Busan, 2008
Namaku Park Ae Ri. Park adalah marga nenek dari pihak ibuku. Beliau lah satu - satunya keluarga yang kumiliki. Bukan. Bukan karena kedua orangtuaku telah meninggal. Mereka bercerai. Luka yang mereka rasakan terlalu dalam, sehingga kehadiranku tidak berarti lagi.
Ayahku berdarah Jepang, nenek bilang saat aku lahir ayah tak pernah datang menjenguk. Maka dari itu, nenek menamaiku dengan marganya. Sementara ibuku, dia pergi mencari ayah kandungnya di Negeri Paman Sam. Ya, suami nenekku.
Nenek selalu menyalahkan diri sendiri, beliau berpikir karena dirinya bercerai maka anaknya juga ikut merasakan hal yang sama dengan dirinya. Meski aku tahu, itu bukan salah nenek. Namun, nenek selalu meminta maaf setiap malam padaku.
Nenek merasa bersalah mengenai keadaanku yang seperti ini, beliau pikir ini semua dampak dari masa lalunya yang juga kurang baik. Aku hanya mengelus lengannya yang meski tua namun tampak kokoh, sambil memberi kata - kata penghiburan. Nenek adalah orang baik, hiduplah yang tidak berpihak padanya. Tapi konon, di semua aspek, orang baik memang kurang beruntung. Karena mereka yang baik, tidak pernah mendahulukan dirinya sendiri. Begitu juga yang nenek lakukan padaku dan ibu, hanya saja ibu tidak mensyukurinya.
Nenek mendapat kabar saat usiaku dua tahun, bahwa ibu telah menikah lagi dengan pengusaha restoran asal Italia dan menetap di Amerika. Ia tidak pernah kembali. Bahkan saat kepergian nenek, di mana ketika itu usiaku baru enam belas tahun. Sejak mendapatkan kabar itu, aku telah merelakan diriku menjadi seorang anak yatim piatu. Mungkin ibu melahirkanku, tapi selalu nenek yang menjadi orang yang paling mencintaiku.
Nenek mewarisi toko serba ada yang beliau kelola sejak baru bercerai dengan kakek. Kami memiliki dua karyawan. Salah satunya mahasiswa. Namun, ketidakmampuanku mengurus toko, membuatku harus menyerahkan pengelolaannya pada satu - satunya orang yang dipercaya nenek semasa hidup. Beruntungnya, aku memiliki penghasilan dari sana untuk melanjutkan sekolah.
Di desa kecil kami, semua orang saling kenal. Mustahil kamu lewat suatu keramaian tanpa disapa dan diajak bicara. Terlebih, jika kamu punya keluarga yang cukup dipandang. Dalam kasusku, nenek.
Mereka memanggilnya Park Halmoni*. Nenek cukup disegani di lingkungan kami karena selain kondisi ekonomi kami lebih baik, nenek juga orang yang sangat dermawan pada orang - orang sekitar. Nenek tidak pernah segan membantu siapapun yang sedang kesulitan dan meminta bantuannya.
(*Nenek)
Dari semua tetangga yang berada di sekitarku, aku paling dekat dengan keluarga Kang yang tinggal di depan rumah kami.
Paman Kang Nam Il yang baik dan teramat peduli sudah kuangggap ayahku sendiri. Begitu juga dengan istrinya, Bibi Kim So Ra. Dan ketiga anak mereka. Kang Mi Ra, Kang Mi Soon dan Kang Joon Ki.
Aku dan Joon Ki bahkan berkencan.
Saat tahu aku dan Joon Ki berpacaran, bibi So Ra dengan semangat memanggilku 'menantu'. Aku tersipu setiap kali bibi So Ra memanggilku seperti itu saat kami berjumpa di jalan atau pasar.
Saat nenek meninggal, keluarga Joon Ki lah yang berdiri di sampingku selama prosesi pemakaman. Dan mereka semua mengambil alih mengurusku hingga saat ini.
Hari ini adalah hari kelulusan sekolah menengah. Setelah ini, aku akan mengejar mimpi - mimpiku.
Aku dan Joon Ki sudah banyak berbincang mengenai cita - cita kami dan apa yang akan kami lakukan setelah lulus nanti. Seperti yang kami sepakati, kami akan pindah ke Seoul dan mendaftar di Universitas sesuai jurusan yang kami inginkan.
Kesukaanku pada fashion membuatku ingin mewujudkan mimpi menjadi seorang perancang busana. Dan kesukaan Joon Ki pada musik, membuatnya menyiapkan demo lagu untuk mengikuti audisi - audisi yang tersebar di seluruh kota Seoul.
Seperti yang semua orang ketahui, Korea Selatan menjadi terkenal di Dunia dengan para bintang hallyu-nya.
Meski tidak mudah, aku mendukung Joon Ki untuk terus mengejar mimpinya.
"Ae Ra-ya!" Suara yang amat kukenali memanggil namaku.
Alih - alih memanggil Ae Ri, semua orang terdekatku lebih suka memanggilku dengan panggilan Ae Ra-ya. Imbuhan di belakang nama (ya, ah) hanyalah tambahan panggilan bagi orang - orang yang sudah sangat akrab.
Joon Ki berlari kecil, membawa bunga di tangan kanan dan boneka beruang berwarna coklat di tangan kiri.
"Aku mencarimu, rupanya kamu di sini. Mi Ra noona* ada di taman depan. Ayo kita foto. Ayah dan Ibu juga sudah menunggu." Joon Ki memberikan bunga padaku tanpa basa - basi dan menarik lenganku untuk berdiri.
(*Kakak perempuan - panggilan utk perempuan lebih tua oleh laki2)
Joon Ki menggandeng tanganku menuju taman sekolah. Di sana ramai para murid yang telah lulus tengah berfoto bersama keluarganya. Aku tidak iri.
Bagaimana aku bisa iri, jika keluarga Joon Ki telah menganggapku seperti putri mereka sendiri?
Bibi So Ra heboh saat melihatku, kedua tangannya terbuka menyambut kami.
"Anakku!" Seru bibi So Ra seraya memelukku dengan erat dan menggoyang - goyangkan tubuh kami ke kanan dan kiri dengan pelan. "Selamat, Sayang."
Kedua matanya berkaca - kaca. Bibi So Ra memegang kedua pipiku dengan lembut dan kehilangan kata - kata. Aku tersenyum dan kembali memeluk tubuh kecilnya yang wangi bunga lavender.
"Terima kasih, Bi. Kalau bukan karena kebaikan Bibi padaku, mungkin aku berhenti sekolah saat itu."
"Hei, hei, hei! Bagaimana bisa aku mengabaikanmu, Nak. Park Halmoni pasti bangga melihatmu dari Surga." Bisiknya dengan tangis yang tertahan.
Aku memeluk ayah Joon Ki yang diam - diam menghapus airmatanya. Dan Mi Ra Unnie* yang dengan gesit mengabadikan semua momen ini.
(*Kakak perempuan - panggilan kpd perempuan yg lbh tua oleh perempuan)
"Kemana Mi Soon? Apakah dia sekolah?" Tanyaku, ketika tidak menemukan anak bungsu keluarga Kang bersama kami.
"Tentu saja, dia tidak boleh bolos dengan alasan ingin memberi selamat pada kalian. Kalian akan bertemu di rumah." Jawab Bibi So Ra.
"Ayo berpose, kita harus mengambil foto sekeluarga." Mi Ra Unnie mengatur spot foto terbaik dan menyetel kameranya ke mode otomatis. "Aku akan mengambil gambar Ae Ri dan Joon Ki, Ayah dan Ibu mengapit mereka berdua."
Satu.
Dua.
Tiga.
•••