Aku menghela nafas lega setelah tiba di meja kerjaku. Tadi aku hampir saja telat, karena menunggu ojek online yang tidak juga mengambil orderan-ku.
"Hampir saja telat" aku bergumam sambil meletakkan tas yang kubawa di atas meja dan mendudukkan tubuhku di atas kursi.
"Memangnya kenapa kok bisa hampir telat?"
Aku langsung menoleh begitu mendengar suara tersebut yang merupakan suaranya Bram dan dapat kulihat; ia yang sudah berada di meja kerjanya, yang berada di sebelah kananku.
"S-Selamat pagi, Bram" aku menyapanya, dan tersenyum canggung, karena aku masih merasa tidak enak padanya akibat hal yang kemarin sore.
"Selamat pagi juga, Della" ia menoleh ke arahku, dan tersenyum—senyuman yang terlihat begitu tulus, "Kalau aku boleh tahu, memangnya kenapa kau bisa hampir telat?" ia mengulangi pertanyaannya, dan mengangkat satu alisnya.
"Karena ojek online yang lama mengambil orderan-ku" aku kembali tersenyum canggung, dan menundukkan kepala, karena tidak berani beradu pandang dengannya.
"Kenapa tidak menghubungiku saja, agar aku bisa menjemputmu?" ujarnya.
"Aku kan tidak punya nomormu" aku menoleh ke arahnya, dan menatapnya, "Lagipula, aku tidak mau merepotkan mu" sambungku, yang kembali tersenyum canggung, dan menundukkan kepala.
Ia langsung tertawa, membuatku melirik ke arahnya, dan kulihat ia yang memalingkan pandangannya, sambil menepuk keningnya, "Aku lupa kalau kau tidak mempunyai nomorku, dan begitu pula denganku yang tidak mempunyai nomormu" ucapnya.
"Hampir saja telat, ya?"
"Iya, gara-gara macet kita hampir saja telat"
Aku langsung menoleh saat mendengar suara tersebut yang sudah tidak asing bagiku, dan dapat kulihat Carissa dan Elina—yang rupanya juga baru datang.
"Rupanya aku tidak sendirian" kalimat tersebut langsung keluar dari bibirku membuat kedua rekan kerjaku itu menoleh ke arahku.
"Tidak sendirian?" tanya Carissa yang terlihat bingung dan mengerutkan dahinya.
"Kan kau memang tidak sendirian, tuh ada Bram di sebelahmu" sahut Elina, sambil menunjuk ke arah Bram dengan dagunya.
"Ah, bukan itu maksudku" aku menundukkan kepala, dan tersenyum canggung, "Maksudku tadi aku juga hampir saja telat" sambungku.
"Oh. . . Aku kira apa" Carissa mengangguk dan berjalan menuju meja kerjanya.
"Memangnya kau juga baru datang?" tanya Elina yang juga berjalan menuju meja kerjanya.
"Selamat pagi semuanya"
Aku langsung menoleh begitu mendengar suara tersebut dan dapat kulihat Arsen yang sedang berdiri tidak jauh di dekat meja kerjaku.
"Selamat pagi juga, Pak" jawabku dan lainnya secara serempak.
"Selamat pagi, Della" Arsen tersenyum, dan menoleh ke arahku membuat buru-buru menundukkan kepala.
"S-Selamat pagi, Pak" aku menjawab dengan sedikit gugup.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya yang masih menatapku.
Sial! Kenapa ia bertanya seperti itu?! Aku mengutuk di dalam hati dengan kepala yang tetap aku tundukkan.
"Sayang~ Aku masih merasa tidak enak badan"
Aku refleks mengangkat kepalaku, saat mendengar suara tersebut; dan kulihat seorang wanita yang berjalan menghampiri Arsen dan memeluk lengannya.
Hatiku langsung terasa—begitu sakit saat melihatnya, segera aku menundukkan kepala dan mengulum bibirku.
Siapakah wanita itu? Karena aku baru melihatnya hari ini. Dan kenapa ia memanggil Arsen dengan panggilan itu? Apakah ia adalah kekasihnya Arsen?
"Kalau masih merasa tidak enak, kenapa masuk kerja?!" tanya Arsen dengan suara yang sengaja ia tinggikan—membuatku langsung menoleh ke arah mereka berdua.
"Kalau aku tidak masuk kerja lagi nanti pekerjaanku semakin banyak dan akan menumpuk" jawab wanita itu dengan bibir yang sengaja ia kerucutkan dan kembali memeluk tangannya Arsen sambil menyandarkan kepalanya.
"Jaga sikapmu Vira! Saat ini kita sedang berada di kantor" Arsen menepis tangan wanita itu dengan kasar dan menatapnya dengan datar—sama sekali tidak ada ekspresi sedikitpun. Bahkan senyuman yang semula terukir di wajahnya kini hilang begitu saja.
"Saat sedang berada di luar kantor pun, kau akan tetap bersikap cuek padaku. Bahkan kau juga tidak mau aku sentuh atau menyentuhku" ujar wanita itu dengan kepala yang ia tundukkan dan bibir yang kembali ia kerucutkan.
Namun Arsen malah membalikkan tubuhnya dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, bahkan ia tidak memperdulikan wanita itu.
Menyadari hal tersebut membuat wanita itu mendengus kesal dan menghentakkan satu kakinya, "Kau sangat menyebalkan, Arsen! Sampai kapan kau akan terus mengagetkanku!" pekiknya.
Aneh. . . Jika wanita itu memanglah kekasihnya Arsen, kenapa ia malah mengabaikannya seperti itu? Bahkan ia juga membentak wanita itu jauh berbeda—saat ia masih berpacaran denganku; karena dulu ia sama sekali tidak pernah menaikkan nada bicara saat sedang berbicara denganku. Justru ia selalu berbicara dengan lemah lembut. Bahkan ia juga tidak pernah menolak saat aku menyentuhnya dan ia juga sangat perhatian padaku sama sekali tidak pernah mengacuhkan ku. Tapi kenapa sikapnya berubah 180° pada wanita itu? Atau jangan-jangan orang tuanya menjodohkannya dengan wanita tersebut?