Part 65

1100 Kata
Berhari-hari Se Hwa menempuh perjalanan. Dia selalu menghindari keramaian agar tak ada yang mengenalinya. Di hari ke delapan, akhirnya dia bisa melihat gunung rubah yang menjulang tinggi di depannya. Niatnya kembali ke sana bukan lagi untuk menetap. Dia hanya ingin menyimpan buku yang dia tulis setiap hari untuk Jeong Guk. Kelak, jika pria itu kembali, Se Hwa berharap Jeong Guk tahu kalau dia tengah hamil. Se Hwa tak tahu entah kedua anaknya nanti akan berumur panjang seperti ayahnya atau akan berumur seperti manuia pada umumnya. Wanita itu hanya ingin, kelak bagaimanapun keadaannya, berapa ratus tahun pun mereka berpisah, Jeong Guk bisa menemukan kedua anaknya dan mau memaafkam kesalahan Se Hwa selama ini. Melihat gunung rubah sudah sedekat itu, Se Hwa jadi lebih bersemangat. Dia melakukan pendakian dengan sisa-sisa tenaganya. Mutiara rubah ada pada dirinya. Itu akan memberinya kekuatan. Selama ini mutiara rubah dan janin rubah itulah yang menjaganya untuk tetap hidup. Dia hanya butuh waktu setengah hari untuk bisa mencapai puncak rubah. Jadi, meski begitu letih, dia merasa tenaganya kembali pulih dan dia akan mencapai puncak rubah sesegera mungkin. Tepat ketika tengah malam tiba, Se Hwa benar-benar sampai di puncak gunung rubah. Dia mengempaskan tubuhnya di atas lantai kayu. Rasanya untuk bangkit dan beranjak ke tempat tidurnya yang dulu, dia pun sudah tak punya tenaga. Dibiarkannya tubuh lelah itu tergeletak di sana. Matanya yang semula terbuka menatap kerlip bintang pun lama-lama tertutup karena kelelahan. Dia terlelap seperti bayi, aliran napasnya begerak teratur. *** Raja telah menitahkan untuk membunuh sekertaris Kim dan San sebagai hukuman. Selain mereka berdua juga ada beberapa orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Menghilangkan nyawa So Hyun dan menjadikan rakyat sebagai korban hanya untuk menyebarkan berita ketidakbecusan raja dalam mengurus kerasaan membuat raja benar-benar marah. Raja merasa dikhianati oleh putranya sendiri. Namun, sayang sekali perintah raja membuat sekertaris Kim kesal dan murka. "Harusnya tua bangka itu mati saja!" Dia menjerit di dalam sel tahanannya. "Sudahlah, Paman." San bicara lelah. Dia sudah pasrah. Rasa kehilangan bahkan lebih memperparah keadaannya. Yang selalu dia pikirkan saat ini hanyalah Se Hwa. Harapannya sebelum mati hanya satu, dia ingin melihat Se Hwa dan meminta maaf kepadanya. "Sudahlah! Kau pikir aku akan menerima penghinaan ini?!" Sekertaris Kim menatap keponakannya dari balik jeruji. Sel tahanan mereka dipisahkan. "Kau bisa saja berkats sudahlah karena kau sudah jatuh cinta kepada wanita rubah itu, tapi aku ... tidak! Aku tak akan pernah membiarkan diriku mati sebelum aku bisa membunuhnya." Pangeran bangkit dari duduknya. Dia yang awalnya pasrah tiba-tiba saja menatap sang paman dengan amarah yang memuncak. "Kau! Aku sudah ikuti semua rencanamu dan aku tak pernah protes dengan jalan kejahatan mana yang kau tunjukkan kepasaku, tapi ... tidak untuk Se Hwa. Berani saja kau menyentuhnya, maka bersiaplah untuk mati!" Tawa sekertaris Kim menggelegar. "Kau apa? Kau ingin membunuhku? Yang ada kaulah santapan pembuka untukku." Setelah bicara seperti itu, sekertaris Kim berkomat-kamit seakan-akan tengah membaca mantra. San menatapnya penasaran dengan apa yang dia ucapkan dan apa yang akan terjadi. Tak berapa lama, suara desis ular terdengar dari arah dinding di belakang San. Pria itu menoleh ke sana, tapi tak menemukan apa-apa. Itu jelas suara ular, tapi San tak bisa melihatnya. San memundurkan langkah, dia menatap ke sekeliling dengan waspada. Suara desis ular kembali terdengar, lalu sesosok ular muncul di dekat sekertaria Kim. Ular yang awalnya kecil, perlahan membesar dan terus membesar, lalu berubah wujud menjadi setengah manusia. "Jung Jiang! Kurang ajar, selama ini kau memanfaatkanku! Kau sengaja, kan mengadu domba aku dengan Jeong Guk?! Sengaja memunculkan kesalahpahaman antara aku dan Se Hwa!" Jung Jiang tertawa, begitu juga sekertaris Kim. "Jika bukan karena kebodohanmu, bagaimana bisa aku memisahkan Jeong Guk dan Se Hwa. Kalian bertiga sama-sama bodoh. Rasa kepercayaan kalian sangat tipis, karena itulah kalian sangat mudah dihasut." "Kurang ajar!" "Berteriak saja! Marah saja! Karena kau tak akan bisa melakukannya setelah kau mati!" "Paman ... bagaimana bisa paman jadi sejahat ini? Paman!" "Bodoh! Aku hanya ingin hidup abadi, dan Jung Jiang memberikan hal itu kepadaku." Sekertaris Kim menoleh kepada Jung Jiang. "Sudahlah, jangan menunda lagi. Aku menginginkannya, lalu kita pergi dari sini. Wanita itu pasti sudah kembali ke gunung rubah." "Tidak! Jangan sakiti dia!" Pangeran sangat frustasi. Dia terus berteriak marah, tapi keadaannya tak berdaya. Dia menyesal, tapi sesalnya sudah terlambat dan tak ada gunanya. Ular itu kembali mengecil, lalu menyusup di sela-sela jeruji. Di hadapan San, dia kembali mengambil wujud setengah manusia, lalu menyerang San. Pangeran berusaha bertahan, dia mencoba melindungi dirinya, tapi gagal. Ular itu membelitnya, memaksa jiwa San keluar dari raga. Sementara di sel yang lain, sekertaris Kim terus tertawa. Baginya, San selama ini hanya boneka. Dia ingin San menjadi raja agar dirinya bisa mengendalikan keponakannya. Keributan di dalam sana sontak membuat prajurit yang berjaga di luar terusik. Mereka pun masuk ke penjars bawah tanah itu untuk memperingatkan agar kedua tahanannya berhenti membuat keributan. Tapi, alangkah terkejutnya dua prajurit itu saat melihat ular besar sedang berusaha keras menelan tubuh pangeran. Satu prajurit lari mencari bantuan, satu lagi langsung mencoba menolong. Sekertaris Kim menertawakan prajurit itu karena kini prajurit itu pun menjadi bulan-bulanan si ular. "Bawa kemari teman-teman. Bawa lebih banyak lagi!" teriak sekertaris Kim sambil tertawa. "Lebih banyak nyawa, hidupku akan lebih lama. Ayo, bawa kemari semua temanmu!" Nyawa pangeran lepas dari raganya, menjadi setitik cahaya seperti mutiara. Cahaya itu pun bergerak ke arah sekertaris Kim, lalu berubah jadi bola kecil putih dan langsung jatuh di telapak tangan sekertaris itu. Hal yang sama juga terjadi kepada prajurit itu. Sekertaris Kim mendapat dua buah bola arwah. Dia langsung menyimpannya di balik bajunya. "Ayo, kita pergi dari sini," kata sekertaris itu. Meladeni prajurit yang mulai berdatangan bukanlah tujuannya. Dia harus ke gunung rubah untuk mendapatkan Se Hwa. Ular bersar itu mengibaskan ekornya. Penjara bawah tanah bergetar hebat, sel yang menahan sekertaris Kim hancur seketika. Pria itu pun menaiki tubuh si ular yang kemudian melata menuju pintu keluar. Prajurit yang mencoba mencegahnya pergi pun bergelimpangan. Tak ada yang selamat. Ular itu terus melanju seakan-akan tubuhnya kebal dengan senjata. Jerit ketakutan dan jerit kematian terdengar dia sana-sini. Min Ju datang dengan menunggang kuda, dia baru saja mendengar berita penyerangan siluman ular itu, tapi semuanya terlambat. Ketika dia datang ke sana, ular itu telah pergi, masuk ke dalam hutan. Min Ju terpaku menatap mayat-mayat yang bergelimpangan. Dia memeriksa ke penjara bawah tanah dan tak menemukan siapa-siapa di sana. Salah satu prajurit yang terluka parah mencoba untuk meraih Min Ju. "Ada apa?" tanya Min Ju sambil memegangi prajurit itu. Napas prajurit itu tersengal-sengal. "Pa-pangeran-ula-ular itu me-makan-pa-nge-ran. Kau ... kau ha-harus. Membu-nuh-nya. Da-n sek-ertar-is Kim." Min Ju terdiam. Prajurit itu mati setelah mengutarakan apa yang dilihatnya. "Bagaimana caraku membunuhnya?" Pria itu bergumam bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN