Pak Arya Naksir?

1050 Kata
"Jadi kamu hanya tinggal sendiri?" tanya pak Arya yang duduk di depanku sambil menyantap makan malamnya. Seperti yang sudah kami bicarakan saat di jalan, akhirnya kami mampir ke sebuah restoran untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. "Iya mas, saya hanya tinggal sendiri" aku mengangguk sambil mengunyah makanan yang berada di dalam mulutku. "Tapi apakah kamu enggak merasa kesepian?" ia kembali bertanya dan menatapku. "Enggak mas, justru saya merasa begitu tenang dan nyaman" aku menggeleng pelan, dan menundukkan kepala. "Tapi di daerah kamu aman, kan?" ia mengangkat satu alisnya, tanpa melepaskan pandangannya dariku, seolah tidak ada objek lain yang menarik perhatiannya. "Tentu saja aman mas, karena aku sudah lama tinggal di sana" jawabku sambil mengganggukkan kepala, dan menatap sepiring makanan yang berada di depanku. "Oh ya?" tanyanya, yang terlihat sedikit terkejut, "Kalau aku boleh tahu, memangnya sudah berapa lama kamu tinggal di sana?". "Sudah sekitar 5 tahun, mas" "Sudah lama juga ya" ia menggangguk, "Tapi sesekali kamu mengunjungi keluargamu, kan?". "Kalau itu sih udah pasti mas, dan seperti menjadi sebuah kewajiban" jawabku, sambil tersenyum. "Berarti kita kebalikan" ucapnya, membuatku mengangkat kepala dan menatapnya. "Kebalikan? Maksudnya mas?" aku mengerutkan dahi, dan menatapnya dengan tidak mengerti. "Kalau kamu kan tinggal sendiri karena keluargamu tinggal di kota asalmu, nah kalau saya tinggal sendiri karena orang tua dan adik saya tinggal di negara lain" jawabnya, yang beralih menatapku. "Jadi mas tinggal sendiri juga?" tanyaku, dan ia hanya menggangguk, dengan disertai senyuman yang terukir di wajah tampannya, "Kalau begitu kita sama mas" aku menundukkan kepala, dan tersenyum canggung. "Benar" ia menggangguk, "Sebab orang tua saya sibuk mengurus bisnis mereka yang berada di sana". Aku mengangkat kepala dan menatapnya tanpa berkata apa pun. Ia bilang, orang tuanya sibuk mengurus bisnis mereka yang berada di sana, mungkin bisa dibilang; orang tuanya—mempunyai perusahaan sendiri, tapi kenapa ia malah bekerja dengan orang lain? Kenapa ia tidak bekerja dengan orang tuanya saja? *** Aku menghela nafas dengan lega dan mendudukkan tubuh di tepi kasur. Tubuhku sudah terasa segar kembali setelah—hampir seharian bekerja, dan sekarang waktunya untuk beristirahat; walaupun kutahu, mataku tidak akan bisa langsung terpejam, tapi setidaknya aku bisa menempelkan tubuhku pada kasur yang empuk, sembari merenggangkan otot-otot. Namun tiba-tiba, aku teringat—saat tadi pak Arya menyentuh bibirku, untuk menghapus sisa makanan. Pada saat itu, aku langsung mendadak jadi patung; tapi tidak dapat kubohongi, pipiku terasa panas, dan mungkin jadi memerah juga. Sungguh! Aku tak menyangka, jika rupanya ia bisa bersikap manis juga, membuatku merasa seperti meleleh dalam seketika. Aku langsung tersadar dari lamunanku, saat mendengar suara ponselku yang berdering. Segera aku mengambil benda tersebut yang berada di atas nakas, dan menatap layarnya. "Ava? Tumben sekali ia menghubungiku malam-malam seperti ini" aku bergumam, saat melihat ada sebuah panggilan masuk dari nomor sahabatku. Karena tidak mau membuatnya menunggu lama, aku langsung menjawab panggilan darinya, dan mendekatkan ponsel pada telingaku. "Hallo Della, temanku" sapanya di sebrang sana, yang terdengar seperti sedang merasa bahagia. "Iya, ada apa Va?" tanyaku sambil bangkit dari posisiku, dan menyandarkan tubuh pada dinding