Hari Kedua

1007 Kata
Ini adalah hari kedua, aku bekerja di kantor ini—perusahaan milik mantan kekasihku; seseorang yang dulu pernah ada di hatiku, kini menjadi bosku. Dihari kedua bekerja, aku berusaha untuk bekerja sebaik mungkin dan tidak membuat kesalahan apa pun, karena aku tidak mau dibilang, karyawan baru tapi sudah membuat masalah. "Selamat pag–" Aku langsung menoleh, begitu mendengar suara tersebut, dan dapat kulihat; seorang pria yang memakai kemeja berwarna merah marun sedang berdiri di dekatku, dan terpaku menatapku. "Apakah kau karyawan– Maksud aku, admin baru di sini?" tanyanya. "Iya, aku admin baru di sini" jawabku, mengganggukkan kepala dan tersenyum. "Lho, kok aku baru tau?" ujarnya, yang terlihat heran. "Makanya Bram, jangan keseringan enggak masuk, jadinya ketinggalan berita" sahut Carissa, dari meja kerjanya. "Nah, benar tuh!" Elina menggangguk, dan meng-iyakan ucapan temannya. "Aku kan enggak masuk karena sakit, bukan karena sengaja bolos" bantah pria itu, sambil menatap Carissa dan Elina, yang duduk bersebelahan. Lalu ia beralih menatapku, dan mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, namaku Abraham Naufal Bagaskara, panggil aja Bram, tapi kalau mau panggil sayang juga enggak apa-apa" ujarnya. "Uhuk!" "Batuk, Bu?" ujarnya, yang beralih menatap Carissa sesaat, dan kembali menatapku. "Salam kenal Bram, namaku Della" aku tersenyum, dan menjabat tangannya. "Salam kenal juga Della, nama yang cantik, sama seperti orangnya" ucapnya sambil tersenyum, dan menatapku. "Modus terus ya, Bram" sahut Carissa, dari meja kerjanya. "Tau nih Bram, masih pagi tapi udah modus aja" Elina menggangguk, dan meng-iyakan ucapan temannya. "Hey, hey, kalem girls, kalau kalian mau dipuji juga bilang aja" ujar Bram beralih menatap Carissa dan Elina, tanpa melepaskan tanganku yang masih berjabatan dengan tangannya. "Yeee, siapa juga yang mau dipuji olehmu" Carissa mendengus, dan memutar bola matanya. "Ah maaf, tanganku" ujarku, membuat Bram beralih menatapku, dan melihat tangan kami yang masih saling berjabatan. "Eh iya, maaf ya, aku lupa" katanya, tersenyum canggung dan menarik tangannya. "Iya enggak apa-apa" aku menggangguk, dan menundukkan kepala. "Udah Bram duduk sana, jangan modus mulu" ujar Elina, dari balik meja kerjanya. "Kayaknya kalian berdua emang iri, kalau mau dipuji juga bilang aja" Bram berjalan menuju meja kerjanya, yang ternyata berada di sebelah meja kerjaku. "Begini nih, kalau orang kepedean" ucap Carissa, sambil memutar bola matanya, dan menatap layar komputer yang berada di depannya. Aku hanya tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku, melihat mereka bertiga—yang membuat pagiku ini sedikit lebih berwarna. *** Siang ini aku kembali menyantap makan siang di sebuah restoran, yang berada di dekat kantorku. Padahal, tadi Carissa dan Elina mengajakku untuk makan bakso atau mie ayam bersama di tempat langganan mereka, tapi aku menolak. Sebab jika hanya memakan mie ayam atau bakso, maka rasa kenyangnya tidak akan bertahan lama—satu atau dua jam kemudian, aku pasti akan kembali merasa lapar. Maka dari itu, aku memutuskan untuk memakan nasi di restoran ini, agar rasa kenyangnya bertahan lebih lama. "Akhem" Aku langsung mengangkat kepala saat mendengar suara tersebut, dan dapat kulihat, Arsen yang entah sejak kapan sedang berdiri di depanku. "Apakah aku boleh duduk di sini?" tanyanya, menatapku dengan satu alisnya yang terangkat dan mengukirkan senyuman. Aku menghela nafas sedikit kasar dan mengalihkan pandangan darinya. "Iya" jawabku yang begitu singkat dan juga datar. "Terima kasih" ia tersenyum, menarik sebuah kursi yang berada di depanku dan mendudukinya. Namun aku hanya menggangguk, dan kembali melanjutkan makan siangku, yang sempat tertunda. "Makan yang banyak, agar kau tetap sehat" ujarnya, sambil tersenyum dan memandangiku. "Iya" ucapku, kembali menggangguk dan tanpa menatapnya. "Aku masih tidak menyangka, jika akhirnya kita bisa bertemu lagi. Rasanya seperti mimpi" katanya, sambil tersenyum dan terus menatapku, seolah tidak ada objek lain yang menarik perhatiannya. Tapi aku hanya diam saja, dan terus menyantap makan siangku, tanpa merespon ucapannya—walaupun banyak yang ingin kutanyakan padanya; salah satunya adalah sejak kapan ia kembali ke negara ini? "Apakah kau tidak ingin bertanya padaku, sejak kapan aku kembali ke sini?" ia mulai bertanya, dan masih menatapku. Tunggu! Itu adalah salah satu pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Tapi kenapa ia bisa tahu, kalau aku ingin menanyakan hal tersebut? Apakah ia bisa membaca pikiranku? "Hey, kenapa hanya diam saja?" tanyanya, yang menyadarkanku dari lamunan. Aku menggeleng pelan, dan mengalihkan pandangan darinya. "Haruskah aku menanyakan hal tersebut?" tanyanya, yang berbalik tanya padanya, dan memasang raut wajah yang datar. "Ya. . . Tidak juga sih, tapi mungkin saja kau penasaran, dan ingin mengetahuinya" jawabnya, sambil memalingkan pandangannya, dan memperhatikan ke sekitar restoran ini yang cukup ramai, dan hampir dipenuhi oleh para karyawan yang sedang menyantap makan siang. Kuhela nafasku dengan sedikit kasar, dan menatap sepiring makanan yang masih tersisa, tanpa mengatakan apa pun; karena sebenarnya—aku begitu malas untuk bertatapan ataupun mengobrol dengannya, sebab hal tersebut membuatku kembali teringat dengan semua kenangan bersama dengan dirinya. "Dan kau tahu?" ucapnya, membuatku mengangkat kepala dan menatapnya. "Setelah lulus aku langsung kembali ke Indonesia, bahkan aku tiba di sini hari itu juga. Karena aku berniat untuk menemuimu dan memintamu untuk kembali menjalin hubungan asmara seperti dulu. Tapi setelah tiba di rumahmu yang kudapatkan hanyalah rasa kecewa, karena rumahmu sudah kosong. Dan saat aku bertanya pada tetangga sebelah rumahmu, ia mengatakan bahwa kau dan keluargamu sudah pindah sejak lama. Namun ia tidak tahu kau pindah ke mana." Aku langsung terdiam setelah mendengar yang baru saja ia katakan. Dan kini—aku kembali teringat dengan hal tersebut. "Sungguh! Saat itu aku merasa begitu kacau dan rasanya bercampur aduk. Sedih, kecewa, putus asa, hingga membuatku frustasi" tambahnya, membuatku tersadar dari lamunan. "Ingin mencari tapi aku tidak tahu harus mencari ke mana, ingin bertanya pada Ava namun aku tidak tahu di mana rumahnya, bahkan ia juga mengganti nomor dan memblokir semua akun sosial mediaku. Seolah sengaja agar aku tidak bisa menghubunginya untuk menanyakan dirimu." Aku kembali terdiam setelah mendengar yang ia katakan. Benar, setelah beberapa hari setelah kelulusan aku pindah ke Bandung karena keluargaku pindah ke sana. Sementara rumahku yang ada di Jakarta sudah dijual. Namun aku tidak menyangka jika ia segera terbang ke Indonesia hanya untuk menemuiku, bahkan ia langsung ke rumahku begitu tiba di Jakarta. Itu berarti ia masih mencintaiku dan tidak bisa melupakanku. Tapi apakah sampai sekarang ia masih mencintaiku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN