Part 8

1489 Kata
Airin melepaskan mantelnya sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pertemuan dengan dua orang berkebangsaan Kanada tadi masih terus membayanginya. Ada kegugupan, ketakutan, serta rasa terintimidasi dari mereka yang terus mengganggunya. "Siapa mereka? Kenapa akhir-akhir ini aku terus seperti ini?" Airin bergumam. Dia berjalan mendekati bathtub. Namun, kejadian tadi pagi membuatnya bergidik dan mengurungkan niat untuk menyalakan keran air guna memenuhi tempat itu. Airin memilih mandi dengan air shower. Selang tiga puluh menit kemudian, Airin telah duduk di tepian ranjang. Rambutnya yang sempat basah setelah habis keramas pun sudah mengering. Secangkir s**u hangat masih dia pegang untuk beberapa saat sebelum diletakkan kembali di atas meja lampu hias. Airin bangkit, melangkah mendekati jendela. Suasana malam seakan memanggilnya untuk berdiri di balkon. Bintang-bintang mulai bersembunyi ketika gumpalan awan berlomba-lomba mengerubunginya. "Apa badai kemarin datang lagi?" Hati Airin diliputi tanya. Hembusan angin berubah. Kini menjadi lebih kencang dari yang awalnya semilir. Airin masih berdiri di balkon sambil memeluk tubuhnya yang sedikit kedinginan. Pohon-pohon bergerak liar di hadapannya. Dia menyukai tempat itu karena suasana rumahnya seperti di Ilsyan. Kemarin, saat perusahaan ingin membernya tempat tinggal di apartement mewah, Airin memilih tinggal di sini. Sebuah rumah minimalis dengan rumah studio di atapnya. Dia suka bagian itu. Dari atas sini, Airin bisa memperhatikan situasit di tempat tinggal barunya. Jalan raya terlihat dari jarak pandangnya, pun gang-gang kecil menuju rumah itu. Meski kata orang tempat itu sedikit rawan, tapi Airin tak bermasalah dengan hal itu. Apalagi pihak keamanan telah menempatkan petugasnya untuk berpatroli di sana. Jadi keresahan warga sedikit berkurang. Airin masih menunggu, melihat situasi malam yang kian runyam. Baru setelaj hujan deras mengguyur, Airin memutuskan untuk masuk kamar. Dia masih memperhatikan ketukan hujan di jendela yang tertutup. Airin memutuskam untuk menghabiskan susunya, baru merebahkan diri di ranjang. Sesaat, dia mengambil ponsel dan menghubungi orang tuanya. "Bagaimana kabar Ibu dan Ayah? Sepertinya musim penghujan datang lebih awal." Dia mulai berbincang dengan orang tuanya di sana. "Iya, Airin. Karena itu kau harus selalu waspada. Jangan pernah lepaskan kalung jimat pemberian pendeta." "Ibu, ayolah. Bisakah setiap kita bicara Ibu tak membahas hal itu? Aku sudah lelah mendengarnya." "Tapi ...." "Baiklah, jika yang ingin Ibu bicarakan hanya tentang jimat itu, aku tak akan pernah menghubungi Ibu lagi." Airin memutus sambungan sepihak, lalu mematikan ponsel. "Selalu saja!" Airin meletakkan ponsel itu di atas meja lampu hias. Kemudian matanya terpejam berusaha untuk tertidur. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Dia tak bisa tidur. Perlahan dia membuka mata dan menatap langit-langit kamar. "Sial, kenapa aku tak mengantuk sama sekali. Apa karena aku sudah tidur cukup lama di kantor?" Dia bangkit mengambil remote televisi di samping ponselnya, lalu mulai menyalakan tv yang menempel di dinding. Berharap kantuk bisa datang dengan cara itu. Namun, semua sia-sia. Airin masih tetap saja terjaga. Film drama korea terus berputar di layar televisi. Airin menonton, tapi pikirannya terbang entah ke mana. Hingga kemudian dia kembali terjebak di tengah pedesaan yang ramai. Airin tak sadar jika dia sudah terlelap. Para penduduk bersliweran. Seorang pedagang menjajakan guci keramik kepadanya. Airin hanya menggeleng. Kakinya terus mengayun. Di tempat yang lain seorang pedagang dan pembeli sedang bertransaksi kain sutra. Juga pedagang buah yang berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Rutinitas pasar tradisional seperti itu rasanya baru pertama kali ini dia lihat. Selain itu, pakaian yang mereka kenakan menjadi perhatian Airin. "Kenapa semua penduduk memakai hanbok?" Hati dan pikiran Airin dipenuhi tanya. Dia terus berjalan sambil memperhatikan sekitar. Seorang anak kecil yang tengah berlarian menabraknya. Anak itu terjatuh. Kue beras miliknya menggelinding di tanah. Airin tergugu menatap betapa lusuhnya anak itu. Tangannya yang kotor mengambil kue berasnya yang terjatuh, lalu bangkit dengan segera dan lari dari sana. Sementara, dari tempat lain seorang pria meneriakinya dan memaki. Tangan pria itu membawa tongkat pemukul. Airin bisa menduga kalau anak kecil tadi pasti mencuri kue beras dari tokonya. Merasa gagal dengan misinya mengejar si bocah pencuri, pedagang itu menghentikan aksinya. Sesaat dia menoleh kepada Airin, lalu kembali ke tokonya. "Minta sedekahnya, Nona." Airin terkesiap ketika mendengar bapak-bapak tua dengan tongkat kayu menengadahkan mangkok kotor berbahan batok kelapa. Gadis itu kebingungan tentang apa yang harus dia berikan. Dia tak memakai apa pun selain baju tidur. Tunggu! Di mana baju tidurnya? Airin makin kebingungan tatkala menyadari dia pun memakai hanbok sepertu yang lain. Dia memeriksa dirinya sendiri dan menemukan kantong kecil di balik bajunya, kantong kain dengan beberapa koin, yang kemudian diberikannya kepada bapak pengemis. Pria itu kegirangan. Dia mengucap terima kasih berulangkali sebelum pergi. "Tunggu." Pria itu menoleh kembali kepada Airin. "Boleh aku tau ini di mana?" Pria pengemis itu mengerutkan dahi. Dia sedikit kebingungan mendengar pertanyaan sang gadis cantik. "Ini di desa Tuman." "Tuman? Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya." Si pria lusuh makin kebingungan. "Pemerintahan Joseon melupakan kami, jadi wajar jika hanya segelintir orang yang tau tentang Tuman." "Joseon? Aku ada di Joseon?" Pengemis itu semakin kebingungan. Mungkin dia menganggap Airin lebih aneh dari dirinya karena itu dia menjauh dengan cepat. Sementara, Airin masih terjebak dengan kebingungannya sendiri. Bagaimana mungkin dia ada di Joseon. Belum lagi bisa mencerna apa yang terjadi, suara-suara teriakan terdengar dari kejauhan. Pasukan berkuda datang dari arah belakangnya. "Minggir! Minggir!" Teriakan mereka memekakan telinga. Semua orang menyingkir dengan cepat kecuali Airin yang tiba-tiba membeku. Kakinya seakan mati rasa. Dia tak bisa bergerak. Matanya menatap tanpa berkedip ke arah pasukan berkuda itu. Bahkan, sampai pasukan itu sangat dekat, Airin masih di sana. Beberapa orang berteriak memintanya menyingkir, tapi entah kenapa dia seakan tak peduli dengan peringatan itu. Ketika pasukan itu hampir menerjangnya, dia pun memejamkan mata pasrah. Namun, hal aneh justru terjadi. Dia merasakan tubuhnya melayang di udara. Apa dia sudah mati? Apa yang terjadi? Airin membuka mata. Sesosok pria tampan menyelamatkannya. Tubuhnya melayang bersama sang pria yang melompat dari ke atap salah satu rumah. Kemudian kembali melayang melompat ke pepohonan dan masuk ke tengah hutan. "Kau tak apa-apa?" Pria itu menurunkan Airin di salah satu cabang pohon. Dia memperhatikan Airin dengan lekat. Gadis itu tak mampu menjawab. Hidung mancung dan bibir tipir pria itu menggodanya. Sungguh, dia belum pernah bertemu pemuda setampan itu. Sang pria tersenyum. Dia mengulurkan tangan menyentuh pipi mulus di depannya. Sementara, Airin terdiam. Dia seakan-akan terhipnotis dan tak mampu melawan. Bahkan, ketika pria itu mendekatkan wajahnya, Airin masih diam saja. Malah sebaliknya, gadis itu memejamkan mata. Hingga bibir mereka bertemu dan bermain dalam lumatan-lumatan yang indah dan memabukkan. Airin tersadar. Perlahan dia membuka mata dan mendapati dirinya ada di ranjangnya yang empuk. Gadis itu celingukan menatap ke sekitar. "Cuma mimpi." Airin mendesah lelah. "Bagaimana mungkin aku terus bermimpi aneh." Dia bangkit guna mengambil air di atas meja. Dengan cepat segelas air membasahi kerongkongannya. Rasa basah pada bibirnya mengingatkan dia pada c*uman yang baru saja dilakukannya dengan pria asing dalam mimpi. Airin bahkan tak tahu nama pria itu, tapi dia sudah membiarkan dirinya terjebak dalam c*uman yang begitu intens. Disentuhnya bibir yang masih basah itu. Dia mencoba mengingat wajah pria itu, tapi tak ada yang bisa dia ingat. Setelah terjaga Airin justru kesulitan menggali ingatannya tentang wajah sang pria. Yang muncul malah wajah Jinseok yang pernah menciumnya dengan paksa. Suara alarm pada ponsel mengejutkam Airin yang masih terjebak dalam kebingungannya. Bahkan, dia baru sadar kalau televisi masih menyala dan waktu sudah menunjukkan pukul 05.00. Hujan semalam juga telah berhenti. Dengan langkah lesu, Airin mendekati jendela. Dia membuka pintu geser kaca yang membawanya ke balkon kamar. Aroma petrikor langsung menyapa hidungnya. Tanaman pinus yang basah menyegarkan matanya. Airin menguap beberapa kali. Pintu gerbang tetangga terlihat jelas dari tempatnya. Pasangan suami-istri yang belum sempat dia sapa sebagai tetangga baru, keluar dari sana. Airin memutuskan tak memperhatikan mereka lagi. Setelah merenggangkan tangan, juga melakukan senam ringan di sana, Airin memutuskan untuk ke dapur. Namun, baru saja dia melangkah hendak meninggalkan kamar, suara telepon menyapanya. Nama Simon berkedip-kedip di layar ponselnya. "Kenapa pria ini menelepon sepagi ini?" Sesaat Airin hanya menatap ponsel di tangannya. Sampai ponsel itu mati, lalu berbunyi kembali. Sekali lagi Airin hanya diam, lalu meletakkan ponsel itu di meja. Dia hendak meninggalkan ponsel itu ketika pria lain menelponnya. "Hansol?" Airin melupakan kebingungannya dan segera menggeser icon hijau pada layar. "Pagi, Hansol-sii." "Airin. Syukurlah kau masih di sini. Kau baik-baik saja, kan? Semalam hujan badai dan aku sangat mengkhawatirkanmu." "Mengkhawatirkanku? Tapi kenapa?" "Akan kujelaskan nanti. Yang pasti sekarang kita harus bertemu. Hari ini gerhana bulan akan terjadi. Aku tak mau ramalan itu menimpamu." "Ramalan apa? Jangan mengada-ada!" Airin bersungut kesal, lalu mematikan ponsel. "Dasar gila. Ternyata benar apa yang dikatakan Jinseok. Pria itu sinting. Sama seperti ibu." Airin kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur. "Gerhana bulan." Airin kembali bergumam. "Ramalan itu hanya bualan, kan? Hari ini aku harus pergi ke perpustakaan. Aku harus mencari tau tentang Joseon dan Tuman. Juga tentang pria itu. Siapa dia? Siapa pria itu? Kenapa aku tak bisa mengingatnya sama sekali." Betapapun Airin menyangkal tentang ramalan yang sering diucapkan ibunya, tetap saja dalam lubuk hatinya Airin merasakan sedikit ketakutan. Bagaimana mungkin ramalan itu mengatakan bahwa dirinya akan menghilang. Dia akan menghilang bagaimana? Apa itu artinya dia akan mati?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN