.
"Sebentar" ia merogoh saku celananya, dan mengambil sesuatu yang sepertinya adalah uang, lalu ia memberikannya pada OB tersebut, "Ini, terima kasih ya, sisanya ambil saja".
"Baik pak, terima kasih kembali"
"Sama-sama, dan selamat bekerja kembali" ia menggangguk, dan menepuk bahu OB itu. Lalu ia kembali menutup pintunya, dan berjalan menghampiriku dengan membawa sebuah bungkusan berwarna putih di tangannya.
Aku segera bangkit dari posisiku dan duduk di sofa, karena tidak mungkin jika aku makan sembari tiduran.
"Lho, kenapa bangun?" ia mengerutkan dahinya, dan terlihat heran.
"Kan mau makan pak" aku tersenyum canggung dan menundukkan kepala.
"Iya, tapi kan bisa sambil tiduran" ujarnya, membuatku mengangkat kepala, dan kulihat ia yang mendudukkan tubuhnya di sebelahku. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan tersebut; dan ternyata itu adalah sebuah kotak styrofoam, yang kuyakin isinya adalah seporsi bubur, beserta dengan sebuah sendok plastik di atasnya. Kemudian ia membuka kotak tersebut, dan menyendoknya.
"Enggak usah pak, saya bisa makan sendiri" aku menggeleng pelan dan tersenyum canggung, saat menyadari kalau ia ingin menyuapiku, dan tentu saja aku tidak mau; sebab itu akan membuatku—semakin merasa tidak enak padanya.
"Enggak apa-apa, biar saya suapi, ayo buka mulutnya" ia menatapku dari samping, dengan sesendok bubur yang diarahkan pada mulutku.
Aku pun hanya menurut dan menggangguk, sembari menoleh ke arahnya dan membuka mulut, lalu memakan suapan darinya.
"Makannya harus dihabiskan, agar perut kamu enggak kosong lagi, setelah itu baru minum obat sakit kepala" ia berbicara sambil menatap sekotak bubur yang dipegangnya, dan kembali menyendoknya.
"I-Iya pak" aku menggangguk, dan memperhatikannya dari samping.
"Ayo buka mulutnya lagi" ucapnya, yang kembali mengarahkan sesendok bubur padaku.
Aku hanya menggangguk dan membuka mulutku kembali, lalu memakan sesendok bubur yang ia suapkan.
Beberapa menit kemudian. . . Ia baru saja selesai menyuapiku, tapi aku tidak memakan bubur tersebut sampai habis; karena perutku terasa mual, seakan ingin memuntahkan isinya.
Kuperhatian ia yang masih setia duduk di sampingku, dan membuka obat sakit kepala.
"Ini obatnya" ujarnya, memberikan obat tersebut padaku.
"Iya pak" aku menggangguk dan mengambil obat itu dari tangannya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Dan ini airnya" ia memberikanku sebotol air mineral yang masih tersisa.
"Terima kasih, pak" aku tersenyum canggung sambil menerima air mineral tersebut, dan meneguknya perlahan.
"Kalau sampai satu atau dua jam ke depan enggak ada perubahan, kita ke dokter saja, dan saya enggak mau mendengar penolakan" ia berkata, sambil memperhatikanku dari samping.
"I-Iya pak" aku menggangguk dan menunduk, tanpa berani membantah ucapannya, "Maaf, hari ini saya banyak merepotkan bapak".
"Saya enggak merasa direpotkan kok, lagipula kamu kan karyawan di sini, jadi sudah sepantasnya, jika saya memberikan perhatian padamu" ucapnya, membuatku mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya.
Apa yang ia katakan ada benarnya juga, tapi apakah ia juga akan se-perhatian itu pada karyawan yang lain? Sebab saat bekerja di tempat lain, aku tidak pernah mendapatkan—perhatian dari atasanku seperti ini. Atau mungkin, karena sebelumnya aku selalu mendapatkan atasan yang sudah menikah? Sehingga mereka tidak bisa memberikanku perhatian, seperti yang diberikan oleh pak Arya.
***
Pak Arya memberhentikan mobilnya, saat tiba di depan rumahku. Segera aku membuka sabuk pengaman dari tubuhku. Akhirnya, sakit kepalaku hilang setelah meminum obat yang diberikan oleh HRD-ku itu; sehingga aku tidak perlu ke dokter, lagipula aku begitu yakin, jika aku hanya masuk angin saja.
"Sekali lagi terima kasih mas, dan maaf, hari ini saya sudah banyak merepotkan mas" aku menundukkan kepala, dan tersenyum tipis.
"Sama-sama, tapi saya sama sekali enggak merasa direpotkan oleh kamu" ia menatapku, dan mengukirkan senyuman di wajah tampannya.
"Tapi tetap saja mas, saya merasa enggak enak" ucapku dengan kepala yang tetap aku tundukkan.
"Kamu enggak perlu merasa seperti itu"
"Baiklah, kalau begitu sekali lagi terima kasih, mas" aku menggangguk, dan tersenyum.
"Sama-sama" ia menggangguk, dan masih menatapku dari samping, "Tapi jika nanti kamu merasa enggak enak badan lagi, segera lah hubungi saya, kapanpun dan jam berapa pun itu".
"Iya mas, dan. . . Terima kasih" aku mengangkat kepala, dan menatapnya sambil tersenyum.
Namun ia hanya menggangguk, dan mengukirkan senyuman di wajahnya; sebuah senyuman yang begitu tulus, membuat siapapun yang melihatnya jadi ikut tersenyum.
Karena tidak ingin terlalu lama menatap wajahnya, aku pun segera membuka pintu mobilnya, dan melangkah keluar. Lalu tidak lupa aku menutupnya kembali.
Kulihat ia yang kembali tersenyum, sebelum akhirnya melajukan mobilnya, dan meninggalkan rumahku.
***
"Jadi tadi Lo hampir pingsang?"
"Iya, tapi untung aja ada Pak Arya" jawabku, mendudukkan tubuh di tepi tempat tidur dan memegang ponsel yang ditempelkan di telinga.
"Makanya jangan cari penyakit. Siapa suruh pagi enggak sarapan udah gitu siang malah enggak makan. Akhirnya masuk angin kan Lo" omel Ava di seberang sana.
"Iya, iya, gue tau kok kalau gue salah" aku berkata dan menundukkan kepala. "Tapi gue masih enggak nyangka kalau Pak Arya bakal begitu perhatian sama gue. Dan jujur... Selama ini gue enggak pernah ketemu HRD yang kayak dia"
"Kayaknya dia naksir deh sama Lo"
"Naksir?" aku mengerutkan dahi "Maksud Lo dia suka sama gue gitu?"
"Iya. Logikanya aja nih ya, dia enggak bakal sampai perhatian kayak gitu sama Lo kalau dia enggak naksir sama Lo"
"Tapi kan bisa aja itu karena gue karyawan di sana" aku berkata dengan dahi yang mengerut.
"Oke, kalau emang itu alasannya. Tapi emang ada HRD yang bakal kasih perhatian ke bawahannya sampai kayak gitu? Bahkan dia sampai suapi Lo bubur"
Aku langsung terdiam dan membeku setelah mendengar yang dikatakan oleh sahabatku. Tapi apa yang ia katakan memanglah benar, tidak ada HRD yang sangat perhatian pada karyawannya seperti yang dilakukan oleh Pak Arya. Apakah itu berarti yang Ava katakan memang benar? Yaitu Pak Arya jatuh cinta padaku.
"Nah, kan dia malah diam" tambah Ava dan membuatku tersadar dari lamunan.
"Maaf, maaf. Tapi yang Lo bilang benar juga sih" jawabku menganggukkan kepala.
"Iya lah, karena itu emang enggak masuk akal. Tapi kalau gue boleh tau gimana perasaan Lo ke dia? Lo naksir juga enggak sama dia?"
Aku menghela nafas dan menundukkan kepala setalah mendengar pertanyaan yang dilontarkan olehnya. "Gue enggak tau"
"Kok enggak tau? Emang Lo enggak merasa canggung kalau ada di dekat dia?"
"Kalau canggung sih iya, tapi itu kan wajar soalnya dia atasan gue" jawabku melipat tangan lainnya di d**a.
"Iya juga sih. Tapi..."
"Tapi apa?" aku mengerutkan dahi dan mulai merasa penasaran karena ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya.
"Lo yakin kalau dia belum punya pacar atau istri?"
"Yakinlah. Kan dia sendiri yang bilang" jawabku sedikit dongkol padanya. "Lagipula, kalau dia udah punya pacar atau istri kenapa dia malah mendekati gue?"
"Eits, jangan salah jaman sekarang itu banyak yang kayak gitu. Ngakunya sih belum nikah atau enggak punya pacar. Eh, enggak taunya anaknya udah 3"
"Tapi enggak mungkin kalau Pak Arya kayak gitu. Lagipula, dia kelihatan seperti pria yang baik kok" aku berkata dan berusaha untuk membela HRD-ku itu. Karena aku percaya ia bukan tipe pria yang seperti dikatakan oleh Ava.
"Ingat, jangan menilai orang dari luarnya aja. Luarnya baik belum tentu dalamnya baiknya juga. Jangan sampai ketipu sama yang kelihatannya baik tapi enggak taunya... Ya begitu deh.
Aku hanya terdiam dan mulai memikirkan yang dikatakan oleh Ava. Ia memang benar, banyak orang yang seperti itu dan seringkali aku salah menilai seseorang.
"Saran gue sebaiknya Lo hati-hati dan jangan terlalu dekat sama HRD Lo itu. Jangan sampai nanti Lo malah dicap sebagai Pelakor" tambahnya membuatku tersadar dari lamunan.