Part 29

1089 Kata
Jeong Guk dan Se Hwa memutuskan berlatih pedang bersama-sama. Setelah mandi pagi, mereka memulai latihannya dengan latihan pernapasan, barulah berlatih dengan tangan kosong, dan dengan senjata pedang. Kemampuan Jeong Guk tak bisa dianggap remeh. Kendati dia siluman yang bisa melakukan banyak hal dengan sihirnya, Jeong Guk juga rajin belajar ilmu bela diri seperti manusia. Itulah kenapa dia bisa mengimbangi permainan pedang Se Hwa yang sangat dikagumi oleh orang-orang Joseon maupun oleh musuh-musuh mereka. "Kau tak akan bisa mengalahkanku," kata Se Hwa sambil menangkis serangan lawan. Jeong Guk tak mau kalah. Bagaimanapun dia juga ingin menguji kemampuannya melawan jendral nomor satu dan jadi kebanggaan raja Joseon kala itu. Tebasan pedang Se Hwa terus membidik titik-titik vital lawan tarungnya, tapi Jeong Guk selalu bisa melumpuhkannya. Pertarungan kian sengit. Ayunan pedang Se Hwa mengincar pinggang Jeong Guk. Kali ini, Jeong Guk tak sempat menghindar karena ada hal lain yang mengganggunya. "Akh." Pedang Se Hwa menggores pinggang kekasihnya. Gadis itu terkejut, lalu membuang pedangnya ke sembarang arah. "Kau tak apa-apa?" Gadis itu khawatir. Dia memeriksa luka di pinggang Jeong Guk. "Akh!" Jeong Guk mengerang sambil menyentuh pinggangnya. "Sakit sekali, ya? Akan kucarikan daun obat-obatan untuk menghentikan pendarahannya." Se Hwa menuntun Jeong Guk untuk duduk di atas rerumputan yang empuk. Kemudian, dia berdiri hendak mencari dedaunan seperti apa yang dikatakannya. Namun, belum sempat dia melangkah, Jeong Guk menarik tangannya sehingga perempuan itu terjerembab di pelukan sang siluman. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Itu sudah cukup untuk membuat lukaku sembuh." "Bagaimana bisa begitu," protes perempuan itu, tapi Jeong Guk hanya tersenyum, lalu melumat bibir kekasihnya dengan sangat lembut. Perlahan, permainan bibir itu jadi saling menuntut. Mereka sama-sama mencoba saling mengalahkan satu sama lain. Dalam indahnya permainan lidah itu, Jeong Guk menggunakan teleportasinya untuk berpindah tempat dan berakhir di atas tempat tidur mereka. Satu persatu pakaian mereka terlepas dari badan. Sesaat kemudian, alunan irama surgawi menggema di tengah-tengah mereka. Lenguhan-lenguhan panjang dan frustasi keluar dari bibir Se Hwa. Jeong Guk sungguh menikmati setiap rasa yang tercipta dari gesekan kedua inti mereka. Rasa yang selalu mampu membawanya terbang ke langit ketujuh dan mereguk nikmat yang tiada tara. Hampir sejam mereke bergumul. Nikmat yang diraih pun berulang hingga akhirnya mereka kelelahan. Se Hwa memukul d**a Jeong Guk serayan menjatuhkan kepalanya di d**a pria itu. "Dasar laki-laki m***m. Kalau mau bercinta jangan bikin aku khawatir. Kau tau, tadi aku merasa sangat bersalah. Aku takut kau terluka." "Aku ini siluman, Sayang. Jadi, luka kecil itu akan hilang dengan sendirinya. Apalagi kau dan mutiaraku ada di sisiku. Jangan khawatirkan apa pun lagi, ya." Se Hwa mengangguk. Bersama pria itu dia memang telah menjadi wanita yang sangat manja. Rasanya dia bahkan telah melupakan keinginannya untuk kembali ke masa depan dan menjadi Airin. Dia tak ingin berpisah dengan kekasihnya. "Se Hwa," panggil Jeong Guk lembut. Tangan pria itu terus mengelus rambut kekasihnya. "Heeem," sahut Se Hwa dengan mata tertutup. "Aku akan pergi ke desa." Saat mendengar kata-kata itu, Se Hwa mengangkat wajahnya. Dia menatap Jeong Guk penuh tanya. "Apa ada masalah?" Jeong Guk mengangguk. "Tadi, saat latihan, aku melihat asap yang sedikit kekuningan dari arah desa. Itu pesan bahaya dari mereka." "Kalau mereka dalam bahaya, kenapa kau masih sempat-sempatnya bercinta?" Perempuan itu mendengkus. Jeong Guk pun tertawa. "Itu bukan keadaan darurat, tapi mereka membutuhkanku untuk melindungi tempat itu." "Aku ikut ke sana, ya." Se Hwa merajuk, tapi Jeong Guk malah membuat wanitanya kembali merebahkan kepala di d**a bidangnya. "Kalau kau ikut, kita pasti ribut lagi, akhirnya semua akan berantakan. Kita hanya akan bertengkar. Lagipula, aku pergi tak akan lama. Aku hanya ingin memeriksa keadaan, lalu kebali ke sini, ya." Se Hwa pun mengangguk pasrah. "Kau pergi sekarang?" "Iya. Kau jaga diri baik-baik. Ingat, aku akan kembali dan selalu kembali karena kedua jiwaku ada di sini." "Kedua jiwa?" "Iya. Kau dan mutiara rubahku." "Gombal." Se Hwa pun bangun, lalu mendorong tubuh laki-laki itu. "Pergi sana. Si Song sudah merindumu." "Cemburu." "Tidak!" "Iya." "Tidak!" Se Hwa bersikukuh dengan mengatakan dia tidak cemburu, padahal hatinya memang sedang meradang. Dia tak ingin Jeong Guk bertemu si marga Song itu lagi. Namun, dia juga tak ingin terlihat egois. Akhirnya, Jeong Guk meninggalkannya setelah membersihkan diri. Se Hwa terdiam sendiri menatap lembah dari atas tebing. Lembah di mana desa itu berada. Seekor kupu-kupu datang seakan-akan ingin menemaninya. Se Hwa pun meninggalkan tebing itu dan bermain bersama sang kupu-kupu. Tengah bermain dengan binatang-binatang kecil di sana, Se Hwa melihat seseorang berhasil sampai di puncak gunung rubah. Keduanya beradu pandang dan sama-sama terkejut. "Se Hwa ...," panggil San. Se Hwa membisu, lalu membalik badan. "Apa yang kau lalukan di sini?" Pria itu tiba-tiba saja berlari, lalu memeluk tubuh Se Hwa dengan erat. "Aku merindukanmu, Se Hwa. Aku pikir kau sudah ...." "Sayang sekali, Tuhan masih enggan menerimaku di surga." Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan sang pangeran. "Oh, iya. Sebaiknya kau pergi dari sini. Aku tak mau nanti kau melakukan sesuatu yang buruk di tempat ini." "Maksudmu, kau tak ingin aku membunuh siluman itu?" "Iya!" sahut Se Hwa tegas. "Bagaimanapun dia kekasihku dan aku mencintainya." Dalam d**a pangern ada rasa sakit seperti tersayat-sayat ketika mendengar apa yang dikatakan Sewa. Namun, dia menahan diri karena San selalu mengingat pesan Jung Jiang. "Lalu, sekarang di mana siluman rubah itu?" "Dia sedang pergi dan sebentar lagi dia pasti kembali." "Kau yakin dia akan kembali?" "Tentu saja," kata Se Hwa. Pangeran menghela napas. "Aku membawa titipan dari orang tuamu." "Apa? Mereka tau aku selamat dan ada di sini?" "Iya. Dan mereka menitipkan ini." Se Hwa memandangi kue beras yang disodorkan oleh sang pangeran. Se Hwa berpikir itu dari ibunya. Padahal itu hanya kue beras pemberian Jung Jiang. Itu berasal dari kotak bekalnya. "Aku peringatkan kau, Se Hwa. Rasa kue itu mungkin akan beda dari kue masakan ibumu. Karena kue yang dia kasi, sudah aku makan di perjalanan. Jadi, aku menggantinya dengan membelikanmu kue beras yang sama di desa yang kulewati." "Terima kasih. Niatmu sudah lebih dari cukup buatku, Pangeran. Kau memang selalu punya hati yang tulus. Kelak kau pasti akan jadi raja yang sangat disegani." Se Hwa pun memakan kue beras itu. Tak lupa dia menawarkannya kepada pangeran, tapi pangeran itu menolak. Satu kue beras telah habis dia makan. Se Hwa hendak mengambil kue beras yang lain ketika kesadarannya memudar dan dia jatuh terkulai, tak sadarkan diri. Pangeran tersenyum puas. Dia menatap wajah cantik Se Hwa yang kini ada di pangkuannya, lalu tanpa permisi dia meraih tangan Se Hwa dan mengalungkannya di leher, sebelum pangeran menunduk dan mencium bibir Se Hwa untuk melepas kerinduannya. Pangeran tak menyadari kalau tak jauh dari sana, seseorang menatap mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN