“Akhirnya kita bertemu,” kata Rashad dengan seulas senyuman di wajahnya. Ia terlihat senang dan bahagia bisa bertemu dengan Ayu.
Ayu menarik sudut bibirnya, membalas senyuman ramah Rashad padanya. “Memangnya kamu menungguku?”
Rashad mengangguk. “Ya, aku menunggu kamu. Sudah lama sekali aku mengharapkan saat-saat seperti ini. Bertemu dengan wanita yang ternyata sudah dijodohkan denganku ketika kita masih sangat kecil.”
Mulut Ayu sedikit ternganga mendengar pengakuan Rashad. Ia mengangguk-angguk mengerti. “Oh ... Jadi ternyata kamu sudah mengetahui tentang perjodohan kita. Beda denganku, aku baru tahu sekarang,” jawabnya lirih dan sedikit kecewa.
“Aku hanya memiliki selembar fotomu. Dan itu hanya foto lawas,” ujar Rashad mengungkapkan.
Ayu terdiam sejenak. Ia sedikit bingung tentang dari mana Rashad mendapatkan fotonya? Sedangkan ayahnya saja baru bertemu dengannya beberapa pekan yang lalu.
Seolah bisa membaca pikiran Ayu yang bertanya-tanya di dalam hatinya, Albert segera menjelaskan. “Sebetulnya, ayah sudah menyuruh asisten ayah untuk mengamati dirimu diam-diam. Lalu dia mendapatkan fotomu.”
Kening Ayu berkerut. Tatapannya yang sejak tadi fokus memandang ke arah Rashad kini berubah menatap ke arah Albert. “Jadi ayah mengawasiku? Ayah mengamatiku diam-diam?”
Albert menganggukkan kepalanya pelan. “Maaf sayangku. Ayah merindukan kamu. Tapi ayah bingung harus mengatakan apa ... Jika ayah datang langsung menemui kamu dan mengatakan aku adalah ayahmu, pasti kamu terkejut kan?”
“Memang sih aku pasti akan terkejut. Tapi apa bedanya dengan tadi? Sikap dua orang pengawal ayah amat sangat mengejutkan aku,” ujar Ayu sambil melirik ke arah Adelio.
“Mereka hanya aku perintahkan. Ayah harap, kamu jangan marah pada mereka. Adelio kini adalah pengawalmu. Peter tetap menjaga keamanan rumah. Semoga kamu dan Adelio bisa berteman. Usia kalian juga tidak terlalu jauh.”
Ayu menaikan kedua alisnya ke atas. Ekspresi wajahnya terlihat malas dan kesal. Dari pada suasana hatinya berubah buruk mengingat ketika ia diculik oleh Adelio dan Peter, lebih baik mengobrol bersama Rashad, batinnya.
“Rashad, jadi kamu sudah mengetahui banyak tentangku?” tanya Ayu penasaran.
“Tidak banyak,” ungkap Rashad sembari tersenyum simpul. Senyuman yang membuatnya semakin terlihat tampan.
Melihat Rashad tersenyum demikian, tanpa disadari Ayu juga ikut tersenyum. Hatinya terasa meleleh.
“Kenapa melihatku begitu?” tegur Rashad penuh curiga.
“Kamu curang ...,” ujar Ayu dengan mimik muka dibuat kesal.
“Aku?” Rashad menunjuk dirinya sendiri.
Ayu menganggukkan kepalanya mantap. “Ya, kamu ... dan yang lainnya ...!”
Adelio mengerutkan dahinya. Ia merasa aneh, kenapa dirinya dibawa-bawa. Namun karena status sosial di rumah ini, Ayu lebih tinggi, maka Adelio memilih diam dan membiarkan Ayu berbicara sesuka hati.
“Kenapa aku dibilang curang?” Rashad tidak terima. “Tuan Albert ...,” sambungnya memanggil ayah Ayu yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Semua mata memandang Albert. Sepertinya Albert sangat peduli pada ponselnya dan tidak menganggap kehadiran Rashad penting.
“Tuan Albert ...,” panggil Rashad sekali lagi dengan suara yang lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Albert terkejut dengan panggilan Rashad. Ia segera menoleh dan menaruh ponselnya di atas meja. “Hm ... Ya ada apa?”
“Putrimu mengatakan jika kita semua berlaku curang padanya,” jawab Rashad memberitahu.
Albert hanya tersenyum karena ia tidak mengerti apa yang sedang mereka bahas.
“Ayah, apa semuanya baik-baik saja?” tanya Ayu ketika melihat gelagat Albert yang tidak biasa.
Albert tidak langsung menjawab. Ia memandang Ayu sedikit lebih lama dengan tatapan menerawang.
“Ayah ...?” tegur Ayu sekali lagi. “Apa ayah baik-baik saja? Apa ada masalah?”
“Hanya masalah pekerjaan.” Akhirnya Albert menjawab. Lalu ia beranjak berdiri dari duduknya. “Rashad bisa kita bicara di ruang kerja ku?”
“Tentu,” jawab Rashad cepat. “Apa ada hal serius?”
“Hanya masalah pekerjaan,” jawab Albert sekali lagi. “Aku tunggu di ruang kerjaku ya.”
“Oke,” jawab Rashad yang belum juga beranjak berdiri dari duduknya.
“Ayahku kenapa ya?” tanya Ayu sambil memandang punggung Albert yang berjalan lurus lalu kemudian berbelok ke kiri. Kini sosoknya tidak terlihat lagi.
“Jangan dipikirkan ... Pasti tentang masalah pekerjaan yang mendesak,” jawab Rashad tersenyum simpul. “Oh ya boleh kita bertukar nomer ponsel? Sepertinya sebelum acara pernikahan kita harus lebih saling mengenal dahulu.”
Deg!
Jantung Ayu serasa berhenti berdetak mendengar kata-kata Rashad. ‘Sebelum acara pernikahan’. Kata-kata itu rasanya sangat krusial, membuat bulu kuduknya meremang. “Rashad, memang kita benar akan menikah?”
“Hm ... Ya begitulah ... Seperti yang sudah diinginkan almarhum Kakek kamu.”
Hening.
Ayu kembali merasa janggal. Karena ibunya benar-benar tidak pernah menceritakan apa pun tentang ternyata dirinya sudah dijodohkan dengan pria blesteran Inggris-Arab dan juga terdapat campuran keturunan Arab jika dilihat dari bentuk dan lebatnya sepasang alis Rashad.
“Well ....” Rashad menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu ia pun beranjak berdiri dari kursnya. “Jika kamu tidak berkenan bertukar nomer ponsel tidak apa. Tidak ingin membuat kita semakin dekat juga tidak apa-apa. Tapi asal kamu tahu ... bagaimana pun jua kita pasti akan menikah.”
Ayu baru tersadar jika sikapnya yang hanya diam dirasa Rashad sebagai penolakan atas permintaannya untuk bertukar nomer ponsel. “Bukannya begitu ... Jika kamu ingin bertukar nomer ponsel, ini ... Maaf, tadi aku kurang fokus. Semua ini terlalu cepat dan mengejutkan untukku,” ucapnya sambil mengambil ponsel dan memberitahukan beberapa digit nomer ponselnya.
Rashad yang sudah berdiri segera menekan layar ponselnya. Menyimpan nomer ponsel Ayu dan kemudian mengirimkannya pesan singkat, ‘Hai, ini aku.’
Pesan singkat tersebut segera masuk ke ponsel Ayu. Lalu dengan segera Ayu segera menyimpan nomer tersebut. Ia memberi nama kontak telepon Rashad dengan sebutan ‘Calon suami’.
Rashad mengantungi ponsel miliknya di saku celana panjang yang dikenakannya. “Oh ya, untuk kita lebih dekat ... Bagaimana jika kita tiga hari lagi bertemu di pacuan kuda? Pasti menyenangkan jika kita bisa berkuda bersama.”
Bibir Ayu ternganga. “Apa ...? Berkuda?”
Rashad mengangguk. “Ya, berkuda. Memangnya kenapa? Memang kamu tidak bisa berkuda? Aku kira kamu wanita cantik dan juga cerdas yang bisa melakukan apa pun.”
“Ya, tapi tidak bisa berkuda bukan berati bodoh kan. Di rumahku di Indonesia ... aku tidak memiliki kuda. Jadi aku tidak tahu yang namanya berkuda.”
Bibir Rashad sedikit ke depan dan ia mengangguk-angguk pelan. “Tidak masalah. Aku akan mengajarimu. Dan jika kamu memang secerdas seperti yang selalu ayahmu ceritakan padaku. Pasti dalam waktu tiga jam aku ajari berkuda pun kamu sudah lihai.”
Raut muka Ayu langsung berubah datar. Kata-kata dan nada bicara Rashad seolah meremehkannya. “Tenang saja. Jangankan tiga jam diajari olehmu. Dalam satu jam saja aku pasti sudah lihat menunggang kuda,” jawabnya sesumbar.
“Aku menjadi tidak sabar menunggu tiga hari lagi,” tutur Rashad. “Oh ya, aku harus menemui ayahmu di ruang kerjanya. Sampai jumpa lagi.”
“Sampai jumpa lagi,” jawab Ayu sambil tersenyum kecut.
Setelah dirasa Rashad sudah menghilang jauh dari tempatnya duduk, dan tidak akan mendengar apa yang akan dikatakannya. Ayu langsung menatap Adelio dengan tajam.
“Kenapa memandangiku seperti itu?” tanya Adelio tidak faham.
Ayu langsung meremas tangan Adelio. “Aku tidak mau terlihat bodoh dan b**o di depan calon suamiku yang tampannya kaya aktor internasional itu, Adelio ....”
Adelio mengerutkan dahinya. Sepasang matanya memicing. “Lalu? Apa sangkut pautnya denganku?”
“Ajari aku berkuda. Please ... Setelah Rashad benar-benar pulang dari rumah ini. Kamu harus mengajariku berkuda! Jadi tiga hari ke depan, aku sudah lihai.”