Sore harinya, Mira terlihat sedang asik bercengkrama dengan sahabatnya Hanifa. Mereka memang sering bertemu di sore hari karena saat itu aktifitas mereka tidak ada. Dan lagi pula, sore hari adalah waktu yang santai untuk saling mengobrol tentang segala halnya.
“Jadi gimana, Mir?” tanya Hanifa yang penasaran pada Mira.
“Gimana apanya, Nif?” Mira malah balik bertanya dengan tatapan heran.
“Itu, masalah yang kamu tanyain kemarin sama aku,” jawab Hanifa sambil menjalin rambut panjang Mira dengan sabar.
“Yang mana sih, aku lupa. Beneran deh, serius!”
“Ih, baru aja sehari udah lupa. Untung aja suami kamu pergi berbulan-bulan dari rumah, kamu nggak lupa pas dia pulang.”
“Nah! Itu dia yang kemarin aku tanyain sama kamu, Nif.” Mira berseru dengan suara yang lumayan tinggi dan sontak membuat Hanifa terperanjat saking terkejutnya.
“Mira! Bisa nggak sih, biasa aja bicaranya. Aku kaget nih, untung nggak ada Riwayat penyakit jantung,” gerutu Hanifa sambil mengelus-elus dadanya dan menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan.
“Duh, maaf, ya. Aku nggak sengaja.” Mira berkata dengan kesungguhan hatinya.
Memang, awalnya Mira tidak mengerti dengan hal apa yang ditanyakan atau dimaksudkan oleh Hanifa. Namun, saat Hanifa menyebutkan hal yang membuatnya teringat pada kepulangan Hendra dari perantauan, tentu saja ingatan dan rasa takut itu kembali muncul di dalam hati dan pikirannya.
“Kamu nanya kemarin tentang perubahan sikap laki-laki gitu,” ucap Hanifa yang membantu Mira mengingat pertanyaannya.
Memang ada beberapa pendapat yang mengatakan, jika pasangan berubah menjadi sangat baik dan super romantis, bisa diwaspadai karena mungkin saja sebenarnya ia sedang berusaha menutupi kesalahannya. Misalkan menutupi perselingkuhannya. Jadi, ia bersikap manis dan penuh perhatian agar pasangannya tidak terlalu curiga atau jika suatu saat ketauan, pasangannya tidak terlalu cepat untuk percaya. Sehingga membuat yang bersangkutan lebih mudah untuk mencari alasan untuk mengelak.
Hal seperti itu lah yang kini sedang ditakutkan oleh Mira, yang mana hal itu mungkin saja terjadi pada Hendra. Apalagi Hendra sudah pergi bekerja ke Kalimantan selama enam bulan lamanya. Dan selama itu pula Hendra dan Mira tidak pernah berhubungan atau bersentuhan fisik. Yang mana, Mira sendiri tahu bahwa Hendra sangat agresif dan tidak bisa hidup tanpa bercinta dengannya.
“Itu dia, Nif. Aku merasa Hendra sedikit berubah setelah pulang dari Kalimantan.” Mira mengungkapkan kegalauannya pada sahabatnya itu dengan nada lemah dan wajah yang tampak sangat lesu.
“Berubah gimana? Aku liat suami kamu makin cakep dan makin awet muda aja. Belum lagi tampilannya yang rapi dan sikapnya yang lembut saat bicara denganmu,” ucap Hanifa mengomentari Hendra yang memang baru ia liat beberapa kali semenjak kepulangan pria itu.
“Justru karna itu lah, Nif. Hendra yang dulu, nggak pernah manggil aku dengan panggilan sayang yang manja dan lembut. Memang dia sering memanggilku sayang, tapi bawaan nadanya kasar.”
“Bukannya malah bagus kalau sekarang Hendra udah berubah ke arah yang jauh lebih baik. Berarti, jarak jauh yang memisahkan kalian sudah membuatnya mengerti dan belajar banyak hal tentang cara mencintai, menyayangi, dan menghargai kamu sebagai seorang istri.”
Mira hanya terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Hanifa. Meski sejujurnya ia merasa ragu untuk mengakui semua itu, akan tetapi Mira juga tidak berani untuk berpikiran buruk tentang suaminya. Ia memang sudah mengenal Hendra sangat lama dan sudah mengetahui segalanya bahkan tentang semua keluarganya. Hanya saja, Mira tidak bisa membohongi hati dan perasaannya yang merasa ada keganjilan di setiap sikap Hendra padanya.
“Tapi, Nif. Mungkin nggak, ya, kalau suami menghindari istrinya dan seperti enggan untuk berhubungan, padahal kan udah berbulan-bulan nggak ketemu dan gituan?” tanya Mira lagi pada Hanifa.
Mendengar pertanyaan Mira, sontak membuat Hanifa tertawa dan sekaligus mengikat ujung rambut Mira yang sudah selesai ia jalin. Hanifa mungkin memang seorang gadis yang belum menikah, tapi pengetahuannya cukup banyak karena ia banyak belajar dari saudara-saudaranya yang sudah menikah. Semua membuat Hanifa memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari pada Mira.
“Kok kamu ketawa sih, Nif?” tanya Mira dan menghadap pada Hanifa.
“Habisnya, kamu lucu banget sih,” jawab Mira yang masih mencoba menahan suara tawanya agar tidak terlalu nyaring.
Hanifa tidak ingin suara tawa yang nyaring membuat warga malah sibuk bergunjing tentang dirinya yang masih gadis tapi suka tertawa dengan suara lebar. Di tempat mereka tinggal memang ada-ada saja yang akan menjadi bahan gosip ibu-ibu perumahan sana. Bahkan, melihat tetangganya mandi keramas pagi hari saja bisa dijadikan bahan untuk bergosip.
Padahal menurut Hanifa, itu hal yang wajar dan tidak perlu dijadikan bahan gosip dan ledekan. Apalah yang harus ditertawakan, toh tidak bersuami pun para gadis mandi pagi selalu berkeramas. Bahkan yang sudah tua renta sekali pun. Tentu saja semua itu guna menjaga kebersihan kulit kepala dan juga rambut. Bukan hanya sekedar karena mereka habis bercinta dengan suaminya semalaman hari.
“Di mana lucunya coba?” tanya Mira penasaran dan masih menatap pada wajah Hanifa.
“Jadi, kamu semalam minta jatah sama Hendra dan dia nolak, gitu?” tanya Hanifa dan berusaha meredakan suara tawanya.
“Ish kamu, apaan sih,” ucap Mira menahan malu. Pipinya sudah merah merona saat ini dan ia memalingkan wajahnya dari pandangan Hanifa.
“Lah, kan tadi kamu sendiri yang bilang,” ucap Hanifa dan sudah beranjak dari tempat duduknya.
“Namanya juga kangen sama suami. Kan pengen dibelai manja gitu. Disayang-sayang,” gumam Mira dengan suara lemah yang masih dapat didengar oleh Hanifa.
“Mira sayang … lelaki itu tidak selalu berubah karena dia sudah memiliki wanita lain atau sedang melakukan kesalahan. Bisa saja karena memang dia sudah benar-benar berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Banyak kok di luar sana laki-laki yang berselingkuh malah cuek dan ninggalin anak istrinya. Saat ketauan pun dia malah belain selingkuhannya.” Hanifa berkata dengan semua fakta yang memang pernah terjadi di sekitar tempat mereka tinggal.
Mira mengangguk setuju dengan semua yang dikatakan oleh Hanifa. Memang, perubahan sikap seseorang itu tidak bisa menjamin apa pun. Hanya dia sendiri lah yang bisa mengerti dan tahu apa alasannya melakukan perubahan pada sikapnya. Namun, meski demikian Mira masih belum mendapatkan feel saat berduaan dengan Hendra. Ia masih merasa bahwa Hendra adalah orang asing yang belum menghuni hatinya. Tidak merasakan getaran cinta yang hebat dan dasyat yang seharusnya ia rasakan setelah enam bulan perpisahan mereka.
“Makasih, ya Nif. Aku akan belajar untuk lebih menghargai perubahan Hendra yang sekarang. Semoga memang ini adalah perubahan diri Hendra ke arah yang lebih baik lagi ke depannya,” ungkap Mira sungguh-sungguh.
“Nah gitu, dong. Kalau suami berubah baik itu, kamu support sebagai seorang istri. Biar dia juga makin semangat dan merasa usahanya nggak sia-sia,” terang Mira lagi.
“Iya, Hanifa yang jomblo tapi pengetahuannya udah kayak istri udah sepuluh tahun menikah,” balas Mira dengan sengaja menyindir kejombloan Hanifa.
Hanifa hanya tersenyum tipis pada Mira dengan pemikiran dan pandangannya sendiri. memang, meski ia tidak terlalu dekat dan mengenal Hendra dengan baik, Hanifa sendiri merasakan bahwa yang datang dan memeluk Mira tempo hari itu seperti bukan Hendra si berandalan kampung yang sering membuat warga marah dan kesal. Namun, Hanifa tidak berhak mengatakan semua itu kepada Mira karena semua itu tidak lah terbukti dan hal itu tentu saja bisa merusak rumah tangga Mira dan Hendra jika ia memberitahukan keraguannya itu pada Mira.
“Semoga dugaan kita salah, Mir. Tidak mungkin ada dua Hendra, bukan?” bathin Hanifa berkata dan bertanya tentang semua itu.