Part 36

1031 Kata
Untuk mengenang jasa-jasa dari keluarga Hwang, akhirnya Raja memberikan anugrah lain kepada Se Hwa. Wanita itu diangkat kembali menjadi panglima tertinggi, lalu diberikan perintah langsung oleh sang Raja untuk membasmi desa di dekat sungai Tuman. Desa yang dihuni oleh bebagai siluman. Terutama siluman rubah yang menyerang kediaman Hwang dua minggu lalu. Se Hwa memimpin pasukan terbaiknya bergerak menuju desa itu. Dia tak peduli lagi entah yang tinggal di sana itu siluman atau manusia, yang harus dia lakukan sekarang adalah membasmi desa itu dan membunuh semua penduduknya. Desa itu adalah desa yang sangat dicintai oleh Jeong Guk. Dendam telah membutkan nurani Hwang Se Hwa. Itulah kenapa hatinya enggan untuk bersimpati ketika mendengar jerit tangis anak-anak yang tertancap pedang, anak panah, bahkan ujung tombak prajurit. Semua harus dibasmi seolah-olah mereka adalah virus yang menjijikkan dan harus dilenyapkan. Perlawanan yang diberikan penduduk desa itu jelas tak berarti apa-apa hingga dalam waktu singkat hampir seluruh desa itu terlalap api. Se Hwa sudah menduganya bahwa desa ini kelemahan sang rubah. Itulah kenapa ketika desa itu terbakar, siluman rubah itu pasti datang. Tak berapa lama, Se Hwa benar-benar melihat pria itu bertarung dengan prajurit kerjaan. Se Hwa tersenyum puas. Inilah saatnya dia membunuh siluman itu. Mata dibalas dengan mata, nyawa dibalas nyawa. Dendam dalam hati harus terbalaskan meski dia harus kehilangan nyawa. Senang rasa hati wanita itu melihat Jeong Guk begitu marah mengetahui pembantaian besar-besaran di desa itu. Inilah pembalasan dendam yang sempurna. "Jeong Guk, lama tak bertemu, bagaimana kabarmu tanpa mutiara rubah itu?" Se Hwa tersenyum sinis. Jeong Guk menoleh. Tubuhnya membeku ketika melihat Se Hwa berdiri dengan pedang terhunus. Meski Se Hwa pernah menghujaninya dengan anak panah, dia tetap saja merindukan wanita itu. Cinta seakan-akan membuatnya rela mati di tangan kekasihnya. Pengkhianatan Se Hwa tak ada artinya. Selama dia bisa melihat wanitanya, rasanya Jeong Guk rela melakukan apa saja. "Bagaimana? Apa ini sepadan dengan apa yang kau lakukan di rumahku, Jeong Guk?" "Aku hanya membela diri, Se Hwa. Lalu, mereka semua tak bersalah. Urusanmu hanya denganku, jadi harusnya kau tak melukai mereka." "Apa orang-orang di rumahku kau anggap pendosa hingga dengan tanpa belas kasihan kau membinasakan mereka semua? Apa salah ayahku kepadamu, Siluman?!" Se Hwa berteriak marah, lalu menyerang Jeong Guk. Pria itu menghindar. Dia masih tak ingin melakukan perlawanan apa pun. "Se Hwa, bukankah kau yang lebih dulu mengkhianatiku? Kau membawa lari mutiaraku, meski sudah kujelaskan berulang kali kalau mutiara itu sangat berharga untukku, mutiara itu ibarat jiwaku." "Kurasa kau memang pantas untuk dikhianati," kata Se Hwa. "Kau tetap saja siluman yang tak punya belas kasih. Dengar, Jeong Guk, tak hanya mutiara ini yang aku rampas darimu, aku juga akan merampas nyawamu." Jeong Guk sangat kecewa dengan perkataan kekasihnya itu. Dia tak mengerti kenapa Se Hwa bisa begitu membencinya. Wanita itu tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan apa pun. Di sela-sela pertarungan itu, Jeong Guk masih mencoba untuk mengajak wanita itu bicara.m, tapi semua sia-sia. Serangan-serangan Se Hwa kian menggila. Pedang perak berkilauan itu menyasar titik-titik vital Jeong Guk. Makin lama Jeong Guk makin terdesak. Tangannya dan berberapa bagian tubuhnya yang lain sudah berulangkali terkena sabetan pedang. Dia tak mengeluh. Ketika pedang itu mengarah ke jantungnya, Jeong Guk memejamkan mata. Tinggal sejengkal lagi pedang itu akan menembus d**a pria itu, tiba-tiba sebuah benda mengenai pedang Se Hwa hingga pedang itu terlepas, lalu sebuah jarum kecil melesat entah dari mana dan mengenai leher Hwang Se Hwa. Wanita itu tumbang dalam dekapan Jeong Guk. Ini jadi kesempatan emas bagi Jeong Guk untuk mengambil kembali mutiaranya, tapi saat dia akan melakukannya, sebuah mantra ajaib seakan menarik dirinya. Jeong Guk menoleh ke arah kanan. Pendeta Tao Tze Tan tampak berdiri beberapa meter darinya. Pria itu berkomat-kamit membaca mantra sambil memegang selembar kain sebagai alas lukisan pada jaman itu. Sebuah alas lukisan yang masih kosong. Jeong Guk menatap kecewa kepada gurunya. Ternyata sang guru pun bersekongkol untuk menjatuhkannya. Tarikan mantra itu begitu kuat. Jeong Guk tak bisa melawan. Tubuh Se Hwa terlepas dan jatuh ke tanah. Pria itu ingin menolongnya, tapi tubuhnya sendirit terus bergerak di luar kendali bagai tersedot dalam pusaran air dan tidak bisa keluar. Jeong Guk masuk ke dalam alat lukis itu, kemudian lukisan hutan dan seekor rubah muncul di sana. Pendeta mengucap mantra untuk mengunci segelnya. Jeong Guk pun tersegel di sana untuk selamanya. Pendeta Tao menggulung lukisannya, lalu melangkah mendekati Se Hwa. "Kau, jagalah baik-baik apa yang dititipkan Jeong Guk kepadamu. Kelak, jika tiba saatnya nanti, dia akan datang untuk menagihnya kembali." Pendeta itu pun meniupkan udara ke wajah Se Hwa. Setelah itu, Pendeta Tao Tze Tan pergi dari sana. Tubuhnya menghilang begitu saja. Se Hwa perlahan sadar diri. Dia mengerjap pelan, lalu melihat ke sekeliling. Lehernya terasa kaku dan sakit sekali. Dia pun meraba-rabanya sejenak. "Sialan! Siapa yang menyerangku dari belakang?" Wanita itu bergumam. Dia mengambil pedangnya yang jatuh, lalu mulai mencari-cari keberadaan Jeong Guk dan orang yang menyerangnya tadi. Jika mereka ketemu, Se Hwa pasti akan membunuhnya. Namun, sampai desa itu benar-benar habis terlalap api dan menyisakan abu serta bau-bau jenazah yang gosong, Se Hwa tetap tak menemukan mereka sama sekali. Seorang pria mendekati Se Hwa yang masih menatap kesal ke arah desa itu. "Se Hwa," panggilnya. "Kurasa sudah saatnya kita kembali." "Tapi, siluman itu?" "Meski kau memiliki mutiara rubah, kurasa akan sulit bagimu untuk membunuhnya. Karena itulah, Pendeta Tao datang untuk mengurungnya agar siluman itu tak berbuat onar lagi." "Maksudmu, Min Ju. Pendeta Tao Tze Tan terlibat dalam misi ini?" "Tidak, kurasa dia datang atas kehendaknya sendiri. Mungkin dia merasa, sudah saatnya siluman itu diamankan. Tak ada yang bisa menebak pikiran pendeta itu." Sesaat Se Hwa terdiam, lalu dia bertanya kembali. "Lalu, di mana Pendeta mengurung Jeong Guk?" "Sepertinya pendeta itu mengurung Jeong Guk dalam sebuah lukisan. Karena, mengurung siluman memang butuh sarana dan mantra-mantra khusus." Min Ju mengambil alih pedang dari tangan Se Hwa, lalu memasukkannya ke wadahnya. "Ayo, kita tinggalkan tempat ini dan kembali ke istana. Katakan saja apa yang terjadi, maka Raja tak akan mempermasalahkan apa pun. Raja sangat tau sepak terjang Pendeta Tao." Se Hwa mengangguk. Meski penasaran tentang ke mana lukisan itu dibawa, Se Hwa tetap mengikuti rekannya dan pergi meninggalkan desa yang telah menjadi abu itu. Dia akan mencari tahu soal lukisan itu di lain waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN