"Kenapa mimpiin dia terus, ya?" Aku terbangun dari tidurku, namun masih terbayang akan mimpi yang hadir menghiasi tidurku.
Bukan sekali dua kali aku memimpikan orang yang sama—seseorang yang pernah hadir pada masa laluku, yaitu mantan pacarku yang merupakan pacar sekaligus cinta pertamaku.
Aku sampai browsing kenapa bisa memimpikan orang yang sama berulang kali, walau kebanyakan orang bilang bahwa mimpi itu hanya lah bunga tidur. Ada artikel yang menyebutkan bahwa itu tandanya orang tersebut sedang merindukan kita, ada juga yang menyebut bahwa urusan atau hubungan kita dengan seseorang itu belum sepenuhnya selesai, dan artikel lain menyebutkan kalau ini ada hubungannya dengan pasangan yang kita miliki saat ini. Aku sendiri sedikit kepikiran pada yang kedua. Aku yang waktu dulu diputuskan, merasa tidak rela. Tidak terima jika mantanku itu memutuskan hubungan kami secara sepihak hanya karena lebih mempercayai apa yang dikatakan sahabatnya tentangku. Aku masih sangat mencintainya, namun dia sama sekali tidak terima dengan penjelasanku. Hubungan kami berakhir begitu saja di saat aku sedang sayang-sayangnya.
Usia 17 tahun itu masa-masa pubernya aku. Baru pertama kali jatuh cinta pada seseorang yang usianya 4 tahun berada di atasku. Namanya Rayyan, seorang lelaki yang merupakan kakak dari teman sekelasku dulu. Aku mengenalnya ketika kami belajar kelompok di rumah temanku itu. Aku yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya kala itu dan gayung pun bersambut karena ternyata dia pun begitu.
"Dapat salam dari kakak gue," ujar teman lelakiku yang bernama Ziel.
"Hah?"
"Gue tahu lo sama yang lainnya pada terpesona ngeliat kakak gue kemarin," lanjut Ziel dengan nada mengejek.
Aku tidak terlalu dekat dengan Ziel, hanya sekedar teman sekelas saja. Lelaki itu memang menjaga jarak dengan kaum hawa, kudengar gosipnya karena pacarnya cemburuan.
"Kakak gue minta nomor HP lo dan udah gue kasih."
Aku sontak melongo. Tidak bisakah dia izin dulu kepadaku?
"Lo kok main kasih aja tanpa izin gue?"
"Izin ga izin pun, lo tetap bakalan ngasih juga, 'kan?"
"Tapi, kan... "
Belum selesai melanjutkan ucapanku, Ziel sudah pergi begitu saja.
Pada malam harinya, ada sebuah nomor baru mengirimkan chat padaku yang tak lain adalah kakak Ziel yang bernama Rayyan. Sejak hari itu, kami sering bertukar pesan, teleponan dan sesekali bertemu. Bahkan, dia pernah juga menjemputku di sekolah.
Hingga pada akhirnya, Rayyan memintaku untuk menjadi kekasihnya setelah 2 bulan masa pedekate. Aku senang sekali karena mendapatkan pacar tampan seperti Rayyan. Sosoknya yang begitu sempurna membuatku bangga menjadi kekasihnya.
Kami tak selalu bertemu karena Rayyan yang sekolah penerbangan di Pulau Dewata. Namun, komunikasi kami intens. Rayyan pasti menyempatkan waktunya untuk menghubungiku sesibuk apa pun dia.
Aku menghela napas mengingat sekilas bayangan tentang masa lalu bersama Rayyan. Sudah bertahun-tahun berlalu, namun rasa itu masih ada walau tidak sebesar dulu mengingat diriku sudah dua kali berganti pacar semenjak putus darinya.
Awal-awal putus dulu memang galau, karena begitu banyak kenangan selama 3 tahun berpacaran dengannya dan sempat akan bertunangan pada tahun kedua kuliahku. Apalagi, dia merupakan cinta sekaligus pacar pertamaku. Rasanya begitu menyesakkan dadaku. Aku difitnah oleh sahabatnya Rayyan dari kecil dan tak menyangka jika lelaki itu mempercayai apa yang dikatakan oleh sahabatnya tersebut. Aku dituduh memiliki hubungan spesial dengan Rafli, anak dari sahabat mama dan papaku.
Aku tak memungkiri jika aku dekat dengan lelaki yang usianya terpaut 3 tahun di bawahku itu. Dari kecil kami tumbuh bersama mengingat kedua orang tua yang bersahabat. Dan juga, kami tinggal di komplek perumahan yang sama juga.
Yang membuat aku tak habis pikir, bisa-bisanya Rayyan menuduh aku mempunyai hubungan spesial dengan lelaki yang lebih muda dari padaku? Aku sendiri menganggap Rafli layaknya seorang adik. Usianya beda 1 tahun dengan Lucky adikku. Dia sering bermain ke rumah karena dekat dengan adikku itu juga. Dari awal Rayyan sudah mengetahui kedekatan keluargaku dengan keluarga Rafli, kenapa baru mempermasalahkannya setelah kami 3 tahun berpacaran?
Aku tersentak ketika mendengar ketukan pintu diiringi suara mamaku dari balik pintu.
"Udah bangun kok, Ma. Masuk aja, enggak dikunci pintunya," sahutku dari dalam.
Mama membuka pintu dan memasuki kamarku. "Flight jam berapa emangnya hari ini, Kak? Kok belum mandi?"
Aku melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 06:30.
"Jam 1 siang, Ma."
Mama manggut-manggut. Mamaku ini walau sudah berusia 49 tahun, tapi masih cantik sekali. Wajahnya imut dan sepertinya menolak tua. Bisa ditebak wajah mungilku ini sudah pasti diwarisi dari mamaku. Sedangkan mataku, tidak begitu kecil seperti mama. Kata keluarga besarku, bagian mata, bibir dan hidungku mirip dengan papaku.
"Jadi, mau jalan jam berapa?"
"Jam 8 kayaknya, Ma. Penerbangan pertama soalnya, jadi aku akan datang lebih awal."
Setelah 2 tahun mengabdi di Sayap Air, beberapa bulan yang lalu aku tidak memperpanjang ketika kontraknya habis. Aku beralih mencoba peruntungan pada maskapai nomor satu di negara ini. Dan aku bersyukur karena diterima. Setelah masa training dan survival, aku dinyatakan lolos sebagai pramugari di maskapai penerbangan tersebut. Dan hari ini adalah penerbangan pertamaku.
"Vania... " Mama memanggilku lirih. Dan aku tahu apa arti tatapan yang ditunjukkan mamaku itu. "Sampai kapan kamu bakalan jadi pramugari kayak gini?"
Aku tidak kekurangan uang, tidak sama sekali. Papaku merupakan komisaris di perusahaan e-commerce setelah dulunya memegang jabatan sebagai CEO. Namun, semenjak memasuki usia 40 tahun, papa mengundurkan diri dari jabatannya dan sekarang posisinya digantikan oleh sepupunya. Di sana juga ada kakak sepupuku yaitu Kak Leo, yang membantu sepupunya papa sejak beberapa tahun yang lalu. Papa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama mama. Hanya sesekali mengunjungi perusahaan karena saham papa cukup besar di sana. Tak hanya itu, papa juga memiliki usaha properti kecil-kecilan dengan temannya. Di usianya yang sudah menginjak 50 tahun itu, papa lebih mengandalkan passive income tanpa harus keluar rumah.
Bekerja sebagai pramugari adalah keinginanku sejak remaja agar bisa jalan-jalan dan kulineran tanpa mengeluarkan banyak biaya. Melakukan penerbangan ke mana pun sekaligus bekerja. Walau papa tidak pernah membatasi uang jajanku dari dulu, aku lebih memilih untuk menabungnya sebagian besar. Waktu aku memutuskan untuk mendaftar sebagai pramugari dengan alasan itu, papa dan mama tidak setuju pada awalnya. Mereka tentu saja mampu memberiku uang ke tempat mana pun aku ingin berlibur, tapi tidak seperti itu yang aku inginkan. Ada waktunya menikmati liburan bersama keluarga, akan tetapi di kala sendiri akan lebih menyenangkan jika mengunjungi beberapa tempat hasil dari kerja kerasku sendiri. Dan menjadi pramugari adalah satu-satunya cara untukku mengunjungi banyak tempat tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaan mama.
"Akan ada masanya, kok. Aku akan berhenti ketika aku ngerasa sudah waktunya berhenti."
"Jangan lama-lama ya, Sayang?" Mama sih, lebih suka kamu fokus sama usaha cafe dan kembangin lagi dengan membuka cabang baru. Papa akan bantu kamu."
Aku mengangguk, lalu menggeleng. "Bukannya nggak mau dibantuin papa, Ma. Mama tahu sendiri gimana aku. Ini bentuk self-reward bagiku, merintis usaha dengan uang sendiri."
Aku mempunyai sebuah cafe yang sejak yang dirintis sejak tahun lalu. Cafe yang aku bangun bermodalkan uang tabunganku selama bertahun-tahun dari sekolah, kuliah hingga setahun menjadi pramugari. Murni dari simpanan sendiri, tanpa bantuan dari orang tuaku. Begitu lah aku, walau berasal dari keluarga kaya raya, aku tak lantas menghamburkan uang begitu saja untuk sesuatu yang tidak penting.
***
Seharusnya aku dijemput oleh mobil jemputan, tapi papaku ingin sekali mengantarku pagi ini. Mama juga ikut-ikutan.
"Kamu masih akan tinggal di apartemen lagi, Kak?" tanya papa di dalam perjalanan menuju bandara.
"Kayaknya iya, Pa."
Aku menyicil sebuah apartemen yang letaknya tidak jauh dari bandara agar memudahkanku ketika berangkat sangat pagi atau pulang larut malam. Sopir keluarga kami sebenarnya ada, tapi aku tidak mau merepotkan apalagi di saat pulang begitu larut.
Belakangan ini, aku lebih sering di rumah sebelum terbang lagi karena memang jarang-jarang berkumpul dengan keluargaku.
"Tapi usahain lebih sering lagi pulang ke rumah, ya?" lanjut papa lagi. "Kamu itu, anak perempuan kami satu-satunya. Bukan mama kamu aja yang sering khawatir, papa juga. Rasanya sampe sekarang masih berat biarin kamu tinggal di apartemen sendirian."
"Aku udah 24 tahun, Pa, Ma."
Papa terkekeh kecil. "Nggak berasa kamu udah dewasa sekarang. Bagi papa itu kamu itu tetap little princess-nya papa. Nggak kebayang, gimana kalau kamu nanti akan menikah."
Menikah? Aku sama sekali belum terpikir ke sana walau saat ini sedang memiliki seorang kekasih. Eros yang merupakan kekasihku selama 6 bulan ini, tak menuntut banyak hal dariku. Sejauh ini, dia tak pernah membicarakan perihal rencana masa depan denganku. Entahlah, aku sendiri juga belum kepikiran ke sana. Bagiku, saat Eros menawarkan sebuah hubungan, jalani dulu saja. Akan bagaimana pada akhirnya, aku sama sekali belum memikirkannya.
Begitu tiba di flops bandara, aku langsung sign-on. Kemudian cek kesehatan dan bersiap untuk melakukan briefing di sebuah ruangan. Aku tiba lebih awal dibanding yang lainnya.
Aku sontak menoleh ketika pintu ruangan yang aku tempati kembali terbuka beberapa saat kemudian. Mataku membola ketika melihat sosok pilot yang memasuki ruangan yang aku tempati sekarang. Seseorang yang tak lain adalah lelaki yang aku mimpikan menjelang pagi tadi. Mantan kekasihku, Rayyan. Aku tak mengira jika Kapten Tama yang dimaksud adalah Rayyan. Aku baru ingat nama lengkap lelaki itu, tidak menduga sama sekali jika akan satu penerbangan dengan mantan kekasihku itu.
Bola mata kami sempat beradu dan lelaki itu memutus kontak matanya terlebih dahulu. Tanpa ekspresi, tidak sepertiku yang terkejut.
Dan tak lama kemudian, aku kembali terkejut ketika seseorang kembali masuk ke ruangan ini. Sahabat Rayyan dengan seragam yang sama sepertiku. Aku tertawa miris di dalam hati, kebetulan macam apa ini?
Ternyata Dilla, sahabatnya Rayyan yang sekarang duduk di kursi depanku itu adalah senior flight attendant dalam penerbangan yang sama denganku. Pas awal masuk tadi, dia tampak terkejut juga, namun kemudian tersenyum kepadaku.
Astaga. Akan penerbangan yang selama ini aku nikmati akan baik-baik ketika terbang bersama orang-orang dari masa laluku tersebut?