Kisah Awal Anitta dan Johan

1241 Kata
Anitta POV "Nit, ternyata kali ini Johan berhasil ngerebut posisi juara lagi" seru Reta teman satu kelas yang duduk sebangku dengan ku. "Aku ngerti kok, Aku juga masih normal bisa baca nilai-nilai dia di papan pengumuman" sahutku ketus sambil memalingkan muka kesal. "Ehh tapi kan dia udah nggak masuk semingguan ini ya. Herannya meskipun jarang masuk, setiap ulangan dia mesti dapet nilai 100. Atau jangan-jangan dia pake kunci bocoran dari orang dalem. Ada rumor emang dia anak orang kaya kok, Nit, jadi kemungkinan besar dia pasti nyogok guru-guru buat ngasih dia kunci jawaban atau buat ngedopleng nilai-nilainya biar bagus trus" kata Reta menggebu-gebu padahal ini hanyalah asumsinya saja. "Huss udah ahh nggak usah ngaco gitu Ret!" timpalku cepat. Yah itulah Reta yang super kepo kalau udah ngebahas Johan. Dan yang bikin aku semakin kesal adalah beberapa fakta yang tadi Reta sebutkan. Ya apalagi kalau bukan fakta dia si tukang bolos tapi masih bisa nyabet posisiku, posisi si juara kelas. Masa bodoh dia bolos kenapa, anak orang kaya atau bukan, dan rumor-rumor lain yang bilang dia nyuap guru, tapi aku juga heran kenapa bisa dia selalu dapet nilai sempurna. Aku yang selalu rajin belajar, nggak pernah absen, sering ke perpus dan ikut les privat aja bisa dia kalahin. Hari ini tepat sepuluh hari dia membolos. Tapi yang membuat mood ku tambah jelek adalah perintah dari wali kelas yang nyuruh aku buat mampir ke rumahnya hanya untuk nenggokin dia. Sekaligus nanyain alasan kenapa dia nggak juga masuk sekolah. Malas sih, cuman tetep aku harus mengemban tugas ini. Inilah caraku mengambil hati para guru. Dengan menuruti setiap perintah dan bersikap seperti murid teladan yang bisa diandalkan. Rumahku lumayan jauh dari kompleks rumah Johan. Tapi tak mungkin aku menyerah karena aku sudah kepalang tanggung mengiyakan perintah ini. Akhirnya aku sampai juga di sebuah rumah yang lebih mirip mansion menurutku. Rumah dengan pagar besi hitam menjulang tinggi yang melindungi rumah megah dan sepertinya cukup luas itu. "Bener kok ini alamat rumah Johan. Hemm ... tapi kok kayaknya rumahnya sepi ya? apa salah rumah?" gumamku. Aku yang masih berseragam lengkap itu celingukan didepan rumah bernomor 59 mencari tombol bel yang biasanya melekat disekitar pagar. Beruntung ada seorang satpam didalam pagar yang bertanya padaku. "Cari siapa neng? temennya den Johan ya?" tanyanya padaku. "Iya pak, saya Anitta teman sekelas Johan, saya kesini mau mengantarkan buku catatan pelajaran dari sekolah untuk Johan yang sudah beberapa hari ini nggak masuk sekolah" "sebentar neng, saya tanya dulu ke den Johan didalam" jawabnya yang sepertinya sedikit meragukan alasan kedatanganku. Hah yang bener aja, masa masih harus tanya-tanya lagi sih, kenapa enggak langsung dibukain aja pagernya, mana panas lagi diluar, gerutuku dalam hati. Sekitar 10 menit berlalu dan satpam paruh baya itu setengah berlari bergegas membukakan pagar untukku. Pak satpam segera meminta maaf dan mempersilahkan aku masuk kerumah itu. Tak lupa, bapak berperawakan tinggi kurus dan berkulit sawo matang itu menunjukkan dimana aku bisa menemukan sosok Johan Ardiansyah. Aku sungguh takjub. Ini jelas bukan rumah atau mansion, tapi lebih mirip istana yang disulap sedemikian rupa menjadi rumah. Aku terus saja masuk melewati beberapa ruangan sesuai arahan pak satpam tanpa mengurangi kekagumanku akan rumah itu.Terlewat setidaknya satu ruang tamu, ruang keluarga dan beberapa ruang kamar tertutup, sampailah aku di sebuah anak tangga yang meliuk disudut mengarah ke lantai dua rumah itu. Setelah menaiki tangga, aku mengarah pada satu kamar dengan pintu minimalis dengan daun pintu silver yang pastinya adalah kamar Johan. Kuketuk pintu kayu bercat coklat gelap, dan baru masuk setelah suara parau Johan menyuruhku masuk. Kulihat kamar itu dari kiri ke kanan. Kamar ini hampir seluas tiga per empat rumahku, lengkap dengan satu ruang kamar mandi pribadi dan ruang ganti yang memuat seluruh kebutuhan sandang empu pemilik kamar. Saat kagumku akan rumah itu belum usai, kulihat Johan duduk bersadar dikusen jendela. Raut wajahnya tampak sedih dan kesepian. Namun secara keseluruhan, kulihat dia baik-baik saja, sepertinya cukup sehat untuk bisa masuk sekolah. Lalu sebenarnya apa alasan dia bolos kalau begitu?. "Hei anak baru, kenapa kau bolos lagi?" tanya ku ketus, masih kuingat dendam karena dia telah merebut posisiku. "Bukan urusanmu. Sekolah nggak sekolah, toh yang penting aku masih bisa jadi juara satu" jelasnya sambil menoleh kearahku dan menunjukkan seringai liciknya seolah-olah sedang mengejekku. Uhh menyebalkan. Menyesal aku berkunjung kesini, batinku sambil menampakkan senyum kecut untuk membalas semua perkataannya. "Aku kesini disuruh Bu Fani buat nanyain kenapa kamu bolos terus. Kalau kayak gini nanti kamu gak bisa naik kelas meskipun kamu juara satu" jelasku panjang lebar. "Nggak ada yang menarik di sekolah" jawabnya singkat sambil mengalihkan pandangannya kembali menatap ke arah luar jendela. Astaga, yang benar saja. Mulai dari gelagatnya, ekspresinya, semua yang dilakukannya tadi itu menambah kedongkolan dihatiku. Kalau saja ini bukan rumahnya dan negara ini bukan negara hukum, sudah kudorong dia terjun ke bawah. Sebenarnya aku enggan meneruskan obrolan menyebalkan ini, tapi entah kenapa kakiku bergerak maju mendekatinya. Hatiku tergelitik untuk tahu apa yang sebenarnya dia lihat dengan tatapan kesepian itu. Hingga jarak diantara kami hanya tinggal beberapa langkah saja, tiba-tiba Johan menoleh ke arahku. "Sebenarnya apa mau mu kesini? menyampaikan salam Bu Fani atau mengunjungiku secara pribadi?" ucapnya lolos penuh dengan percaya diri. "Hah...?! apa?!" tanyaku yang baru berhasil terbebas dari lamunanku. Aku juga heran kenapa jadi aku yang menghampirinya. Kenapa malah aku yang seolah menimbulkan kesalahpahaman ini. Apa aku terkena sihir? Ahh jelas bukan. Tapi jujur aku tiba-tiba saja penasaran dengan wajah sendu dan kesepian yang Johan tampakkan jelas didepan mataku sekarang. "Ehh kenapa pipi kirimu lebam begitu? kau habis kena pukul atau berantem sih?" tanyaku ketika aku berusaha mencari-cari alasan yang tepat dan viola... aku berhasil menyadari lebam itu. Tanpa menjawab pertanyaanku tadi, Johan malah tersenyum geli dan setengah menundukkan kepalanya. "Kalau kamu yang menggodaku untuk kembali ke sekolah, aku pasti bakalan masuk besok" jawabnya kemudian. Entah kenapa jawaban ini membuatku merinding. Apalagi dia menatapku dengan devil's eyes miliknya. "Hah?! ngomong apa sih?! Udahlah aku mau balik aja, nih buku catatan pelajaran buat kamu, biar kamu nggak ketinggalan pelajaran. Itu titipan dari Bu Fani" kataku sambil mengeluarkan beberapa buku catatan dari dalam ranselku. Setelah semua buku aku letakkan di meja terdekat dari tempatku berdiri, aku berniat beranjak dari kamar itu. Menurutku harus aku yang menyudahi obrolan ambigu yang terjadi diantara kami. Saat tubuhku berhasil melangkah menjauh, tiba-tiba Johan menarik tanganku. "Kamu nggak jadi penasaran kenapa pipiku bisa lebam?" "Udah nggak lagi!" jawabku singkat sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangannya. "Kalau gitu bawa balik buku-buku itu, aku nggak butuh!" Astaga ini anak. Lantas reflek aku melotot memandangi laki-laki yang membuat maksud kedatanganku kekamar ini menjadi sia-sia. "Ehh sumpah, mau mu apa sih?!" tanyaku jengkel. "Bukannya kamu bakalan seneng ya klo aku ketinggalan pelajaran, jadi kamu bisa ngerebut lagi posisi itu?" katanya sambil melepaskan genggaman tangannya menyeringai padaku. Aku terkejut bukan main. Sebegitu ketara kah klo aku iri dengannya yang merebut posisiku. Sejauh mana dia bisa memahami situasi dalam kelas meskipun dia jarang masuk sekolah. Sedikit kekagumanku menyeruak karena ternyata dia mempedulikan lingkungan sekitarnya meskipun dia terkesan cuek dan masa bodoh soal sekolah. "Baguslah kalau kamu udah ngerti jadi kan aku nggak usah basa basi lagi. Kalau emang nggak niat sekolah ya nggak usah sok ngerebut posisiku. Biar aku aja yang juara kelas karena aku yang lebih rajin daripada kamu yang bolos terus!" jawabku tak mau kalah. "Obsesimu itu terlalu kau perlihatkan didepan semua orang, nona Nitta. Dan berkatmu kini aku mungkin bisa menemukan hal yang membuatku tertarik untuk ke sekolah" timpalnya dibarengi senyum seringai licik yang membuat bulu kudukku merinding.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN