Part. 6 Would You Marry Me?

1355 Kata
Kevin menunggu Marsha di dalam mobilnya, di halaman rumah keluarga Shane. Sudah sepuluh menit menunggu namun wanita itu tak tampak batang hidungnya. Hingga kemudian sosok pria tinggi mengetuk kaca mobil Kevin, dan lelaki itu menurunkan kacanya dan tersenyum lebar. “Gak nunggu didalem aja?” tanya Marchell, “Dia bilang Cuma sebentar, tapi belum keluar juga?” Kevin melongokkan kepala ke arah pintu rumah yang terbuka lebar itu, “Yah lo tau sebentar-nya versi cewek tuh gimana?” Marchell menyandarkan tubuhnya di badan mobil. Kevin hanya tertawa, tidak apa menunggu satu jam pun demi bisa bersama wanita yang dicintainya. Toh dia sudah menunggu selama tiga belas tahun untuk memantaskan diri menemui calon istrinya itu. Sepuluh menit bukanlah waktu yang lama baginya. Marsha keluar dengan mengenakan kaus hitam dan celana jeans biru juga sepatu kets berwarna hitam, mengingat ucapan Kevin yang ingin mengajaknya kencan ke taman hiburan. Wanita itu memajukan tubuhnya menatap baju yang dikenakan Kevin, sama sepertinya berwarna hitam juga. Diapun mendengus dan membalikkan tubuhnya. “Kok sama sih, ganti dulu ah,” Marsha hendak berjalan cepat menuju rumah namun langkahnya tak kalah cepat dari Marchell yang sudah memegang bahunya. “Yaelah, itu tandanya kalian jodoh! Udah sana berangkat nanti keburu siang!” Marchell mendorong bahu Marsha dan menekan kepalanya agar masuk ke dalam mobil. “Dah,, hati-hati ya.” Marchell melambai dan dibalas dengan kedipan dari mata Kevin. Marsha masih tak percaya bahwa setengah jam mematut diri di cermin, ralat, satu jam! Memilih ingin mengenakan baju seperti apa dan warna apa? Namun ternyata pilihannya malah sama seperti yang dikenakan Kevin. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa lelaki di sampingnya ini terlihat berkali lipat lebih tampan dengan kaus hitam dan jeans yang juga hitam melekat di tubuh atletisnya. Ups. Atletis? Bahkan Marsha tak pernah tahu, apakah Kevin mempunyai waktu untuk nge-Gym hingga badannya bisa terbentuk sesempurna ini. “Kalau mau peluk aja lagi, gak usah dilihatin kayak gitu.” Kevin melirik Marsha yang langsung membuang muka ke jendela. “Ge-Er!” rutuknya. Lalu Kevin pun mengusap kepala Marsha. “Cantik.” Bisiknya, namun Marsha bisa mendengar suara itu. Senyum terkembang dari bibirnya. “Thanks,” “Bukan kamu, tapi mobil itu!” Kevin tergelak menunjuk sebuah mobil VW berwarna kuning cerah yang melintas mendahului mobilnya. “Grrrr Kevin!!!” Geram Marsha, lengannya pun menjadi sasaran cubitan Marsha. “Iya... iya yang cantik kamu koq,” “Tau ah,” Marsha mensedekapkan tangannya, pura-pura ngambek. Lalu Kevin mendaratkan kecupannya ke pipi Marsha. Membuat wanita itu tersenyum lagi. Kevin pun menyetel musik player di mobilnya, lalu musik-musik berirama nge-beat mengalun dari speaker. Sesekali mereka berdua ikut bernyanyi dan bersenda gurau. Hingga akhirnya mobil Kevin terparkir di sebuah taman Hiburan Dufan. “Koq kesini?” “Ya, kita kencan ala anak SMP hari ini,” Kevin menarik tangan Marsha dan menggenggamnya. “Oke, jadi tanpa ciuman ya,” ledek Marsha membuat Kevin cemberut. “Yaudah ala anak SMA kalau gitu,” “Dasar plin-plan.” Marsha menggoyangkan tangannya seirama dengan langkah kaki menuju berbagai wahana yang sudah mereka rencanakan akan dinaiki. Pertama mereka menuju wahana Tornado, bukan Marsha namanya kalau takut dengan wahana-wahana seperti ini. Dia sudah terbiasa menaiki wahana-wahana yang extreme dan hal itu justru menimbulkan sensasi yang berbeda. Meskipun perut dan otaknya akan ikut terkocok nanti. Kevin memastikan kait yang mengikat tubuh Marsha itu kencang, lalu dia mengecek tubuhnya sendiri. Lalu benda itu membumbung tinggi, menjungkir balikkan setiap orang yang menaikinya. Bahkan kini kaki mereka ada di atas sementara kepala mereka dibawah, memandang pemandangan dibawahnya yang berjarak belasan meter, tentu bukan sesuatu yang indah. Tapi baik Kevin maupun Marsha menikmatinya. Mereka bersama beberapa pengunjung yang lain ikut berteriak ketika benda tersebut berputar-putar diatas sana. Puas di goncang dengan Tornado, mereka memutuskan menaiki permainan yang bernama ‘Hysteria’ merasakan sensasi jantung yang mencelos ketika tubuh terangkat dengan cepet ke ketinggian berpuluh kaki dari atas laut. Lalu seolah meninggalkan bayangan yang tertinggal diatas, karena dihempaskan dengan cepat kebawah. Marsha memegang tangan Kevin erat usai menaiki wahana itu. Kevin menghelanya duduk di kursi. Rasanya seperti jetlag. Dan Kevin pun meninggalkan Marsha untuk membeli air mineral. Setelah Kevin kembali didapati wajah Marsha yang sudah berseri kembali. Mungkin separuh nyawa yang tertinggal di atas tadi sudah kembali ke tubuhnya. Sehingga Marsha tak membuang waktu untuk menarik Kevin menaiki Kora-kora. Wahana yang berbentuk seperti perahu namun mengayun hingga kemiringannya hampir seratus delapan puluh derajat. Kevin mengajaknya makan, namun ditolak mentah-mentah oleh Marsha. Dia sangat senang sekarang, sudah beberapa tahun ini dia tak merasakan lepas seperti ini, karena memikirkan perusahaannya. Tapi kali ini dia ingin bebas, menikmati masa mudanya, bebas dari rutinitas hariannya yang kadang terasa menjemukkan dan memuakkan. Dan dengan menurut, Kevin mengikutinya menaiki beberapa wahana lain, meskipun dengan syarat bahwa Marsha harus nyemil suatu makanan untuk mengganjal perutnya. Dia tak ingin wanita yang dicintainya sakit karena kelaparan. Pengunjung taman hiburan sudah mulai meninggalkan lokasi karena petugas memberitahukan bahwa tempat itu akan ditutup. Namun Marsha masih saja duduk menunggu Kevin yang tadi pamit mau ke toilet namun belum juga kembali. Dia kini sedang duduk di bangku dekat biang lala atau yang biasa disebut kincir angin. Langit terlihat cerah malam ini, karena bintang bertaburan dilangit ditambah bulan purnama yang meramaikan pemandangan langit malam kota Jakarta. Kevin berlari ke arah Marsha dengan nafas terengah langsung menarik tangan wanita di hadapannya menuju bianglala. “Mau ngapain? Kita udah gak boleh naik itu Vin,” Marsha berjalan dengan enggan, mereka memang merencanakan menaiki wahana ini sebelum pulang, tapi waktunya sudah habis. Mereka pasti tidak diperbolehkan naik. “Pasti boleh.” Kevin dengan super pede, terus saja menarik tangan Marsha. Terlihat seorang petugas yang berdiri di dekat bianglala, Kevin nampak membisikkan sesuatu dan petugas itu membuka pintu dan membiarkan mereka berdua masuk kesana. Setelah memastikan dua orang itu masuk, bianglala pun bergerak naik. Marsha takjub melihat pemandangan dari ketinggian itu. Nampak dibawah kota Jakarta dengan lampu yang berwarna warni, jalanan terlihat kecil sekali. Dan pantai Ancol yang airnya terlihat berkilau memantulkan cahaya rembulan. “Cantik banget Vin, aku gak tau Jakarta bisa secantik ini dimalam hari.” Kevin duduk di hadapan Marsha yang matanya berbinar melihat pemandangan dibawah sana. Tak memperdulikan bagaimana caranya Kevin membuat mereka bisa menaiki wahana diluar jam operasional. “Sha,” “Hemm,” Marsha mengalihkan pandangan menatap Kevin yang kini menautkan jemarinya di jemari Marsha. “I Love you Sha, Would you marry me?” Kevin mengeluarkan kotak cincin berwarna biru dongker dan mempertontonkan sebuah cincin permata berwarna putih. Bergaya minimalis namun tetap terlihat elegant. “Kita pacaran dulu aja ya,” Kevin menggeleng, dia langsung duduk disamping Marsha sehingga tempat duduk yang mereka tempati bergoyang. “Sha, kamu tahu pacaran itu untuk saling mengenal lebih jauh kan? Tapi buat apa, toh kita sudah saling mengenal sejak dulu. Justru kita bisa lakuin hal-hal romantis setelah menikah nanti. Kita udah sama-sama dewasa Sha, buat apa buang waktu lagi.” Kevin menatap mata Marsha dengan penuh kehangatan, tatapan yang hanya diberikan teruntuk Marsha seorang. Marsha nampak berfikir, dan kemudian dia mengangguk setuju. “Love you too Kevin,” Kevin langsung memeluknya, menyesap aroma tubuh wanita itu lama-lama. Lalu dipasangkan cincin indah itu ke jari Marsha, pas sekali. Tidak salah Kevin menghabiskan waktu untuk memilih yang terbaik. Tak sia-sia pula dia membayar mahal untuk menyewa bianglala ini, jika pada akhirnya wanita yang dicintainya mau menerima lamarannya. Setelah acara lamaran singkat itu, mereka memutuskan untuk pulang kerumah, setelah sebelumnya Kevin merajuk agar mereka makan dahulu karena perutnya yang sudah keroncongan dari siang tadi. Di perjalanan, Kevin akhirnya jujur kalau tadi dia menemui manajer taman hiburan tersebut untuk membantunya dalam melamar wanita yang dicintainya. Beruntung manajer tersebut mau menuruti keinginan pria yang sedang dimabuk asmara itu. Kevin pun meminta maaf karena membuat Marsha menunggu lama, karena dia juga menunggu assistennya membawakan cincin yang tadi sengaja di tinggal di mobil agar Marsha tidak curiga. Pantas saja seharian ini Marsha tak melihat benda menonjol itu di saku celana Kevin. Namun kotak perhiasan itu tiba-tiba saja ada ketika mereka di dalam bianglala. Tapi Marsha tidak perduli, toh saat ini dia sedang bahagia meskipun entah kenapa rasanya ada yang mengganjal di sudut hatinya yang lain. Sehingga membuat senyumnya sedikit tertahan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN