Wanita dengan koper biru dan dua barang belanjaan di tangan kiri itu berjalan sambil agak terseok. Setiap akan berjalan cepat, belanjaan berat di tangannya hampir terjatuh. Kemudian dia berhenti melangkah, membenarkan belanjaannya lalu berjalan lagi. Sayangnya, setelah beberapa langkah kemudian dia kembali membenarkan belanjaannya.
"Ya ampun!" Meyka meletakkan belanjaan itu lalu mengibaskan tangan. Pandangannya terarah ke jalan menanjak yang harus dilewati. Di ujung jalan menanjak itu, terlihat sebuah rumah bercat orange. Meyka seolah mendapatkan semangat ketika melihat rumah itu. "Semangat!" Kemudian dia kembali mengangkat belanjaannya.
Jarak minimarket dari rumah orange itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Sayangnya, Meyka tidak biasa berjalan jauh. Sekalinya berjalan, dia membawa barang berat, plus menanjak pula. Untungnya, Meyka yang biasanya mengenakan heels, kini memilih mengenakan sapatu.
"Huh... Huh...." Meyka tersenyum meski napasnya memburu. Dia terbayang seseorang yang berada di rumah itu pasti akan terkejud dengan kedatangannya.
Beberapa menit kemudian, Meyka sampai di depan gerbang yang terbuka setengah. Dia meletakkan dua kantung belanjaannya lalu membungkuk. Perhatiannya tertuju ke rumah yang tertutup rapat itu. Tetapi, terlihat ada sepatu yang tergeletak di depannya.
"Nggak mungkin hari Minggu dia kerja," gumam Meyka sambil berdiri tegak. Dia kembali membawa dua kantung belanjaan dan menggeret koper menuju pintu.
Jantung Meyka berdegup lebih cepat, tidak sabar bertemu dengan pemilik rumah. "Say...." Dia ingin berteriak, tetapi merasa lebih baik memberikan lelaki itu kejutan.
Meyka meletakkan belanjaannya dan menarik gagang pintu. Benda di depannya seketika terbuka, membuatnya tersenyum. Perlahan Meyka melepas sepatu dan berjalan masuk tanpa menimbulkan suara.
Hawa di dalam rumah yang dingin menyambut Meyka. Dia mengusap peluh yang menetes sambil membenarkan rambut yang mungkin lepek. Setelah itu dia berjalan pelan menuju kamar dekat tangga dengan langkah pelan.
Meyka mengintip pacarnya yang mungkin masih terlelap. "Kejutan!" teriaknya sebelum melihat jelas apa yang ada di depan.
"Ha?" Seseorang yang sedang tidur itu seketika terjaga.
Meyka keluar dari persembunyiannya. Dia mendapati Dion menatapnya dari arah ranjang. Dia hendak masuk, tapi matanya tertuju ke samping jendela. Tubuhnya menegang melihat seseorang yang duduk sambil membaca buku.
Napas Meyka memburu. Mendapati seorang wanita di kamar Dion saja sudah membuatnya naik darah, terlebih kali ini perut wanita itu membuncit. Pikiran buruk itu seketika memenuhi kepala Meyka. "Di...." Dia menatap Dion tak mampu berkata-kata.
"Ka, kenapa lo tiba-tiba ke sini?" Dion seketika turun dari ranjang dan menghampiri Meyka. "Kita ngobrol di luar."
"Nggak!" Meyka berusaha menyingkirkan Dion.
"Lo harus ikut gue!"
"Enggak!" teriak Meyka membuat wajah Dion memerah. Dia melewati Dion dan kembali menatap wanita yang masih santai itu, tidak merasa bersalah sama sekali. "Lo siapanya Dion?"
"Ka...." Dion berusaha menarik tangan Meyka.
Meyka menyentak tangan Dion dan fokus dengan wanita yang mengenakan crop top hingga memperlihatkan perutnya yang membuncit. Perhatiannya lalu tertuju ke buku bacaan wanita itu dengan sampul ilustrasi bayi. Pikiran Meyka seketika buyar.
"Nggak seperti yang ada di pikiran lo, Ka," ujar Dion dengan suara bergetar.
"Anak itu anak Dion?" Meyka menatap wanita yang mulai beranjak dari kursi. Wanita itu mengusap perutnya, membuat Meyka kian tak suka.
"Biar gue yang jelasin!" Dion menarik pundak Meyka.
"Gak!"
"Dengerin gue!"
Meyka menggeleng tegas. "Jelasin, tuh, cewek siapa?" geramnya. "Nggak kayak yang gue pikirin, kan?"
Dion mengacak Meyka. "Kenapa lo dateng?"
"JAWAB PERTANYAAN GUE!" Meyka sudah kehabisan kesabaran. Dia menatap ke wanita yang masih diam itu lalu menarik tangannya. "Dia anak Dion."
"Jangan kasar," pinta wanita itu.
"Ka!" Dion segera menghadang Meyka.
Meyka menatap kedua tangan Dion yang terarah ke belakang, seperti melindungi. d**a Meyka diremas kuat. Niatnya datang untuk memberi kejutan, justru dia yang diberi kejutan. Air mata Meyka seketika turun. "Gue tuh, tadi jalan sambil bawa belanjaan, rencananya kita sarapan bareng. Tapi... tapi...." Meyka menutup wajah, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Gue udah nikah sama Dion."
Amarah Meyka kian mendidih. "Lo b******k!"
Dion menunduk tanpa banyak kata.
"Lo lebih milih nikahin dia daripada gue?" tanya Meyka tak percaya. "Terus, selama dua tahun pacaran nggak ada artinya buat lo."
"Gue nggak bisa LDR!" teriak Dion. "Dari awal gue bilang, gue nggak bisa jauhan. Gue coba tanya lo mau nikah atau enggak, tapi lo butuh waktu, kan?"
Bahu Meyka merosot. "Jadi, itu lo jadiin alasan buat nikahin cewek lain?" tanyanya tak percaya. "Bagi lo yang penting lo nggak sendirian? Biar ada yang muasin lo?"
"Semua orang punya pendapat sendiri."
Meyka mundur dua langkah. "Setahun lalu lo pindah ke Bali buat kerja, kan? Terus, di hari itu juga lo lamar gue. Menurut lo itu nggak gegabah?"
"Enggak!"
"Lo cuma ngikutin nafsu!" geram Meyka. "Itu yang bikin gue butuh waktu. Ternyata, lo sebrengsek ini."
Dino mengacak rambut. "Ya, sorry."
"Terus, kenapa lo nggak mutusin gue?" tanya Meyka dengan napas tercekat. "Kenapa lo nggak mutusin gue?" ulangnya dengan nada meninggi.
"Gue...." Dion menunduk lalu menggeleng pelan.
Meyka menahan tawa lalu melirik wanita yang berada di belakang Dion itu. "Tanya, dia masih cinta gue atau enggak."
"Jangan mancing-mancing!" ingat Dion.
"Gue nggak mancing-mancing!" Meyka mundur dua langkah. "Bisa jadi lo butuh cewek yang mau sama lo, biar nafsu lo terpuaskan."
"MEYKA!"
Meyka mengepalkan kedua tangan. Tubuhnya bergetar mendengar teriakan itu. Selama berpacaran, Dion tidak pernah membentaknya. Lelaki itu menuruti permintaannya, humoris dan selalu menemaninya. Sekarang, sifat tersembunyi Dion terbongkar semua. "Kita putus!" ujarnya. "Selamat bentar lagi bakal jadi bapak." Setelah mengucapkan itu dia berlari keluar.
Duk.... Meyka menendang belanjaan yang tergeletak. Dia memakai sepatu dengan asal lalu menarik kopernya.
"Ka! Tunggu!"
Tidak ada respons dari Meyka. Dia berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata yang sempat ditahan seketika turun. Tidak disangka, kedatangannya ke Bali yang dibayangkan akan penuh bahagia, berakhir dengan air mata. "Hiks...." Bahu Meyka bergetar.
"Dion, nggak guna lo!" Meyka seketika berjongkok dan menumpahkan tangisannya. Tangan kanannya memegang koper, seolah itu pegangan satu-satunya.
***
Rencana untuk pulang seminggu lagi diurungkan Meyka. Begitu dari rumah Dion, dia segera memesan tiket dan menuju bandara. Untungnya penerbangan dari Denpasar-Jakarta selalu ada. Dia tidak perlu berlama-lama di Bali seorang diri dan pasti akan teringat Dion.
Bip....
Meyka masuk apartemen dengan kepala tertunduk. Lalu dia berjongkok, menutup wajah dengan kedua tangan. "Hiks... Hiks...."
"Loh, kok lo udah balik, Ka?"
"Hiks.... Dion udah nikah!"
"Ha?"
Perlahan Meyka mendongak, menatap wanita berambut pendek dengan tas slempang menyampir di pundak. "Iya." Dia menunduk lagi dan kembali menangis.
Merlin—kakak sepupu Meyka—seketika berjongkok. Dia membantu adiknya itu dan segera memeluknya. "Kalau gitu lo harus lupain dia."
"Nggak mungkin scepet itu," jawab Meyka pilu. "Hiks. Dia jahat banget ke gue."
"Bersyukur, kedok dia udah ketahuan," bisik Merlin berusaha berpikiran positif. "Jadi, lo gagal liburan, dong?"
Meyka melepas pelukan dan mengangguk. Dia memperhatikan penampilan wanita di depannya yang rapi. Kemudian dia mengedarkan pandang, tapi tidak mendapati pacar kakaknya itu. "Lo mau pergi?"
"Ke Bandara bentar," jawab Merlin sambil mengusap air mata Meyka. "Jemput Rado."
"Rado?"
"Ya. Rado yang itu."
Napas Meyka tercekat. Mengapa lelaki itu tiba-tiba datang? Sejak berpacaran dengan Dion, dia hampir lupa dengan lelaki itu.
"Malah rencananya dia nginep sini. Nanti malem gue ke Bandung, lo juga sebenarnya masih di Bali, kan?" Merlin mengingat rencana awal mereka. "Nanti gue suruh Rado cari hotel lain aja."
Meyka tersenyum kecut. "Suruh dia ke sini aja. Besok gue ke rumah."
"Yakin lo mau balik?" Merlin menatap Meyka tak percaya. "Lo selalu kesepian di rumah itu. Apalagi lo baru aja...." Merlin tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Nggak apa-apa. Gue bakal nangis sepuasnya di sana," ujar Meyka. "Setelah keluar dari rumah itu, bakal gue tinggal rasa sedih itu. Kayak sebelumnya."
Merlin mengusap lengan Meyka naik turun. "Ya udah, apa yang bikin lo nyaman, lakuin," ujarnya. "Andai gue nggak janjian sama calon mertua, udah pasti nemenin lo."
Meyka mengangguk. "Nanti malem gue balik." Dia berbalik, menarik gagang kopernya dan menggeretnya ke kamar.
"Gue pergi dulu, ya, Ka!"
"Ya!" jawab Meyka parau. Begitu sampai kamar, dia segera berbaring di ranjang dan menutup wajah dengan bantal. Lantas menumpahkan tangisannya.
Baginya, Dion adalah manusia jahat. Bagaimana bisa lelaki itu menikah dengan wanita lain, tapi tidak memutuskan pacarnya? Terlebih, Dion sebelumnya juga tidak mau jujur. Andai Meyka tadi tidak datang ke rumah lelaki itu, apakah mungkin Dion tidak akan memberi tahu? Meyka pasti terlihat begitu bodoh di depan lelaki itu.
***
Meyka tidak ingat, berapa lama dia menangis dan berapa lama dia tertidur. Ketika bangun, dia merasa matanya tidak nyaman. Terasa perih, kering dan agak nyeri. Meyka dengan malas beranjak dan melihat pantulan dirinya di cermin.
Wajah Meyka mengkilat, perpaduan keringat dan bekas air mata. Bagian bawah matanya agak bengkak berwarna kemerahan. Setiap sudut matanya juga bengkak dan mengkilat. Hal itu sudah cukup membuktikan jika dia terlalu lama menangis.
"Emm...." Meyka mengusap kepala saat pandangannya tiba-tiba berputar. Dia baru ingat, seharian belum makan. Ya, tadi pagi dia berangkat tanpa sarapan karena takut ketinggalan pesawat. Saat pulang, dia bahkan tidak terpikirkan untuk makan.
Meyka beranjak dari kamar sambil menggaruk kepala. Saat bersedih, untuk makanpun sebenarnya tidak bertenaga. Tetapi, jika tidak dipaksa makan tubuhnya pasti akan semakin lemas lalu jatuh sakit.
Begitu sampai dapur, Meyka segera membuat mi instan. Sambil menunggu mi itu matang, dia berdiri dengan pandangan melamun. Tiba-tiba dia terbayang saat malam hari membuatkan Dion makanan. Lelaki itu selalu menggodanya, bahkan terus memeluknya sepanjang dia memasak.
Air mata Meyka perlahan turun. Dia enggan mengingat kenangan indah itu dan membuatnya merindukan Dion. "Dia udah jahat ke gue!" Meyka melihat mi instannya yang mulai mengembang. Dia mengambil sumpit dan mengaduk mi itu. Sayangnya, dia kembali teringat Dion.
"Bener-bener, deh!" keluh Meyka sambil menggeleng tegas. Dia mematikan kompor dan segera memindahkan mi ke mangkuk. Ketika berbalik, perhatiannya tertuju ke sebuah jaket yang tergeletak di ujung meja makan.
Meyka mendekat, meletakkan mangkuk itu di meja dan menggapai jaket itu. Aroma mint. Tubuh Meyka seetika menegang, hingga tanpa sadar menjatuhkan jaket hitam itu. Sontak dia menatap ke kamar Merlin yang terbuka. Kakak sepupunya selalu menutup pintu setiap di kamar dan setiap meninggalkan tempat itu.
Jemput Rado.
Ucapan Merlin seketika terngiang di kepala Meyka. Dia lupa niatannya untuk pulang. Apakah Rado sudah datang sejak tadi?
"Gue harus pergi!" Meyka hendak beranjak dari dapur. Tetapi, ada seseorang yang lebih dulu menghampirinya.
"Pantesan ada bau yang bikin perut laper."
Tubuh Meyka bergidik mendengar suara berat itu. Dia menatap lelaki berkaus putih dengan celana hitam selutut. Rambut lelaki itu berantakan, sepertinya sengaja tidak disisir. Tetapi, wajah lelaki itu terlihat segar. Matanya menyorot lembut, siapa saja yang melihat pasti akan tertipu oleh sorot mata. Selain itu, tubuh lelaki itu kian kekar dan berisi, tidak seperti waktu itu yang agak kurus.
"Lo Meyka, kan?"
Pertanyaan itu menyadarkan Meyka dari lamunan singkatnya. Dia menatap lelaki itu sekilas lalu membuang muka. Perhatiannya lalu tertuju ke mi instan yang sempat dianggurkan.
"Boleh bagi minya?"
Dari ekor mata Meyka, dia melihat Rado tersenyum sebelum akhirnya mendekat. Sontak dia mundur sambil terus menghindari tatapan Rado.
"Kok lo takut?" tanya Rado. "Gue Rado. Masa lo lupa?"
Gue nggak pernah lupa sama yang namanya Rado, batin Meyka menjawab. Dia mengangkat wajah dan tersadar lelaki itu beberapa langkah darinya. Pandangan Meyka seperti terkunci oleh tatapan Rado.
"Nggak mau nyambut kakaknya?" tanya Rado sambil merentangkan tangan. Tetapi, Meyka bergeming.
"Adik gue! Gue kangen sama lo!" Rado mendekat, memeluk Meyka bahkan mengangkatnya. "Meyka, gimana kabar lo?"
Tubuh Meyka bergidik merasakan itu. Bahkan, patah hatinya karena Dion, sejenak hilang. Tergantikan oleh degup jantung karena tindakan Rado.