Jeong Guk sedang berlatih di padang rumput ketika Se Hwa datang sambil menggigit apel merah. Sesaat gadis itu terdiam. Barulah melangkah menuju bebatuan di bawah pohon sakura. Dia menonton Jeong Guk yang memainkan jurus-jurusnya.
Seekor burung kecil bertengger di dahan. Cicitnya yang lucu membuat Se Hwa menoleh. Baru di sadari telah ada dua burung cantik di sana. Se Hwa melambaikan tangan.
"Good morning, Beautiful bird," katanya. Burung itu pun terbang ke tempat lain, lalu tiba-tiba Jeong Guk sudah ada di sisinya. Sontak Se Hwa terkejut. Tubuhnya bergerak refleks untuk menghindar sehingga hampir saja jatuh menyentuh tanah.
"Ya! Apa yang kau lakukan? Kau mengagetkanku."
"Kenapa kau lebih memperhatikan burung itu?"
"Memangnya salah?" Se Hwa mendebat. "Burung itu lebih cantik."
"Tapi ...."
"Aku sudah melihatmu berlatih setiap hari. Jadi, aku bosan."
Se Hwa benar. Sejak dia ada di sana seminggu yang lalu, yang dilakukannya hanya menonton Jeong Guk berlatih. Dia mungkin butuh hiburan yang lain.
"Jadi, kau ingin melakukan sesuatu?"
"Tentu saja." Se Hwa mengangguk.
"Baiklah, ayo kita jalan-jalan."
"Ke mana?"
"Ke desa." Jeong Guk turun dari tempatnya duduk diikuti Se Hwa.
Keduanya pun menuruni bukit rubah melalui jalur kanan. Air terjun sebening cristal terdengar gemericik saat menyentuh bebatuan. Se Hwa tak ingat pernah melwati tempat itu. Dahulu dia menemukan air terjun yang lebih besar dengan bias pelangi di sekitarnya.
"Ini bukan tempat yang kau tinggali dulu."
"Benarkah?" Se Hwa masih memperhatikan berkeliling. Apa yang dikatakan Jeong Guk benar. Ini tempat yang berbeda.
"Sebelum desa yang kau tolong itu kena wabah. Racun itu pertama kali mengenai warga di desa Namsa. Bersyukur aku bertemu dengan warga desa itu. Jika tidak, dia pasti sudah mati. Desa Namsa ada di sisi barat gunung rubah. Itulah kenapa kita berjalan menuju arah tenggelamnya matahari." Jeong Guk menghentikan langkahnya di dekat tebing. "Lihatlah ke sana." Dia menunjuk ke arah senja yang mulai merona jingga.
Se Hwa terpana. Dia belum pernah menyaksikan matahari terbenam yang menampakkan keindahannya yang sempurna.
"Dahulu, dewa-dewi di kahyangan sering turun ketika senja akan tiba. Mereka turun untuk mandi di sungai yang kita lewati tadi. Itulah kenapa sungai itu bernama sungai bidadari."
"Kau membual. Apa kau pernah melihat mereka?"
"Jangankan mereka, aku bahkan bisa pergi keluar masuk neraka dan bertemu dewa kematian sesukaku."
Se Hwa mencibir. "Dasar pengikut Narsisus."
"Maksudmu?"
"Bukan apa-apa." Se Hwa melangkah, tapi Jeong Guk menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu terjatuh dalam pelukan Jeong Guk.
"Kau mau ke mana, Sayang?"
"Mencari jalan turun." Se Hwa menunjuk jalan setapak.
"Jika kau ikuti alur itu, maka kau akan sampai di desa tiga hari lagi."
Se Hwa terkejut. "Jadi, bukan itu jalannya? Lalu, kita harus ke mana?"
"Ke sini." Jeong Guk menggendong Se Hwa, lalu tanpa aba-aba terjun menuju lembah di bawah tebing itu. Se Hwa terkesiap. Dengan refleks dia bergelanyut di leher Jeong Guk. Matanya terpejam, tapi Jeong Guk malah mencuri kecupan di bibirnya membuat gadis itu membuka mata.
"Lihatlah ke bawah," kata Jeong Guk.
Se Hwa terpana. Mereka berdua melayang di udara. Dia jadi teringat film Superman yang di tontonnya. Ini jadi mirip seperti adegan film itu. Se Hwa sedikit terkekeh-kekeh. Jeong Guk pun menatapnya dengan tanya. Dia mendarat di cabang pohon.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?"
"Bukan, aku hanya teringat pada sebuah film yang pernah aku tonton."
"Film? Apa itu film?"
"Itu ...." Se Hwa terdiam sejenak. "Lupakan saja. Kau tak akan mengerti."
Jeong Guk cemberut. Dia persis seperti bayi yang merajuk.
"Aku kasi chalenge."
"Chalenge?"
"Maksudku permainan."
"Bahasamu aneh. Banyak yang tidak kumengerti." Jeong Guk melanjutkan perjalanan. Dia kembali melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Sementara Se Hwa hanya tersenyum.
"Jadi, apa tantanganmu?" Jeong Guk menjejakkan kaki di pohon yang berbeda.
"Mudah. Ya, kurasa mudah bagimu. Apa kau bisa melompat dari satu pohon ke pohon lain tanpa membuka mata?"
"Kau yakin ingin aku melakukan itu?"
Se Hwa mengangguk.
"Bagaimana kalau aku menjatuhkanmu?"
"Maka kita akan jatuh bersama."
Jeong Guk tertawa. "Baiklah, apa pun yang kau inginkan, Se Hwa." Setelah bicara seperti itu, Jeong Guk pun melompat, tapi Se Hwa menghentikannya. Pemuda itu kembali berhenti di satu pohon.
"Turunkan aku sebentar," pinta Se Hwa. Jeong Guk menuruti keinginan gadis itu. Segera setelah itu Se Hwa mengambil pita yang mengikt rambutnya, lalu menutup mata Jeong Guk dengan pita itu. Pria itu hanya bisa pasrah dan tersenyum.
"Apa sudah selesai?"
"Sudah." Saat Se Hwa memberi aba-aba, Jeong Guk kembali meraih tubuh Se Hwa dan menggendongnya.
Ini mungkin terlalu beresiko. Dengan mata tertutup, Jeong Guk mungkin saja menabrak pohon dan jatuh, tapi Se Hwa memilih untuk percaya bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Se Hwa menatap Jeong Guk yang melompat dengan tenang. Wajah tampan itu tetap mengukir senyum yang begitu manis. Seminggu bersama Jeong Guk memang telah mengubah hati gadis itu. Apalagi ketika dia ingat bahwa cintanya yang dulu bersemi untuk pangeran tak mungkin bisa dia gapai, maka dia memilih untuk lebih mencintai orang lain dan orang itu adalag Jeong Guk.
Ketika Jeong Guk tetap menuruni gunung rubah dengan mata tertutup, Se Hwa mengangkat sedikit kepalanya, lalu memaksa kepala Jeong Guk ke posisi yang lebih rendah sehingga kedua bibir mereka saling bertemu. Yang awalnya Jeong Guk terkejut, akhirnya dia pun bisa menikmati permainan itu tankala Se Hwa mulai melumat bibirnya.
Jeong Guk membalas setiap lumatan yang digencarkan oleh kekasihnya. Keduanya pun bergerak di udara dengan bibir saling bertautan sempurna. Sesekali mereka saling melepaskan diri, tapi kemudian mereka melakukannya lagi, sampai kemudian Jeong Guk menjejak kaki di pohon terakhir. Dia menurunkan gadis itu.
"Apa kita sudah sampai?"
"Iya, kau lihat saja ke bawah sana."
Se Hwa mengikuti perkataan Jeong Guk. Hiruk pikuk desa langsung terlihat di matanya. "Bagaimana jika ada seseorang yang mengenaliku, lalu melaporkanku ke istana? Bagaimana jika mereka tau kalau aku belum mati di hutan larangan?"
"Biarkan saja. Lagipula, tak akan ada yang mengenalimu di sini. Desa ini desa paling terisolasi dan tak permah tersentuh oleh urusan pemerintahan."
"Begitukah? Baiklah, kalau begitu ayo kita jalan-jalan."
Jeong Guk pun membawa Se Hwa turun untuk menjejak kaki di tanah, tapi setelah Se Hwa melepas ikatan di mata pria itu. Ketika tubuh keduanya menjejak tanah, beberapa orang melihatnya. Mereka menatap Jeong Guk dan Se Hwa dengan penuh selidik. Entah apa yang akan dilakukan kepada senjoli itu.