Part 67

1064 Kata
"Inikah saatnya aku akan mati untuk kedua kalinya?" Se Hwa bertanya dalam hatinya. Tubuhnya melayang jatuh dari ketinggian, lalu terhempas di hantam gelombang laut. "Jadi, inikah akhirnya? Di Seoul aku mati di meja oprasi, di Joseon aku mati tenggelam. Tapi, ini masih lebih baik ketimbang aku mati dimakan ular. Jeong Guk, semoga kelak kau bisa menemukan mayatku di samudra luas ini." Kepala Se Hwa membentur karang terjal, pelipisnya mengucurkan darah, lalu dia tak sadarkan diri dan tenggelam makin dalam hingga ke dasar laut. Tubuhnya tak bisa terangkat ke permukaan karena bajunya tersangkut di karang. Perlahan Se Hwa kian kehilangan napasnya, lalu tubuh itu tak pernah bergerak lagi selamanya. Jung Jiang sangat kesal saat mengetahui wanita yang diincarnya tenggelam di laut. Dia pun terjun dari tebing yang sama, lalu tercebur di lautan yang sama. Dia menelusup ke dasar laut mencoba mencari mayat Se Hwa. Justru jadi kesempatan yang baik baginya bisa menyerap mutiara itu sekarang. Jung Jiang tampak bahagia saat melihat mayat Se Hwa yang terombang-ambing di dasar lautan. Tubuhnya terkunci di karang-karang. Segera Jung Jiang menuju ke sana, tapi baru saja dia akan mendapatkan tubuh itu, sekelebat cahaya menghantam tubuhnya. Jung Jiang menggeram kesal, dia menoleh ke arah serangan itu berasal. Alangkah terkejutnya ular itu ketika melihat raja naga mendekat dengan cepat, lalu bergerak-gerak di sekitaran mayat Se Hwa seakan-akan dia tengah menjaga mayat itu. "Siluman kurang ajar! Siapa yang memberimu hak mengusik apa yang ada di wilayahku?! Pergi dari sini sebelum aku membunuhmu!" Jung Jiang mendengkus kesal. Dia tahu kemampuannya tak sebanding dengan raja naga laut barat. Dengan terpaksa siluman ular itu kembali ke permukaan. Dia gagal mendapatkan apa yang dia mau. Perjuangannya selama ini sangat sia-sia. Raja naga laut barat menatap mayat Se Hwa. "Jadi, sekarang aku harus membawamu kembali, ya. Hah, nenek tua itu sungguh sangat merepotkan." Setelah bicara seperti itu, tubuh Se Hwa pun bercahaya untuk beberapa detik, lalu cahaya itu kembali meredup. Raja naga laut kembali menatap Se Hwa untuk beberapa saat. "Diamlah di sini sampai takdir mempertemukanmu kembali dengan rubah itu. Sekarang kau bisa menjalani kehidupanmu yang dulu. Kau bisa kembali menjadi Airin dan jaga mutiara rubah itu di tubuhmu," kata raja naga, lalu meninggalkan mayat itu. *** Kondisi Airin kembali koma di ruang oprasi. Dokter berusaha mengembalikan kesadarannya. Detak jantungnya terus menurun, memaksa dokter berpacu dengan waktu. Team dokter hampir saja menyerah, tiba-tiba detak jantung dan pernapasannya yang sempat menghilang datang kembali. Dokter Rose melihat perkiraan waktu yang tersisa, dia pun mempercepat oprasinya dan semuanya berhasil tepat waktu. Pendarahan yang dialami Airin berhenti. Napasnya bergerak teratur, begitu juga dengan detak jantungnya yang berdetak normal. "Ini sungguh keajaiban," kata dokter itu saat melepas selop tangannya. Semua teamnya setuju dengan perkataan dokter itu. Pasalnya pasien sudah hampir kehilangan harapan, lalu di detik-detik terakhir, hidupnya kembali. Dokter itu pun keluar menemui orang tua Airin yang menunggu di luar ruang oprasi. Oprasi memakan waktu hampir tujuh jam lamanya. Itu membuat kedua orang tuanya merasa sangat tegang. Ketika dokter keluar dari ruang oprasi, kedua orang tua gadis itu segera mendekat dan menyerangnya dengan pertanyaan. "Bagaimana putri kami?" "Syukurlah oprasinya berjalan lancar. Sekarang kita tinggal menunggu Airin kembali sadar." Dokter tak menceritakan detail yang terjadi di dalam sana. Dia jelas tak mau membuat kedua orang tua itu merasa khawatir. "Kami akan segera mengirim Airin ke ruang observasi, kalian bisa menjaganya di sana." "Baik, Dokter, terima kasih," kata kedua orang itu sambil tak henti-hentinya membungkukkan badan. Dokter Rosa tersenyum, lalu meninggalkan mereka berdua. Kedua orang tua Airin pun merasa sedikit lega. Mereka berdua meninggalkan ruang oprasi, lalu pergi menuju ruang observasi. Ketika sampai di sana, mereka melihat Airin sudah terbaring di ranjangnya. Semua alat-alat, seperti alat pendeteksi detak jantung, infus, dan alat bantu pernapasan masih menempel di tubuhnya. Kedua orang tua Airin benar-benar berharap anaknya bisa segera sadar kembali. Tak berapa lama dokter datang ke sana dan memeriksa perkembangan Airin secara berkala. "Aku rasa, kali ini Airin pasti akan benar-benar sembuh. Kondisinya sudah sangat stabil. Kita tunggu reaksi obat biusnya menghilang." "Baik," kata Cheonsa. Mereka pun kembali duduk di bangku ruang tunggu. *** Airin merasakan sakit pada tubuhnya, sepertinya pengaruh anastesi telah berkurang. Dia mencoba menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya, mencoba merasakan kembali syaraf-syarafnya yang seakan-akan tak berfungsi. "Apa yang terjadi padaku? Apa aku belum mati? Apa ada yang menyelamatkanku dari laut itu?" Airin bergumam dalam hatinya. Dia belum menyadari kalau dirnya sudah bukan Se Hwa lagi. Jari-jari tangan Airin bergerak. Perawat jaga melihatnya. Wanita itu pun segara melapor kepada Dokter Rose yang menjadi dokter penanggung jawab. Dengan segera Dokter Rose mendatangi pasiennya. Kedua orang tua Airin mengira terjadi sesuatu pada putrinya. Segera mereka berdua masuk ke ruang observasi. Cheonsa menutup mulutnya ketika melihat jemari anaknya mulai bergerak-gerak pelan. Dia menangis haru sambil memeluk suaminya. "Anak kita selamat," lirihnya. Sang suami pun memeluknya dengan rasa syukur yang membuncah di dadanya. Dokter Rose berbicara dengan Airin. "Airin, kau bisa mendengarku?" Airin menganguk pelan. "Eomma ... Appa ...." Saking lemahnya, suara Airin bahkan hampir tak terdengar. Tapi, gerakan bibirnya menunjukkan dia tengah memanggil ayah dan ibunya. "Iya, Sayang, iya ... kami di sini," ucap sang ayah. Air mata mengalir jatuh membasahi pipi. "Cepat sembuh, ya, Nak," sambung ibunya. Airin mengangguk. Gadis itu memperhatikan bagaimana dokter memeriksanya. "Jadi, aku kembali ke jamanku, ya." Airin bicara dalam hati. "Lalu, bagaimana dengan Se Hwa dan Seo Yeon. Mutiara rubah? Di mana mutiara itu? Jung Jiang tak berhasil mendapatkannya, kan?" "Sepertinya kondisi pasien sudah baik-baik saja. Kami akan membuka alat pantau detak jantung dan alat bantu pernapasannya. Selamat, ya. Kau berhasil. Perjuanganmu untuk tetap hidup akhirnya berhasil." Dokter Rose tersenyum begitu manis. "Kami akan mengobservasi pasien hingga satu jam lagi, setelah itu barulah pasien akan dipindahkan ke kamarnya," kata dokter kepada orang tua Airin. "Iya, Dok. Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriki." Sekali lagi dokter itu mengangguk, lalu dia permisi dan meninggalkan ruangan. Cheonsa mendekati putrinya, duduk di bangku dekat ranjang. Dia memegang tangan putrinya. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyanya kepada sang buah hati. Airin malah menatap ibunya dengan tatapan yang dipenuhi rasa ingin tahu. "Ibu, di mana ibu bertemu pendeta yang memberikan jimat itu?" Cheonsa dan suaminya saling tatap. "Ibu ... aku harus tahu, Bu. Sebab hanya dia yang bisa membawaku kepada Jeong Guk." "Je ... Jeong Guk ...?" Kedua orang tua Airin makin bingung. Mereka berpikir kalau Airin telah terkena amnesia atau mungkin gangguan otak karena luka-lukanya. Kedua orang tua itupun hanya bisa mengarang cerita untuk membohongi putrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN