Lewat tengah malam, Kinara berlarian di lorong rumah sakit. Panggilan masuk dari rumah sakit itu ternyata tak bisa diacuhkannya begitu saja.
Namun ketika dia mengangkatnya, mereka bilang bahwa semua telah berakhir. Hingga Kinara memutuskan untuk datang dan melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri.
Kini dia mematung di depan ruang Jenazah, masih ada beberapa perawat disana. Mereka membungkuk dan membiarkan Kinara menghampiri jasad yang telah terbujur tak bernafas lagi.
“Sebelum meninggal, dia bilang mau bicara sama dokter... tapi.” Ucapan perawat wanita itu terputus, ketika Kinara mengangkat tangannya dan membuka selimut yang menutup sampai ke kepala seseorang di hadapannya.
Seorang pria tua dengan rambut yang memutih karena uban, meninggal dengan tenang. Bahkan terlihat bibirnya tersenyum. Kinara memegang pipinya. Rick! Masih hangat, bukti bahwa dia belum lama meninggalkan dunia.
“Maafkan aku pak Rick, maaf tidak menemanimu disaat terakhirmu.” Kinara membiarkan airmatanya menetes dan membasahi pipinya.
Setelah agak tenang, perawat tadi menghela Kinara keluar dan memberikan ponsel Rick. Karena lelaki itu bilang kalau dia ingin menyampaikan sesuatu kepada Kinara.
Kinara berjalan gontai ke ruangannya dan setelah berkali-kali menghembuskan nafas, dia membuka handphone tersebut. Dan langsung menuju ke recorder rekaman suara yang sengaja ditinggalkan Rick untuknya.
“Hai Kinara, jika kamu mendengar ini, itu berarti saya tidak sempat menyampaikan sesuatu secara langsung kepadamu. Maaf kalau saya lancang. Tapi bolehkah saya meminta satu permintaan kepada kamu, saya minta tolong dimakamkan di dekat makam istri saya. Kamu tahu kan? Saya sudah pernah memberi tahu alamatnya.
Kamu pasti menyetujuinya mengingat kamu adalah wanita yang sangat baik hati. Sejak pertama bertemu denganmu, saya sebenarnya ingin menceritakan hal ini. Kinara, kamu mengingatkan saya kepada seorang sekretaris yang ceria dan sangat pintar. Namun sayang dia mengalami nasib yang buruk, karena meninggal ketika dia mengandung, dan bayi dalam kandungannya pun meninggal karena mereka kecelakaan sekitar dua puluh tahun yang lalu. Kemiripan wajah kalian lah yang membuat saya lebih terbuka kepada kamu.
Terimakasih ya Kinara, kamu mau mendengarkan celoteh kakek tua yang bahkan tidak kamu kenal. Saya merasa seperti mempunyai keluarga yang sempat hilang ketika bersama kamu.
Saya selalu berdoa, semoga kamu selalu mendapatkan kebahagiaan dalam hidup kamu.”
Kinara merasa perlu menjalankan amanat terakhir itu. Maka ketika pagi datang dia bersama staff rumah sakit memakamkan Rick di dekat makam istrinya.
Tidak banyak yang hadir dalam acara pemakaman itu, karena Rick pernah bercerita kalau dia memang tidak membuka hubungan dengan orang lain semenjak istrinya meninggal.
Warisan Rick yang banyak itupun diberikan kepada negara, dan perusahaannya sudah dibagi menjadi beberapa bagian ke pemegang saham juga memberi wasiat untuk margin perusahaan yang akan di donasikan ke panti-panti asuhan dii Indonesia.
Rick adalah pria yang baik dibalik hati dinginnya. Dia tahu rasanya ditinggal mati, maka dia menarik diri dari pergaulan sejak itu, alasan yang simple, dia tidak ingin ada yang bersedih dengan kematiannya.
Dan Kinara akhirnya mengetahui bahwa alasan Rick terbuka padanya karena wanita itu mengingatkan dengan seseorang yang pernah singgah dalam hidupnya.
Setelah pemakaman usai, Kinara membuka pesan di handphone, dari Sabrina. Ibunya.
Yang mengatakan bahwa dia harus hadir di acara nanti makan malam bersama keluarga Marchell.
Kinara meletakkan ponsel itu dengan keras ke meja kerjanya. Kalau saja tadi malam dia mengangkat telepon itu. Mungkin dia masih sempat bertemu dengan Rick.
Namun dia telah berkorban untuk Marchell, tapi balasan laki-laki itu tetap sama. Dia tetaplah tidak bisa menjadi prioritasnya.
***
Shane dan Thea mengambil penerbangan paling cepat agar bisa bertemu dan mendengar berita bahagia itu langsung dari anaknya.
Dia senang sekali mengetahui bahwa Marsha menerima lamaran Kevin dan mereka akan merencanakan pernikahan secepatnya.
Shane dan Thea tahu bahwa Kevin adalah pria yang baik dan sangat cocok untuk menjadi menantunya.
Maka setelah sampai di Indonesia, mereka langsung mengabari keluarga Rio untuk mengadakan makan malam bersama sebagai perayaan pertunangan anaknya juga perayaan karena kesembuhannya.
Malam ini mereka memesan satu lantai khusus hanya untuk dua keluarga itu, dengan meja melingkar yang besar dan hidangan mewah.
Dengan urutan duduk Shane, Thea, Marsha, Kevin, Keysha, Rio, Sabrina, Kinara dan Marchell yang juga duduk disebelah Shane karena meja mereka memutar.
Mereka saling menanyakan kabar karena kepergian Shane dan Thea yang sudah beberapa minggu ini keluar negri.
“Ya, seperti yang kalian lihat. Aku udah sehat total. Tidak ada lagi tumor di sini.” Shane menunjuk dadanya. Pengobatan yang dilakukan di Jerman sudah tuntas. Setelah dinyatakan sehat total maka dia langsung memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
“Ya, aku percaya karena alat disana memang sangat canggih. Dan aku cukup senang mengingat akhirnya kita bisa ber-besan juga.” Lirik Rio ke arah Marsha dan Kevin yang dari tadi sering mencuri pandang.
“Berita baik ini harus segera diberitahu ke semuanya, sebaiknya kita langsungkan acara pertunangan dulu.” Thea menimpali.
“Kami mau langsung nikah aja tante,” Kevin tersenyum ke arah Marsha yang dibalas anggukan oleh wanita itu.
“Hmmm, sudah tidak sabar rupanya anak mamah?” Sabrina meledek kedua pasangan yang kini pipinya sudah merona merah itu. Lalu meledaklah tawa mereka terkecuali Kinara dan Keysha.
Ya Keysha yang mengetahui hubungan Kinara hanya menatap sendu pada kakaknya itu, dia yang biasanya cerewet pun lebih memilih bungkam sekarang. Mungkin merasakan sakit juga seperti yang dirasakan Kinara.
Marchell ikut tertawa, tapi tawa yang sumbang karena sebenarnya hatinya masih terpaku pada wanita yang mendiaminya sedari tadi.
Kinara bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun sejak tadi. Bahkan suasana hangat itu sangat mengusik hatinya. Dia sudah tidak kuat lagi menahan sesak didada. Maka diapun meletakkan garpu dan sendok dengan kasar ke piring hingga suaranya berdenting dan membuat semua pandangan teralih padanya.
“Kamu kenapa nak?” Sabrina mengusap lengan Kinara. Wanita itu mendongak menatap wajah keluarga bahagia itu satu persatu. Hingga air mata yang sedari tadi ditahannya tak terbendung lagi. Tangannya mengepal.
“Apa hanya Marsha dan Kevin yang berhak menikah disini?” Kinara membiarkan air mata itu membanjiri wajahnya tanpa berniat mengusapnya. Marchell tersentak, selama ini mereka sudah memutuskan untuk merahasiakan hubungannya. Tapi apa yang dilakukan Kinara sekarang.
“Kamu sakit? Ayo aku antar pulang.” Marchell memegang bahu Kinara, tak ingin mengacaukan suasana. Tapi Kinara mengedikkan bahunya kesal dan mendorong tangan Marchell.
Keysha menarik nafas panjang dan menggigit bibir bawahnya. Berusaha tak menangis.
“Kinara, coba jelaskan kenapa sayang?” Sabrina mengusap punggung Kinara.
“Aku... aku juga mencintai Marchell. Apakah kami gak bisa bersama? Kenapa? Kenapa ini terasa gak adil bagi kita!” Kinara bangkit dan meninggalkan meja itu, lengkap dengan semua mata yang tercengang. Akhirnya air mata Keysha keluar juga dia menangkupkan tangannya ke wajah.
Marchell mengejar Kinara. Sementara Sabrina yang ingin berdiri dan mengejar anak gadisnya itu dilarang oleh Rio, biarlah mereka berdua yang menyelesaikan masalahnya.
Marhsa menganga tak percaya kalau ternyata selama ini Marchell dan Kinara mempunyai hubungan khusus.
Dia tahu Marchell menyayangi Kinara, tapi dia tidak tahu kalau rasa sayangnya itu berbeda antara sayang seorang kakak dengan adiknya.
“Aku rasa kita harus membatalkan pernikahan kita Kevin.” Suara Marsha memecahkan keheningan. Alis Kevin terangkat menatap wanita di sebelahnya.
“Ta.. Tapi...” suara Kevin terputus ketika Marsha berbicara lagi.
“Buat apa kita bahagia sementara saudara kita menderita.” Marsha melepaskan cincin pemberian Kevin yang melingkar di jarinya. Dia meletakkan cincin itu di tangan Kevin dan pergi dari tenpat itu.
Kevin masih mematung, wajahnya terlihat dingin dengan tatapan yang seakan ingin membunuh.
“Aku pulang duluan. Maaf atas kekacauan ini.” Kevin berjalan dengan langkah lemas, dimasukkan cincin itu ke saku celananya. Rio memegang tangan Sabrina yang gemetar. Sementara Thea sudah ikut menangis bersama Keysha.
“Kenapa jadi seperti ini?” Thea menyandarkan kepalanya ke bahu Shane.
“Makanannya jadi terasa tidak enak ya,” Rio masih berusaha tersenyum lalu dia menghela Sabrina dan Keysha untuk pulang.
Sementara Shane dan Thea masih berdiam diri disitu. Tak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
Pagi tadi mereka masih merasa bahagia. Meskipun memang satu hal luput dari pandangannya. Marchell yang biasanya ceria mendadak jadi pendiam sejak tadi pagi. Bahkan lelaki itu terlihat malas ketika menjemput orangtuanya di bandara.
Baru beberapa saat yang lalu dia bisa meledek Marsha karena terus saja tersenyum dan terlihat tidak fokus karena dimabuk cinta. Tapi kini mereka harus melihat anaknya terluka.
Sepertinya takdir memang sedang bermain sekarang.
***