“Sudah kubilang pakaikan kalung pemberian pendeta itu padanya, tapi kau malah mengabaikannya. Sekarang katakan di mana benda itu? Biar ibu yang mencari jimat itu.” Wanita tua bermarga Han itu mondar-mandir kebingungan. Kemarin pendeta Tao itu telah menceritakan banyak hal yang membuatnya tal bisa tenang. Namun, ketika ia menceritakan semuanya pada Han So Rie, anaknya malah membantah dan mengatakan kalau pendeta itu pendeta gadungan. Sungguh ungkapan yang sangat tercela. Sekarang wanita itu pun sangat mengkhawatirkan cucu pertamanya.
Han So Rie yang sudah tenang hanya menghela napas. “Sudahlah ibu, aku hanya kelelahan dan terbawa halusinasi karena cerita ibu tadi.” Pria itu mendekati istri dan anaknya, mengusap lebut anak itu yang sudah kembali terlelap setelah ibunya berhasil menenangkan diri dari tangisnya tadi.
Seusai memastikan semua baik-baik saja, Han So Rie pun mendekati ibunya. “Ibu, jangan pikirkan apa pun lagi, ibu juga jangan terlalu lelah. Ayo sekarang aku antar pulang.”
“Tidak usah, So Rie. Ibu akan tetap di sini malam ini. Ibu akan menjaga cucu dan menantu ibu. Sebaiknya kau saja yang pulang.”
Han So Rie kembali menghela napas. Orang tuanya sungguh keras kepala. Pria itu pun memutuskan untuk membiarkan ibunya ada di sana. Begitu juga dengan dirinya. Han So Rie terus memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, semakin mengingat hal itu ia semakin bergidik ngeri. Sorot mata merah itu seakan menghancurkan dirinya menjadi serpihan. Cemas dan takut, tapi ia juga menolak semua yang dikatakan oleh ibunya. Baginya apa yang disampaikan sang ibu hanya takhyul semata.
Gumiho hanya makhluk mitos yang ada dalam dongeng anak. Ia mencoba meyakinkan dirinya kalau itu hanya khayalan karena kelelahan. Pada akhirnya Han So Rie yang tak ingin memejamkan mata pun terlelap dalam tidurnya.
Sementara di sisi lain Han Ceonsa masih sangat kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Antara percaya dan tidak, ia pun jadi sangat ingin bertemu dengan pendeta Tao yang dimaksud. Namun, meminta hal itu pada Han So Rie jelas bukan hal benar, dan Han So Rie sudah pasti akan menolak permintaannya, hingga akhirnya ia hanya memilih diam. Han Ceonsa pun memilih untuk menidurkan dirinya, lagipula dirinya juga masih sangat lelah.
***
Malam berlalu dengan tenang. Semua keluarga Han terlelap di alam mimpi, termasuk juga Han So Rie yang sesaat lalu telah melupakan apa yang dilihatnya. Tanpa terasa waktu pun telah berubah pagi. Han So Rie masih terlelap ketika beberapa orang perawat jaga telah masuk untuk membersihkan putri mereka, juga untuk memeriksa keadaan ibunya, sebelum nanti pihak dokter memastikan tak ada masalah yang terjadi pasca operasi semalam.
Terkesiap dengan jerit tangis Han Airin, So Rie pun terlonjak dari tempat tidurnya. Tindakannya sontak membuat ibu dan istrinya terkejut. Juga dua suster yang ada di sana. “Ada apa? Kenapa Airin menangis?” tanyanya seperti orang linglung. Ia bahkan langsung bangkit dari tidurnya hingga tubuhnya sedikit terhuyung karena nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya.
“Dia hanya menangis karena ingin menyusu. Kau kenapa? Aneh sekali,” sungut ibunya, sambil melanjutkan mengusap lembut kepala bayi mungil dalam gendongannya. Han Airin telah sangat cantik setelah dimandikan.
So Rie menghela napas lega. Meski menganggap apa yang dilihatnya semalam hanya khayalan tetap saja ia terjebak dalam ketakutan. Karena sang ibu mengatakan tak ada masalah, dirinya pun memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi. “Saat bulan purnama tertelan iblis dan hujan badai petir menyentuh bumi, saat itulah anakmu akan menghilang.”
“Tidak!” jerit So Rie menolak semua gaung di indra pendengarannya. Ia menampar wajah dan matanya dengan air. Mencoba menyadarkan diri. Berasa cukup lama melakukannya, akhirnya ia memutuskan keluar untuk menemui istrinya. Wanita itu kini sendiri, sedang bayi mereka tengah terlelap di box bayi. Han So Rie melangkah mendekati putrinya yang masih terlelap.
“Ibu mana?”
“Sudah pulang. Bagaimanapun ibu harus istirahat. Aku takut ibu sakit karena terus bersikeras untuk menungguiku di sini,” sahut istrinya.
“Kau benar. Lalu ayah dan ibumu apa mereka jadi datang?”
Han Ceonsa menggeleng lemah. “Katanya badai kemarin memporak porandakan Daegu, jadi mereka harus membereskan kekacauan di sana.”
Menganguk mengerti, So Rie pun mendudukkan diri di samping istrinya. Menarik kepala wanita itu mencium keningnya dengan hangat. “Semua akan baik-baik saja. Tenangkan dirimu. Apa kau sudah makan? Kalau belum akan kubelikan makanan yang kau sukai.”
“Tadi pihak rumah sakit sudah memberiku makan, suamiku. Jadi jangan khawatirkan aku. Kau sekarang harus keluar untuk mengisi perutmu sendiri.”
“Kau benar, aku lapar sekali.” So Rie beranjak dari tempat duduknya. “Aku tidurkan Airin di sisimu, ya. Agar kau bisa menjaganya.”
“Tidak masalah, biarkan saja di sana, kau cukup sampaikan pada suster jaga untuk sesekali menjenguk kami.”
“Akan kulakukan, tapi tetap saja Airin tak boleh jauh darimu.” Kecemasan yang terus melanda Han So Rie membuatnya terkesan sangat protektif pada anaknya yang baru sehari menyapa dunia.
“Aku mungkin akan terlelap dan tanpa sengaja menindihnya jika dia ada di sini.”
“Kenapa kau keras kepala sekali?! Aku bilang jaga di sini, ya, di sini.”
“Ka-kau kenapa?” tanya Ceonsa berjengit kaget karena teriakan suaminya.
Han So Rie mengusap wajahnya kasar. “Maaf sepertinya aku kelelahan dan sedikit lapar, jadi tak sengaja membentakmu. Maaf,” ucapnya penuh sesal. “Ya sudah, sebaiknya aku pergi makan.”
Sejuta tanya masih menggelayut dalam pikirannya. Rasanya ingin menelan ludah sendiri dan menemui pendeta Tao yang kemarin. Namun, di mana tempat pendeta itu ia tak mengetahuinya. Dengan pikiran mengelana entah ke mana So Rie mendudukkan dirinya di dalam cafeteria rumah sakit. Memesan seporsi jjajangmeyon untuk mengganjal perut.
“Malam kemarin benar-benar mengerikan. Rasanya seperti dunia akan kiamat.’
Seorang pelanggan yang lain berbicara mengusik atensi So Rie. Namun, karena merasa itu bukan urusannya, ia memilih mengabaikan.
“Aku pernah membaca dalam sejarah kuno kalau seribu tahun setelah pembantaian di Tuman maka seekor siluman akan terlahir kembali dengan dendam yang ia bawa selama seribu tahun lamanya.”
“Maksudmu, masyarakat pengabdi siluman di Sungai Tuman saat itu akan bangkit dan membalas dendam pada kelahiran orang-orang yang membasminya saat itu?”
“Sepertinya begitu. Mungkin saja semalam salah satu siluman rubah berekor sembilan yang terkuat telah lahir untuk menuntut balas.”
So Rie tanpa sadar menelan ludah mendengar percakapan dua pria di belakangnya. Siapapun tahu tentang kelamnya sejarah Korea di masa Goreyo saat itu. Raja Taejo telah memerintahkan pasukannya untuk membasmi masyarakat tak berdosa di pinggiran sungai Tuman dengan dalil mereka itu sebagai pemuja dan pengikut siluman. Sekilas menoleh, So Rie merasa salah satu dari mereka hanya pustakawan yang suka terjebak dalam cerita dongeng. Menilik dari seragam yang dikenakannya, dia pasti bekerja di perpustakaan daerah, dan sepertinya dia sangat bangga dengan semua itu.
“Jadi kau membaca itu dari buku sejarah di perpustakaan?”
“Iya, tentu saja. Bahkan dulu katanya di perpustakaan daerah ada lukisan kuno tentang siluman rubah yang dulu pernah menjaga Sungai Tuman. Siluman rubah yang mengorbankan dirinya demi warga desa tapi malah difitnah dan dipersalahkan, hingga akhirnya penduduk yang dilindunginya turut menanggung akibatnya dan dibasmi di tempat yang sama.”
“Tapi bagaimana jika ceritamu itu hanya karangan belaka. Lukisan itu juga sudah tak ada lagi di sana. Aku tak pernah sekalipun melihatnya.”
“Tentu saja kau tak akan melihatnya, Sang Li. Lukisan itu telah dicuri sejak berpuluh-puluh tahun silam dan tak pernah ada yang bisa menemukan jejaknya.”
“Wah sayang sekali.”
Semakin lama mendengar obrolan itu, So Rie merasa semakin tidak tenang. Ia pun memilih meneyudahi acara makannya. Segera melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Namun, entah apa yang membawamya datang ke tempat pembuangan sampah kemarin. So Rie berdiri di sana dalam diam. Tentu saja sampah kemarin sudah diangkut petugas. Ia menghela napas entah karena apa.
Sadar akan kegilaannya, So Rie pun meninggalkan tempat sampah itu dengan cepat. Mulai merutuki dirinya karena membiarkan dirinya terjebak omong kosong dua orang yang tadi ada di cafeteria. Tak berapa lama So Rie sudah ada di dalam kamar rawat istrinya. Ia tersenyum lega karena istri dan anaknya ada di sana, dan tak terjadi apa pun pada mereka.
So Rie mendekat lalu mencium kening istrinya. Refleks Ceonsa memejamkan mata. “Kenapa lama sekali?” tanya Ceonsa lembut.
“Tadi cafeteria cukup ramai jadi aku harus menunggu untuk bisa mendapatkan makananku. Apa ada hal yang aku lewatkan?”
So Rie mendekati putrinya. “Sayang,” panggilnya. Ketika netranya menatap sebuah kalung dari benang hitam terpasang di leher Airin. Ia menoleh pada istrinya, dengan raut penuh tanya. “Ceonsa, di mana kau dapat kalung ini.” So Rie menunjukkan benda itu.
“Tadi seorang pendeta Tao datang kemari dan mendoakan putri kita. Lalu memberinya jimat itu. Pendeta itu sangat baik.”
“Pendeta,” gumam So Rie. “Jangan percaya hal-hal bodoh seperti ini.” So Rie yang kesal segera membuka kalung dari benang hitam dengan liontinnya yang terbungkus lilitan benang yang sama. So Rie tak tahu apa benda apa yang ada dalam lilitan benang itu hingga liontin itu jadi cukup tebal. Yang pasti saat ini ia hanya ingin membuang benda sialan itu.
“Kenapa kau membukanya, So Rie?” Ceonsa berjengit saat melihat suaminya mengeluarkan gunting dan memotong benda yang menjadi momok menakutkan baginya.
“Anakku bukan siluman, anakku itu manuia normal seperti kita.” So Rie memotong benda yang dianggapnya membawa petaka itu hingga jadi serpihan-serpihan kecil.
“Tapi, So Rie ….”
“Sudah jangan berdebat lagi. Ini hanya pembawa petaka dan jangan dengarkan orang-orang bodoh yang hanya suka berhalusinasi.”
“Tapi jimat itu bukan karena Airin itu seekor siluman. Lagipula siapa yang mengatakan kalau Airin siluman. Kau dapat kata-kata itu dimana? Kau salah sangka, So Rie. Jimat itu justru untuk melindungi anak kita jadi serangan siluman rubah itu. Karena anak kitalah yang bisa mengalahkannya. Tapi untuk itu kita harus melindunginya hingga umurnya cukup atau Airin akan lenyap dari sejak bayi.”
So Rie menggeleng lelah. “Sudah kukatakan jangan percaya takhyul dan jangan pakaikan apa pun pada putriku,” tegasnya tanpa tahu hal buruk yang sedang menanti putri pertamanya itu.