Part 60

1551 Kata
Se Hwa dan pangeran duduk bersisihan. Keluarga Jang duduk di hadapan mereka sambil menunduk hormat. Mereka sangat terkejut mengetahui bahwa orang yang mereka tolong ternyata salah satu selir pangeran. "Maafkan kami karena tak mengenali Anda, Yang Mulia," pria paruh baya yang selama ini mengobatinya dengan telaten membungkukkan badan. "Tidak apa-apa, Paman Jang. Anda telah sangat baik karena menolong dan menjagaku selama ini." "Aku pun sangat berterima kasih kepadamu karena kau mau melaporkan di mana istriku berada," kata pangeran menimpali. "Itu sudah jadi ketetapan Tuhan sehingga saya bisa melihat gambar yang Anda sebarkan, Yang Mulia." Setelah mengobrol beberapa saat, pangeran pun mengajak Se Hwa kembali ke istana. Keluarga Jang juga diberikan hadiah yang sepadan sebagai balasan atas bantuan mereka. Sementara itu, pangeran berjanji akan membawa Jang Ge Eum ke istana untuk bisa belajar ilmu pengobatan dari tabib istana hingga kelak bisa menjadi tabib istana yang handal. Keluarga itu sangat senang dengan anugrah yang diberikan pangeran dan selirnya. Tak henti-hentinya mereka berterima kasih. Se Hwa dan pangeran sampai di istana, mereka disambut dengan penuh sukacita. Sesekali Se Hwa menghela napas. Dia merasa lelah dengan apa yang dijalaninya saat ini. Pangeran memerintahkan pendeta untuk mencari hari baik untuk menggelar upacara menyambut kembalinya selir utama. Sementara itu, dia juga memerintahkan tabib untuk memeriksa selirnya, memastikan bahwa Se Hwa memang sudah sehat sepenuhnya. Wanita itu sudah hilang selama sebulan. "Aku sudah sehat, San," kata Se Hwa menolak apa yang diperintahkannya kepada tabib. "Tidak, aku harus tau sendiri kondisimu berdasarkan pemeriksaan tabib istana." Se Hwa memutar bola matanya malas. "Ya sudahlah, terserah kau saja." Pangeran tersenyum melihat tingkah istrinya yang kembali blak-blakan seperti dulu. Se Hwa yang aneh. Nyonya Hwang pun bergegas datang saat mengetahui kabar bahwa anaknya sudah ditemukan dalam keadaan sehat. Wanita itu sangat khawatir, pasalnya dia tahu kalau Se Hwa tengah hamil muda. Dia mengkhawatirkan kehamilannya. Namun, lebih daripada itu, dia memiliki harapan bahwa Se Hwa benar-benar kehilangan janin hasil persetubuhannya dengan rubah itu. Dia ingin Se Hwa mengandung anak pangeran yang kelak akan menjadikannya ibu dari putra mahkota. Tabib memeriksa Se Hwa dengan teliti. Sesekali dia melirik Nyonya Hwang. Sepertinya inilah saatnya dia mengungkapkan tentang kehamilan Se Hwa yang saat ini sudah memasuki bulan kedua. Tabib bisa mengarang cerita mengatakan kalau kehamilan Se Hwa sudah berumur satu bulan. Karena Nyonya Hwang mengizinkannya lewat kode yang dia berikan, tabib itu pun mengangguk pelan tanpa ada yang mengetahuinya. Setelah merapikan alat periksanya, dia memundurkan dirinya, duduk bersimpuh, lalu membungkuk, dan berkata, "Selamat, Yang Mulia. Anda telah dianugrahi langit. Anda telah mengandung, Yang Mulia." "A-apa?" pangeran sedikit terkejut, tapi segera wajahnya berubah bahagia. "Jadi, Se Hwa hamil? Itu benar?" "Benar, Yang Mulia," ucap tabib itu. Se Hwa sedikit terkejut karena tabib tiba-tiba saja mengungkap tentang kehamilannya. Awalnya dia pikir pangeran akan marah dan curiga, tapi kekhawatirannya lenyap saat melihat pangeran begitu bahagia. "Dasar tabib sialan, dia sangat cocok menjadi aktor," desis wanita itu. "Istriku, terima kasih, aku sangat bahagia." Pangeran tiba-tiba memeluk Se Hwa. Dia benar-benar senang. "Hamba rasa, karena langit telah memberkati anak dalam kandungan Yang Mulia makanya Yang Mulia bisa selamat dari maut. Inilah petunjuk langit bahwa anak itu kelak akan menjadi anak yang besar." "Cih," desis Se Hwa. "Mulutnya manis sekali," kata wanita itu dalam hatinya. "Kau benar, Tabib." Pangeran melepaskan pelukannya. "Umumkan ke seluruh kerajaan bahwa Selir Hwang telah hamil." "Masih ada lagi satu kabar gembira yang ingin hamba sampaikan, Yang Mulia." "Katakanlah ...." "Hamba merasakan detak nadi Yang Mulia begitu kuat. Ini bukan kehamilan biasa. Janin di dalam sana sangat sehat dan hamba yakin kalau Yang Mulia hamil anak kembar." Pangeran kembali begitu terkejut. Dia mengambil tangan istrinya. "Kau luar biasa, Sayang. Terima kasihku begitu besar kepadamu. Pantas saja kau begitu bersemangat saat kita menghabiskan malam bersama," kata pangeran lepas kendali membuat mereka yang ada di sana menahan tawa. "Kau gila! Jangan bicara m***m di hadapan orang tuaku," kata Se Hwa kesal sambil menarik tangannya. Pangeran pun tersipu malu. Hadiah yang besar pun diberikan kepada tabib istana. Perayaan ditingkatkan. Selain untuk menyambut kepulangan Se Hwa, juga untuk mengucap syukur atas kehamilan wanita itu. Seharian ini pangeran tak ingin meninggalkan kediaman Se Hwa. Dia terus ada di sana menemani wanita itu, membelai rambutnya dengan lembut sampai wanita itu terlelap. Setelah itu, pangeran memutuskan untuk tidur di sisinya. Saat tengah malam Se Hwa terjaga dari tidurnya. Dia melihat pangeran terlelap di sebelahnya. Napas pria itu terdengar teratur. Se Hwa memperhatikannya dengan saksama. Baru kali ini dia berniat memperhatikan bagaimana pria itu. "Apa yang kau harapkan dariku?" Se Hwa bergumam pelan. Tangannya terulur mencoba menyentuh wajah pria itu. "Kau tampan dan berwibawa, kau memiliki segalanya, harusnya kau tak mengharapkanku secara berlebihan agar kau tak kecewa." Se Hwa menggerakkan jarinya beberapa senti dari hidung pria itu, bergerak pelan di sepanjang garis hidungnya. "Ketahuilah, aku tak ingin mengkhianati kekasihku. Kenapa kau malah menjadikanku istrimu? Sekarang, jika aku tidur denganmu seperti ini apakah itu artinya aku berdosa kepada kekasihku? Apa itu artinya aku mengkhianatinya?" Se Hwa kembali diam. Dia masih menatap wajah pria itu. "San, ketahuilah satu hal, bahwa dalam sejarah Joseon tak pernah tercatat seorang permaisuri bernama Hwang Se Hwa. Itu menandakan bahwa hubungan ini tidak akan abadi, San. Jadi, belajarlah untuk tidak mencintaiku secara berlebihan atau kau akan hidup sangat menderita." Se Hwa mengakhiri kata-katanya. Kemudian dia bangkit menjauhi pangeran. Karena sedikit gerah, dia memutuskan untuk pergi ke arah jendela. Dia membuka jendela itu agar udara malam bisa masuk ke dalam kamarnya. Purnama bersinar terang. Kerlip bintang-bintang pun tampak begitu indah. Se Hwa kembali merindukan dirinya ketika menjadi Airin. Di rumahnya, dari balkon dia biasa melihat cahaya rembulan dan bintang-bintang ketika bersinar terang seperti sekarang. Lalu, malam naas itu adalah malam ketika hujan lebat dan terjadi gerhana bulan. Se Hwa menghela napas mengingat semua itu. "Sepertinya takdir kematianku memang sudah ditentukan pada hari itu," gumamnya. "Apa yang kau pikirkan? Kenapa berdiri di sini?" Se Hwa terkejut ketika merasakan seseorang memeluknya dari belakang. "Jeong Guk," gumamnya pelan. Saking pelannya bahkan pangeran tak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Wanita itu pun menggelang. "Tak ada hal yang istimewa, Pangeran, aku hanya merasa sedikit lelah." "Lelah?" San merapatkan pelukannya. "Iya. Seperti yang kau lihat, beberapa bulan ini ada begitu banyak kejadian yang hampir merenggut nyawaku." Pangeran mendengarkan penuturan istrinya. Dia mencoba memahami letih yang dirasakan wanitanya. Namun, memang begitulah resikonya hidup di istana apalagi sekarang dia tengah mengandung anak sang pangeran, maka keadaan akan jadi lebih rumit lagi. Persaingan antar selir dan juga permaisuri akan membuatnya makin berada di ujung tanduk. Bahaya akan mengincarnya setiap waktu, tapi pangeran berjanji dalam hatinya bahwa dia tak akan pernah membiarkan wanita yang dicintainya itu terluka. "Aku mengerti." Pangeran masih memeluk erat istrinya. "Tapi, percayalah aku akan melindungimu dengan segenap jiwaku." San mebalik badan istrinya dan menatapnya lembut. Dia merapikan anak rambut wanita itu. "Maafkan aku jika selama ini tak bisa menjagamu dengan baik, tapi kedepannya itu tak akan terjadi lagi." Se Hwa pun tersenyum. "Terima kasih. Ayo, kita tidur," ucapnya mencoba menghindari percakapan lebih lama lagi. Dia tak ingin hal-hal yang lebih jauh terjadi di antara mereka berdua. Dia selalu ingin menghindari persetubuhan dengan suaminya. Namun, kali ini dia tak bisa menghindar. Pangeran menarik tangannya hingga dia tak bisa menjauh, lalu dengan cepat pria itu menyambar bibir Se Hwa. Se Hwa terperanjat, tapi dia tak bisa mengelak. Akan sangat mencurigakan jika sekarang dia menolak pria itu. Se Hwa pun pasrah. Dia memejamkan mata mencoba mengimbangi ciuman pria itu. San menggiring Se Hwa mendekati tempat tidur. Dengan lembut dia membawa Se Hwa ke pembaringan hingga keduanya kini telah ada di sana. San kembali mencumbu istrinya, melepaskan semua pakaiannya. Dia juga melepaskan pakaiannya sendiri. Dalam hati Se Hwa terus menerus meminta maaf kepada Jeong Guk mengenai apa yang terjadi saat ini. Pada akhirnya dia memang tak bisa menghindar dari kewajibannya sebagai istri. Dia harus melayani suaminya, suka ataupun tidak. Malam itu, Se Hwa berusaha menikmati dan memberikan pelayanan terbaiknya sebai seorang istri. Meski hatinya terus menangis dan menjerit memanggil Jeong Guk, tapi dia berusaha menerima kekalahannya. Pengeran melakukan serangannya dengan hati-hati agar kehamilan wanita itu tak bermasalah. Tadi tabib sempat berpesan agar dia berhati-hati jika ingin melakukan hubungan badan karena awal-awal kehamilan sangat rentan dengan hal itu. Namun, tetap saja pangeran tak bisa menahan libidonya. Apalagi ketika dilihatnya d**a sang istri makin mencuat dan padat berisi. Pangeran mengerang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Se Hwa seakan-akan menjepitnya. Dia mengerang sebelum permainan mereka tuntas, lalu keduanya terkapar kelelahan. San memeluk istrinya seraya menjatuhkan kecupan hangat di kening wanita itu. "Kau yang terbaik, Sayang. Saat upacara nanti aku akan mengumumkan posisimu sebagai selir utama dan calon permaisuri menggantikan permaisuri yang sekarang. Begitu anakmu lahir, dia akan langsung dinobatkan sebagai calon putra mahkota dan kau akan jadi permaisuriku. Ibu dari putra mahkota." "Bagaimana kalau anak ini seorang wanita? Sebaiknya jangan terburu-buru. Aku tak mau hal buruk terus terjadi. Biarkan semuanya tenang dulu, setidaknya sampai anak ini lahir nanti." San terdiam sesaat, lalu mengusap lembut rambut istrinya. "Baiklah, apa pun yang kau katakan, Sayang. Aku akan mengikutinya." Se Hwa tersenyum. "Aku hanya butuh waktu sampai semua kejahatan di kerajaan ini terungkap, Pangeran. Selain itu, aku juga harus membunuh permaisuri. Karena keberadaannya sangat mengancam kehidupanku. Dia menginginkan mutiara rubah yang ada dalam tubuhku," kata Se Hwa dalam hatinya. "Maafkan aku, setelah semuanya terwujud, aku harus pergi meninggalkanmu. Aku akan kembali ke gunung rubah dan membesarkan anak-anakku di sana."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN