10 - Raden Mas Adiwangsa

1234 Kata
(Sidoarjo) Sore itu, Raden Mas Adiwangsa, Bupati Sidoarjo, tampak baru menyelesaikan pekerjaannya. Sedikit merentangkan tubuh saat satu sosok Abdi, mengantar teh dengan gerak membungkuk rendah. Lebih seperti sedang menyapu lantai dengan dua lututnya. Adat Jawa, memang cukup ketat. Siapapun kalangan bawah yang hendak bertemu dengan pembesar, terutama saat itu adalah sosok Abdi rendah, pelayan Ningrat berkedudukan tinggi macam Raden Mas Adiwangsa, maka mereka harus berjalan membungkuk. Baik itu ketika hendak menghadap, maupun nanti saat undur diri. Raden Mas Adiwangsa sendiri, tampak tak terlalu memberi perhatian saat Abdi-nya datang. Sekedar melirik singkat saat nampan teh, diletakkan pada meja dihadapannya. Sang Abdi sendiri, lekas menyeduh teh pada gelas sebelum undur diri. Tentu masih dengan berjalan membungkuk kebelakang bertumpuan dua lutut. "Hmmm…." Tepat ketika kembali menjadi satu-satunya berada di ruangan, Raden Mas Adiwangsa yang hendak menikmati teh sore baru disajikan, tampak mengerutkan kening melihat sepucuk kertas pada nampan teh. Diletakkan bersebalahan dengan gelas seduhan teh panas. Ternyata selain mengantar teh, Abdi-nya juga mengantarkan sebuah kertas yang tampaknya adalah surat. Terlihat dari sampul luar yang memiliki tanda tertentu. Tak ada penjelasan lebih lanjut karena tentu tak ada yang berani mendahului membuka surat ditujukan kepada Raden Mas Adiwangsa. "Dari siapa gerangan?" gumam Raden Mas Adiwangsa. Cukup penasaran. Menyempatkan mengambil satu tegukan gelas teh, Bupati Sidoarjo ini kemudian meraih surat pada nampan. Mengamati sampul luar. "Rumah Hiburan dan Toko Barang Antik Purnama?" ucap Raden Mas Adiwangsa. Membaca kalimat tertanda pada sampul. Dimana menunjukkan dari mana surat berasal. "Purnama, seperti pernah dengar!" lanjut Raden Mas Adiwangsa. Coba mengingat. "Ahhh… Itu Saudagar Tionghoa Hong Kui! Purnama ini bukankah nama bisnis pakan ternak miliknya?" Raden Mas Adiwangsa, kembali menggumam kalimat. Berbicara dengan diri sendiri tampak kenal pada sosok Hong Kui. "Bukan main orang ini! Masih begitu muda, sukses dengan bisnis pakan ternak, sekarang membuka Rumah Hiburan dan Toko Barang Antik juga?" Semakin penasaran, Raden Mas Adiwangsa lekas membuka sampul surat. Mulai mengeluarkan isi yang ternyata adalah sebuah undangan. "Undangan pesta perayaan sekaligus selamatan Bisnis barunya ya?" gumam Raden Mas Adiwangsa. Setelah membaca tertulis pada undangan sedang ia genggam. "Sangat menarik! Jika dia mengundangku, maka beberapa pembesar lain juga turut diundang!" Raden Mas Adiwangsa, tampak menjadi bersemangat. Riak kecerahan tertentu, tampil pada sorot matanya. Jelas sedang memikirkan sesuatu yang entah bagaimana, membuat hatinya menjadi bunga. "Mungkin para Ningrat dan Indo pelajar HBS Surabaya juga diundang!" "Terlebih lagi, ditulis acara utamanya adalah sebuah Lelang! Lelang yang seperti ada di Eropa sana?" Intonasi nada Raden Mas Adiwangsa, semakin antusias tiap saat. Terlebih ketika sampai pada topik mengangkat tentang Lelang. Bagaimanapun juga, sosok Gubernur Sidoarjo yang mana juga alumni dari HBS Surabaya ini, sangat mengidolakan hal-hal berbau Eropa. Sebuah kewajaran dari pelajar serta Alumni HBS yang memang mendapat pendidikan ala Eropa. Bahkan guru yang mengajar, didatangkan langsung dari Eropa. Sosok-sosok terpelajar nan berwawasan luas ditugaskan oleh Kerajaan Belanda. Bagian dari program Politik Etis sedang digencarkan. Politik Etis sendiri, adalah program sedang hangat diperbincangkan beberapa tahun belakangan. Sebuah kebijakan yang memberi kesempatan atau cakrawala baru bagi kaum pribumi untuk mendapat pendidikan ala Eropa. Meski masih pada tahap sekedar kaum Priyayi, atau anak-anak Ningrat boleh masuk ke sekolah-sekolah Belanda, namun sudah merupakan langkah cukup besar. Politik Etis, juga biasa dikenal dengan sebutan Politik Balas Budi. Lama digencarkan oleh orang-orang Eropa di tanah koloni, untuk memberi penghargaan pada kaum pribumi yang telah ratusan tahun, memberi sumbangsih besar bagi kaum Eropa. Kebesaran serta kemajuan pesat bangsa Eropa beberapa dekade terakhir, harus diakui memang berasal dari segala sumberdaya mereka dapat hasil menduduki tanah-tanah Koloni. Satu hal yang kemudian memicu mencuatnya wacana tentang politik Etis. Politik balas budi. Penerapan memang berbeda-beda oleh tiap bangsa Eropa. Namun sebagian besar, memiliki satu kesamaan. Yakni terkait pendidikan. Kerajaan Belanda sendiri, bisa dikatakan cukup telat menerapkan politik Etis. Menjadi paling akhir saat bangsa-bangsa Eropa lain, sudah lama menjalankan bentuk balas Budi terhadap kaum pribumi ini. Mendapat tekanan dari kerajaan-kerajaan lain dengan isu Kerajaan Belanda tak tahu balas Budi, dipertanyakan moralnya, Ratu Belanda, Ratu Wilhelmina, akhirnya menelurkan kebijakan politik Etis diterapkan pada dua Tanah jajahan mereka. Suriname dan Hindia. Tiga poin utama dalam kebijakan politik Etis kerajaan Belanda, itu adalah pertama Transmigrasi, menyebar penduduk pribumi yang berpusat di Pulau Jawa, ke wilayah lain agar kehidupan lebih sejahtera. Kedua, ada pada Irigasi. Memberi perbaikan pada sarana pengairan sawah-sawah Pribumi. Poin ketiga, tentu pendidikan. Anak-anak pribumi golongan Priyayi, memiliki kesempatan mengenyam pendidikan sekolah-sekolah Eropa yang sebelumnya khusus cuma untuk kaum Totok saja. Meski pada penerapannya Politik Etis yang dikatakan sebagai bentuk balas Budi ternyata kembali dimanfaatkan oleh orang-orang Belanda di Tanah Hindia untuk kepentingan sendiri, tetap saja, Pendidikan memberi peluang besar baru bagi kaum pribumi. Diterapkan sekedar memberi kesempatan bisa baca tulis pada anak-anak Priyayi, hendak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja rendah dengan bayaran minim, tak harus mendatangkan ahli dari Eropa dengan biaya dan gaji besar, pendidikan, mampu menciptakan sebuah golongan baru kaum pribumi. Dikenal dengan sebutan kaum terpelajar. Berisi sosok-sosok pemuda berwawasan luas serta haus akan ilmu pengetahuan. Terobsesi akan budaya Eropa. Salah satunya, tentu adalah Raden Mas Adiwangsa. Hanya saja, Raden Mas Adiwangsa yang bisa dikatakan adalah barisan paling awal berkesempatan menerima pendidikan ala Eropa, masih bertahan dengan kebiasaan lama adat Jawa yang kental. Tak terlalu menjadi Eropa dengan hanya memiliki rasa penasaran besar akan hal-hal berbau Eropa. Berbeda dengan generasi selanjutnya yang tampak tak terlalu suka dengan adat lama yang terkesan kurang memanusiakan manusia. Terbawa pembawaan Liberal guru-guru Eropa mereka. Meskipun pada dasarnya cukup miris, bangsa Eropa yang mengajarkan tentang segala hal terkait moral dan memanusiakan manusia, adalah mereka yang menduduki wilayah-wilayah lain sebagai Tanah Koloni. "Acara besok malam ini pasti akan cukup meriah!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Lekas memanggil Abdi yang tampak setia menunggu diluar ruangan. "Hamba Tuan…." Sang Abdi, memasuki ruang masih dengan cara merangkak bertumpu dua lutut. Menundukkan kepala sama sekali tak berani membuat kontak mata langsung dengan Raden Mas Adiwangsa dihadapannya. "Panggilkan Putriku Kirana! Suruh ia datang kesini!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Menyampaikan intruksi. "Baik…." Sekali lagi berjalan mundur dengan menunduk begitu dalam, sosok Abdi meninggalkan ruang. Bergegas menuju kamar pribadi Kirana. Membutuhkan sekitar setengah jam karena Kirana tentu perlu mempersiapkan diri. Merias wajah agar terlihat cantik nan segar sebelum bertemu menghadap Sang Ayah sampai akhirnya anak perempuan kesayangan Raden Mas Adiwangsa ini, memasuki ruang kerja Bupati. Berjalan dengan tumpuan dua lutut sama seperti kebanyakan orang lain. "Tutup pintu!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Menyampaikan intruksi pada Abdi. "Tak perlu seperti itu! Lekas berdiri duduk di sebelah Ayah…!" Tepat setelah pintu ruang kerja ditutup untuk tak ada orang lain dapat memperhatikan, Raden Mas Adiwangsa menyuruh Kirana meninggalkan segala kebiasaan adat yang cukup menyiksa lututnya. "Baik Ayahanda…" Menurut, tentu dengan perasaan senang hati, Kirana lekas berdiri untuk berjalan anggun. Duduk pada kursi disebelah Raden Mas Adiwangsa. Tak henti memasang senyum manja yang mana membuat Sang Ayah, selalu bunga tiap kali melihatnya. Tampak jelas sangat menyayangi serta bangga kepada sosok Kirana. "Bagaimana kabarmu hari ini? Baik?" tanya Raden Mas Adiwangsa, membuka percakapan. "Baik Ayahanda, seperti biasanya!" balas Kirana. "Ada apakah Ayahanda memanggil Kirana? Apa berhubungan dengan rencana memberi adik sempat disampaikan kapan hari?" lanjut Kirana. Memberanikan diri melempar pertanyaan bernada manja. "Bukan, bukan itu. Masih Ayahanda usahakan dengan Ibumu! Kupanggil kesini, untuk hal lain!" balas Raden Mas Adiwangsa. Dengan intonasi nada lembut seraya mulai mengusap rambut Kirana. "Hal lain macam apa Ayahanda?" Kirana, dihadapan Raden Mas Adiwangsa, seolah menjelma menjadi sosok antusias yang sering mempertanyakan apapun. Penasaran dengan berbagai hal. "Berkaitan dengan ini…." Raden Mas Adiwangsa, menunjukkan surat undangan pesta Hong Kui untuk besok malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN