Author’s POV
"Nate, ngapain lo di kamar gue!" Mike baru saja masuk ke kamarnya. Mendapati Nathan sedang bersantai di kamarnya.
"Lagi nyantai aja, gak boleh?" tanya Nathan masih menekuni Ipadnya.
"Gak, lo punya kamar sendiri, kan? Sana pergi." Usir Mike, melempari Nathan dengan baju yang baru di lepasnya.
"Jorok banget sih." Protes Nathan langsung menyingkirkan kaos penuh keringat Mike. "Gue mau ngomong sama lo."
"Apa?" tanya Mike, sedang memilih baju untuk di pakainya setelah mandi nanti.
"Lo punya apartement di Clover, kan?" tanya Nathan, memastikan.
"Ada, emang napa?" tanya Mike, sudah bersiap masuk ke kamar mandi.
"I wanna borrow it." Jawab Nathan.
"What for?" tanya Mike, menaikkan satu alisnya.
"Live there. So I can get more sleep." Jawab Nathan.
"Hah? Bukannya lo punya apartement di daerah situ? Kenapa malah nebeng di apartement gue?" protes Mike.
"Masih dalam pembangunan," jawab Nathan. "Come on, gue butuh banget."
"Buat berapa lama?" tanya Mike.
"Till my apartement done," jawab Nathan. "Lo jarang ke sana kan? Come on, kembaran lo yang satu ini beneran butuh."
"Buat apa sih? Kayaknya lo butuh banget." Tanya Mike.
"Lo tau Alice kan? Dia tinggal di sana. Dan lo tau Dad and Mom minta gue anter jemput dia. Gak tidur gue harus antar jemput dia tiap hari, apalagi dia cepet banget ke kantor." Jelas Nathan. "Apartement gue yang sekarang kan jauh."
"Kenapa nggak tidur sama dia aja. Oops." usul Mike asal.
"Gak lah, gila lo!" Nathan melotot ke arah kembarannya itu. "Berduaan dalam satu ruangan sama dia aja gue disodorin cutter. Mau mati apa, tidur sama dia."
"Serem amat calon lo. Untung bukan gue yang dijodohin. Thanks to my sweetheart, Aki." Mike berkata, "Ambil aja tuh, kuncinya, lantai 20 ya."
"Thanks, bro." Kata Nathan, sebelum Mike masuk ke kamar mandi. Nathan pun mengambil kunci yang di tunjuk Mike dan meninggalkan kamar Mike.
"Kak Nathan, cepet banget udah mau pulang." Protes Lau, adik perempuan Nathan yang sedang duduk dengan Akiko, tunangan Mike. Lau duduk di lantai, di depan meja, dengan beberapa buku dihadapannya
"Lau, udah pulang rupanya." Kata Nathan, kemudian ikut duduk di sofa.
"Udah dari tadi tau! Kakak aja yang di kamar mulu!" jawab Lau.
"Dengar-dengar kamu udah punya pacar ya?" tanya Akiko, "Orangnya gimana?"
"Dijodohin." Koreksi Nathan. "Cewek. Tomboy. Cuek."
"Namanya?" tanya Akiko.
"Alice." Jawab Nathan.
"Arisu?" ulang Akiko dengan aksen khasnya. "Namanya yang bagus. Cantik nggak?"
"Biasa aja," jawab Nathan.
"Biasa aja, tapi sampai minjam apartement gue buat anter jemput." Celetuk Mike yang baru selesai mandi.
"Yee, kalo bukan karena Mom and Dad, gak bakal kok." Elak Nathan.
"Oh, kakakku yang satu ini, kok jadi so sweet banget sih, sampe anter jemput segala." Goda Lau.
"Dia nyontoh gue tuh." Kata Mike, yang sekarang duduk di sebelah Akiko. "Sorry, buat kamu nunggu lama, Aki." Kata Mike pada Akiko, kemudian mengecup pipi Akiko.
"Oh ya, Dad sama Mom mana?" tanya Nathan.
"Ngedate berdua." Jawab Lau. Ini hari Sabtu, biasanya orang tua mereka akan pergi untuk dinner atau sejenisnya.
"Masih sore gini?" tanya Nathan. "Bukannya biasa malam baru pergi?"
"Iya, kayaknya mereka lagi ngedate. Tadi waktu pergi bajunya rapi banget." Kata Mike. "Oke, gue juga mau pergi sama Aki." Kemudian keduanya beranjak dari sofa.
"Hati-hati kak," kata Lau, kembali menekuni bukunya.
"Kakak juga pergi deh," kata Nathan, tidak ingin mengganggu adiknya yang sedang belajar.
"Yah, di tinggal sendiri deh." Protes Lau. "Ajarin dong, sekaligus temenin sampai Adrian datang dong."
"Kamu juga mau pergi?" tanya Nathan.
"Ya kali, kakak gak tau istilah Satnite, apa?" kata Lau. "Ajarin dong."
"Udah lupa, udah lama lulus SMA tau," kata Nathan, melihat buku Lau. Matematika materi turunan.
"Kakak gak pergi sama kak Alice? Nonton atau dinner, gitu?" tanya Lau.
"Gak tau. Bagusnya kemana?" tanya Nathan.
"Loh, kok tanya ke aku, tanya kak Alice sana." Usir Lau.
"Tadi nyuruh nemenin, sekarang malah ngusir. Ya udah, kakak pergi deh." Kata Nathan, menyempatkan diri mencubit pipi Lau keras-keras. Kemudian berjalan cepat menghindari pukulan adiknya.
"Ishhh!!" protes Lau, kesal.
Alice sedang melihat-lihat toko furniture di mall saat smartphonenya berdering. Nathan. "Ngapain hari libur gini nelpon sih," gumam Alice, pelan. Tapi tetap didengar Nathan.
"Halo," sapa Alice setengah hati.
"Hi, lo lagi apa?" tanya Nathan
"Jalan-jalan." Jawab Alice, singkat.
"Sama siapa?" tanya Nathan, curiga.
"Sendiri, kenapa sih?" mulai kesal karena tidak tahu tujuan Nathan menelpon.
"Dinner yuk," ajak Nathan segera.
"Hah? Gue lagi di luar." Protes Alice.
"Di Heavens Cafe, jam tujuh, on time. Gue tunggu. On time" Kata Nathan tidak memedulikan protes Alice. Nathan sengaja menekankan kata on time karena setiap janjian makan dengan Alice, cewek yang satu ini selalu datang terlambat.
Tut tut tut
"Issshhh! Nih orang maksa banget sih." Gumam Alice, kesal. "Lo tunggu aja sampe kakek-kakek."
Alice meninggalkan mall itu, kehilangan mood untuk melihat-lihat. Pulang ke apartementnya.
NATHAN
Miss late emang selalu telat. Sekarang sudah jam delapan! Udah gue bilang on time, malah ngaret sejam. Pikirku.
"Sorry, gue telat." Alice baru muncul setelah gue menunggu selama satu setengah jam. Dia memakai kaos hitam polos dan jeans. Astaga, apa gadis di hadapannya ini tidak bisa memakai rok?! Dan on time? Cafe ini yang paling dekat dengan apartementnya dan dia telat?!
"Mau makan apa?" tanyaku sambil memanggil salah satu pelayan.
Kami menyebutkan pesanan masing-masing. Kemudian dia mengambil smartphonenya dan mulai menyibukkan diri dengan benda itu.
Sabar, Nate, sabar. Gumamku dalam hati. Learn to love.
"Lo suka nggak desain cafe ini?" tanyaku, berusaha menarik perhatiannya. Cafe itu memang memiliki desain yang bagus. Pencahayaannya dibuat remang sehingga memberi kesan romantis. Meja-meja dilapisi kain putih dan ungu dengan bunga mawar segar di tengah meja, ada juga lilin. Pilar-pilar dihiasi dengan kain berwarna sama, begitu pula dinding di segala sisinya. Ditambah lagi musik klasik mengalun pelan.
"Suka." Jawabnya tanpa melepaskan pandangan dari smartphonenya.
"Lo belum liat baik-baik, kan." Kataku, sedikit kesal.
"Gue yang desain kok. Kalo gak suka gak mungkin ngedesain kayak gini, kan?" jawabnya merespon perkataanku. Dan gue merasa bodoh karenanya.
"Oh, baru tau." Gumamku.
Apakah cuma gue yang berusaha belajar mencintai orang yang akan menghabiskan hidup bersama ini?
Makanan kami datang. Alice berpaling dari smartphonenya untuk mengatakan terima kasih, kemudian kembali memusatkan perhatiannya.
"Bisa nggak lo simpan handphone lo?" ujarku kesal, kehilangan kesabaran. "Gak sopan tau, kalo di meja makan masih megang hape kayak gitu. Sok sibuk."
"For your information, gue emang sibuk." Gumam Alice tanpa mengalihkan pandangan. Kesal memuncak, aku merebut handphone itu. Bermaksud menyitanya hingga makan malam ini selesai. "Heii!"
Sebelum menyimpannya di saku celanaku, tanpa sengaja melihat ke arah layarnya. Dia tidak sedang melihat ataupun membuka aplikasi apapun. "Heh, sibuk ngeliatin wallpaper polos?" gumamku, sinis. Alice hanya diam, memandang tidak suka kepadaku.
Kami menyantap makanan kami masing-masing dalam diam. Tidak ada yang berusaha mencari topik. Kesal pada satu sama lain.
"Gue mau ngomong." Kata Alice setelah kami selesai makan. Aku menaikkan alisku, kemudian mempersilahkannya melanjutkan. "Batalin perjodohan kita."
"Bilang aja ke orang tua lo." Jawabku. Beberapa hari yang lalu gue sudah bilang ke Dad dan Mom, bahwa gue gak bakal batalin perjodohan ini. Yah, kalau dia yang batalin, gak masalah buat gue. Pikirku.
"Please, bilang aja ke ortu lo." Katanya.
"Lo yang mau batalin, lo yang bilang." Putusku, tidak ingin lanjut berdebat.
"Kalo segampang itu, udah gue bilang dari dulu. Ck." Gumamnya kesal.
Aku hanya diam, tidak berniat mengatakan apapun. "Handphone gue, balikin." Katanya, menyodorkan tangannya padaku.
"Kita belum selesai. Kalo pulang baru gue kembaliin." Jawabku.
"Gue mau pulang. Daritadi lo cuma diam, kan? Gue udah selesai bicara." Balas Alice, tangannya masih menggantung di udara.
Aku menghela napas panjang. "Kenapa lo mau batalin?" tanyaku.
"Karena..." Alice terdiam. Bingung menjawab.
"Kalo lo bisa ngasih alasan yang masuk akal baru gue bilang ke orang tua gue." Pancingku.
"Karena gue... udah punya pacar." Jawabnya, asal. Bohong. Orang tuanya sendiri yang bilang kalau dia tidak punya pacar selama hidupnya. Or they just don't know?
"Buktinya?" tanyaku mengangkat alis, tanganku terlipat di depan d**a.
"Ah...eh...itu..." tentu saja dia bohong, jika dilihat dari gerak-gerik yang di buatnya.
"Lo gak pintar bohong ternyata." Gumamku. Aku meletakkan handphonenya di meja, kemudian berdiri, "Kalo lo emang punya pacar, kenapa nggak dari awal bilang ke orang tua lo?" tanyaku, kemudian berlalu ke arah kasir, tidak menunggu jawabannya.