kamar. "Enggak apa-apa, gue cuma pengen ngobrol sama lo aja" "Oh. . . Tapi kok tumben lo nelpon gue jam segini?" tanyaku, sambil melirik ke arah jarum jam, yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. "Kan tadi gue sibuk kerja" "Oh iya, terus apa yang mau lo obrolin?" aku kembali bertanya padanya, dan sedikit penasaran, dengan apa yang ingin ia bicarakan. "Lo tau enggak?" "Enggak, kan lo belum bilang" jawabku. "Ih. . . Dengerin dulu makanya" "Iya iya, apa?" aku tertawa pelan, dan menggelengkan kepala—membayangkan betapa lucu raut wajahnya, saat sedang seperti itu. "Tadi anaknya pemilik cafe datang, dan lo tau? Dia semakin tampan, dan juga keren" Aku menghela nafas dan memijat pelipis; sudah kuduga, kalau ia akan membicarakan hal tersebut, karena katanya—anak dari pemilik cafe tempatnya bekerja itu tampan, dan jika sedang tidak sibuk, ia akan datang ke sana untuk mengontrol cafe milik ayahnya. "Terus lo tau enggak? Tadi dia menyapa gue dan nanya kabar gue. Aaaaa. . . Gila, gue langsung ambyar" Seperti ini lah Ava, jika sedang jatuh cinta pada seseorang, maka ia akan begitu menggilai orang tersebut. "Jadi lo cuma mau ngomongin itu doang?" tanyaku, saat aku merasa lelah mendengar—kebucinannya pada anak bosnya. "Hehehe, iya" "Gue kira mau ngomongin apa" aku kembali menghela nafas, dan menggelengkan kepala. "Hehehe maaf ya, lo jadi tempat untuk mendengar kebucinan gue" "Iya enggak apa-apa" jawabku, sambil menggangguk. "Terus lo gimana? Kok tadi lo enggak mampir ke cafe lagi sih?" "Maaf ya, tadi gue kembali diantar pulang sama HRD gue, udah gitu dia ngajakin mampir ke restoran untuk makan, karena katanya, tadi siang dia enggak sempat makan" jelasku, yang mulai menceritakan padanya, tentang alasan mengapa hari ini aku tidak mengunjunginya. "Jadi kalian makan malam bareng dong, ciye. . ." Aku hanya menghela nafas, dan mengusap wajah dengan telapak tangan. "Terus terus gimana?" tanyanya di sebrang sana, yang terdengar seperti sedang penasaran. "Ada satu momen, yang bikin gue hampir aja meleleh" "Hah?! Momen apaan emangnya?" tanyanya kembali. "Tadi dia pegang–" "Wah, pegang apa tuh?" ucapnya, yang sengaja memotong ucapanku, membuatku kembali menghela nafas. "Gue belum selesai ngomong!" ucapku sambil menahan emosi, karena aku merasa kesal dengannya, yang sudah memotong ucapanku. "Iya iya maaf, ya udah lanjut" "Dia pegang bibir gue, karena menghapus sisa makanan" ucapku, yang kembali teringat dengan hal tersebut. "Ciye. . . Pasti pipi lo langsung merah tuh kayak tomat" "Gue rasa juga begitu" aku menggangguk, dan menatap ke depan, "Dan lo tau? Tadi pagi dia datang ke rumah buat jemput gue, dan berangkat ke kantor bareng". "Kok gue jadi merasa, kalau HRD lo itu naksir sama lo, soalnya semakin hari dia semakin ngedeketin lo, bahkan waktu hari Sabtu, dia ngajakin lo jalan-jalan" Aku langsung terdiam, dan mendadak jadi patung, setelah mendengar yang baru saja Ava katakan. Dan apakah benar, kalau pak Arya memang menyukaiku? "Logikanya nih ya, enggak mungkin dia mau repot-repot nganterin lo pulang setiap hari, terus jemput lo, dan ngajak lo jalan pada hari libur, kalau dia enggak suka sama lo. Jadi udah pasti, dia emang naksir sama lo, dan lagi berusaha buat deketin lo" Aku kembali terdiam, dan memikirkan hal tersebut. Namun apa yang Ava katakan, ada benarnya juga; tapi aku tidak mau terlalu memperdulikan hal tersebut, karena aku tidak mau dibilang terlalu percaya diri, jadi biarkan saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN