23 - Tawa Lepas

1242 Kata
"Wahhh…. Tuan Aldert sungguh tak tanggung-tanggung! Dari 610 Gulden, langsung menaikkan keangka 800 Gulden dalam sekali jalan!" Hong Shiu, lekas menyampaikan pengumuman yang sebenarnya sudah cukup jelas didengar tiap orang hadirin pesta mengikuti acara lelang. Sukses membuat seolah itu pengumumannya, adalah yang membuat suasana ruang, menjadi meriah. Semarak oleh teriakan antusias. Terutama dari kerumunan pelajar HBS golongan Indo. Padahal meski Hong Shiu tak membuat pengumuman pun, suasana akan tetap semarak oleh aksi menaikkan tawaran Aldert. "Hehehe… Tuan Willem sungguh kejam! Merendahkan sedemikian rupa pihak yang baru menyinggungnya, bahkan tanpa harus menggunakan tangan sendiri!" "Menampar dengan meminjam tangan orang lain!" Pada sudut ruang, Hong Kui yang tampak memahami semua adalah permainan Willem, menggumam kalimat kagum sembari menatap sosok Willem yang sedari tadi tak henti menampilkan senyum tipis sederhana. Putra dari Asisten Resident Kota Surabaya ini, seolah sedang menikmati pertunjukan dengan terus memandangi Laurens yang tengah menampilkan wajah suram. "Lain kali, aku harus lebih berhati-hati! Jangan sampai harus menyinggung orang ini!" lanjut Hong Kui. Menyampaikan peringatan untuk diri sendiri. Berkembang sempat diterpa perasaan ngeri begitu mengingat momen ia pernah sedikit menyinggung Willem pada pertemuan membahas bisnis sore hari kemarin. Meskipun juga Hong Kui paham, yang kemarin sore, adalah jenis permainan lain Willem. Dimana sukses menempatkan ia dalam posisi tak baik sehingga tak memiliki daya tawar cukup tinggi saat menyampaikan proposal bisnis. Pemikiran yang justru semakin membuat Hong Kui memandang dengan cara sepenuhnya berbeda pada sosok Willem. Antara kagum dan ngeri disaat bersamaan. "Aiihhh… Akan baik untuk dijadikan relasi! Namun jelas cukup riskan menjadikan kawan bisnis!" tutup Hong Kui. Menyampaikan pandangannya kepada karakter Willem. "Ayahanda, semakin seru saja! Kirana bahkan ikut berdebar!" Dimeja Raden Mas Adiwangsa, Kirana ikut menyampaikan tanggapan tentang situasi sedang berlangsung. Meski memang tak cukup percaya diri dengan sekedar berbisik lirih disebelah Ayahnya. "Hahaha… Ya beginilah lelang! Oleh sebab itu Ayahanda mengajak Kirana untuk melihat langsung kemeriahan!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Meski harus minta maaf tak cukup kaya bersaing dengan para pembesar yang ada disana!" lanjut Raden Mas Adiwangsa. Kembali menyinggung pada ia tak mampu mendapatkan Gelang Mutiara yang diminati anak gadis kesayangannya tersebut. "Ayahanda… Bukankah sudah Kirana sampaikan tak apa-apa!" balas Kirana. Sekali lagi lekas memeluk manja lengan Raden Mas Adiwangsa. Coba menghibur Sang Ayah saat jelas itu Ayahnya, tadi ingin meminta maaf untuknya. "Hei Kirana….! Bagaimana kalau kuberi Guci antik lelang pertama yang calon mertuamu ini tadi menangkan?" Raden Adipati Soeryo, kembali masuk kedalam obrolan antar Kirana dan Raden Mas Adiwangsa. "Kau bisa menganggap itu hadiah dari Cahyo! Mas kawin awal!" lanjut Sang Bupati Tuban. Memasang senyum cerah melirik putranya disebelah. Dimana juga lekas menampilkan wajah bangga nan terlihat konyol. "Mas kawan apa? Kepalamu itu sepertinya baru terbentur Soer? Ada yang tak beres didalam sana!" dengus Raden Mas Adiwangsa. Kembali kesal mendengar sahabatnya itu tampak tak menyerah untuk terus mengangkat topik tentang perkawinan antara Putranya dengan Kirana. "Sudahlah Di…! Kan bagus kita menjadi besan? Lagipula, nanti jelas akan kembali pada Kirana! Apa iya kau cukup tega memaksa menikah tak sesuai keinginannya? Biar dia menentukan calon suami agar bisa hidup bahagia!" tanggap Raden Adipati Soeryo. "Kurasa, Cahyo Putraku ini, adalah paling pas! Paling cocok! Mereka serasi satu sama lain! Dia Calon Bupati Tuban lulusan HBS Surabaya lho…!" lanjut Raden Adipati Soeryo. Kembali membanggakan Putranya. Cukup percaya diri melempar kalimat seolah Kirana juga tertarik pada Raden Adipati Cahyo. Kirana sendiri, sekali lagi menundukkan wajah. Merasa tak nyaman saat tatapan Raden Adipati Cahyo, kembali lekat memandang penuh minat kearahnya. Sedikit memiliki riak gairah tertentu saat beberapa kali mencuri lirikan di bagian-bagian tubuh tertentu Kirana yang memang tampak sangat indah berbalut kebaya sedikit menerawang. Sebenarnya tak hanya Raden Adipati Cahyo. Sedari tadi, juga banyak tatapan penuh minat hadir disekitar mencuri pandang kearah Kirana. Kecantikan gadis ini sungguh begitu memikat. Raden Mas Bagus, Putra Bupati Solo yang juga merupakan sosok mentor mengajari Kirana baca tulis, tak henti senyum-senyum sendiri memandang wajah ayu gadis idamannya tersebut. Tampak memiliki perasaan tulus dibanding tatapan pemuda lain yang mengandung riak gairah seperti halnya Raden Adipati Cahyo. Selain para pemuda Ningrat Jawa, juga pemuda golongan Indo, tak banyak menyadari, tatapan juga sering ditujukan oleh satu sosok tertentu dari meja VIP. Tak lain adalah Willem. Terus memandangi Kirana dengan tatapan penuh maksud serta minat tertentu. Beberapa kali tampak justru seperti terobsesi. Kirana sendiri, dimana masih bertahan menunduk sembari melingkarkan tangan dilengan Raden Mas Adiwangsa, tak menyadari acara lelang yang menurutnya seru dan meriah, merupakan momen awal dari segala dinamika kehidupan hendak menerjang hidupnya. Lelang acara pesta selamatan Toko Purnama milik Hong Kui, akan menjadi momentum paling awal dari segala perubahan nasib. Entah itu berujung bahagia, atau justru nestapa tak berujung. "800 Gulden pertama….!" "800 Gulden kedua….!" Hong Shiu diatas panggung, mulai menghitung untuk harga terakhir disampaikan Aldert karena pihak pesaing, Laurens, tampak tak menyampaikan tawaran terbaru lebih tinggi. "800 Gulden ketiga…!" Palu Hong Shiu, mengetuk meja lelang tiga kali. Isyarat dari barang lelang ketiga penutup sesi pertama, telah menemukan pemiliknya. Hasil yang segera bersambut deru gegap gempita suara sorak sorai kerumunan pelajar HBS golongan Indo. Merasa kemenangan Aldert, itu juga merupakan kemenangan mereka sebagai sesama pemilik darah campuran. Sorak sorai sempat bertahan untuk beberapa saat singkat sampai tatapan Laurens, menghujam tajam. Menghentikan kegaduhan para pelajar HBS golongan Indo. Bagaimanapun juga, meski antusias baru mendapat perasaan lega seperti bisa membalas segala hinaan Laurens, tiap dari pelajar HBS golongan Indo, juga cukup tahu diri untuk tak berani menyinggung lebih jauh sosok Putra Assisten Resident Kota Gresik tersebut. "Hmmmm… Hanya Gelang Mutiara! Tak layak dihargai semahal itu! Yang membeli dengan 800 Gulden, jelas orang tak cukup berpendidikan!" dengus Laurens. "Nona Belinda, nanti kubelikan lebih layak! Atau jika perlu, ada beberapa dirumah yang jauh lebih indah dapat kuberi sebagai ganti hadiah!" tambah Laurens. Coba mempertahankan serta meninggikan lagi harga diri sempat jatuh, dengan memainkan peran arogan. Kalimat yang sekedar bersambut senyum tipis penuh maksud dari Belinda. Tak menyampaikan kalimat tanggapan apapun. "Sahabat Laurens ini sungguh jenis yang cukup dermawan!" Justru mulai menanggapi, itu adalah sosok Willem. Melempar kalimat sembari bertahan dengan senyum tipis sederhana nan khas. "Merasa uang saku dari Ayahnya tak cukup untuk coba membeli Gelang Mutiara, kini menawarkan harta dirumah yang bisa kuduga, itu milik Ibumu, benar?" lanjut Willem. Melempar kalimat yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan terdengar menggugah rasa humor tiap orang hadir disekitar kebetulan ikut mendengar. Tawa cekikikan tertahan, lekas membahana lirih. Namun jelas karena terdengar dari segala sudut penjuru ruang. "Berlagak pintar untuk tahu segalanya! Kata siapa itu milik Ibuku?" dengus Laurens. Coba menyangkal. Sejujurnya semakin geram melihat segala tingkah serta lempar kalimat-kalimat sarkas Willem. Terlebih itu Belinda Sang Pujaan hati sedang ia targetkan, tampak ikut tertawa. "Ohhh… Begitu? Jadi hendak kau berikan kepada sahabatku yang cantik ini sebagai hadiah, adalah perhiasan indah milik sendiri?" tanya Willem. Sekali lagi melempar kalimat. Bertanya dengan kini memasang raut wajah seolah benar-benar penasaran. Menaikkan salah satu sudut alis. "Tentu saja milikku sendiri! Tak perlu harus mempertanyakan hal yang sudah cukup jelas!" dengus Laurens. Tak sadar baru masuk kedalam perangkap permainan kata Willem. "Wahhh… Jika benar milikmu, aku justru menjadi heran, untuk apa sosok maskulin nan tampan seperti dirimu, Putra Assisten Resident Kota Gresik terhormat, menyimpan perhiasan indah? Satu hal yang jelas biasa hanya dilakukan oleh para gadis!" ucap Willem. Melempar kalimat yang kini sukses tak sekedar mengundang cekikikan. Hampir seluruh undangan pesta hadir, spontan tertawa lepas. Tawa lepas yang lekas membuat raut wajah Laurens, berkembang menjadi merah padam. Menatap tajam sosok Willem. Menyambut tatapan tajam penuh kebencian pihak lawan bicara, Willem sendiri justru bertahan santai. Membalas dengan senyum tipis sederhana sebelum mulai meminum teh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN