Toyo dan Betty pulang ke rumah mereka menggunakan sepeda motor besar milik Toyo. Memang, meski Toyo salah seorang yang terpandang di tempat itu, nyatanya Toyo belum berniat untuk membeli sebuah mobil untuk keperluan mereka sendiri. Namun, mobil untuk pekerjaan tentu saja lebih dari tiga sudah dimiliki Toyo Broto. Namun, karena memang merasa tidak terlalu membutuhkan mobil pribadi, itu sebabnya Toyo tidak membelinya sampai saat ini meski tentu saja dia sangat mampu untuk membelinya.
Sepanjang jalan Toyo tidak mengeluarkan suara sedikit pun dan begitu pula dengan Betty yang enggan mengatakan apa pun pada Toyo. Betty sadar, apa pun yang ia katakan saat ini pada suaminya itu tidak akan berguna. Toyo sedang emosi tingkat dewa saat ini dan ia tidak akan menerima masukan dan saran dari siapa pun, termasuk dari Betty sekali pun.
Jarak tempuh antara rumah Toyo dengan rumah tempat Mira dan Hendra tinggal memang tidak terlalu jauh, akan tetapi tidak pula terlalu dekat. Memakan sekitar sepuluh menit perjalanan jika memakai kendaraan roda dua. Begitu lah jauhnya Mira mencari rumah untuk ia tempati agar tidak terlalu sering cek cok dengan orang tuanya dan semakin membuat Hendra merasa terpojok serta malu.
Sesampainya di rumah, Toyo langsung duduk di kursi ruang keluarganya dan menyalakan kipas angin besi yang memang terletak di tengah ruangan itu. Betty menyusul setelah membuatkan Toyo segelas kopi hangat dan menyajikannya di atas meja kaca panjang. Betty pun ikut mendaratkan bokongnya di sebelah Toyo dan menikmati semilir angin yang berhembus dari kipas angin turbo itu. Memang, beberapa hari belakangan cuaca sangat ekstrem, dan bagi mereka yang tidak terbiasa panas akan selalu merasa gerah seperti ingin mandi tiap saat.
“Pa … apa sikap dan ucapan Papa itu nggak keterlaluan sama Mira dan Hendra?” tanya Betty dengan lembut setelah Toyo selesai menyesap kopi hitamnya.
“Mereka tuh memang pantes digituin, Ma. Biar sadar kalau yang mereka lakukan adalah sebuah dosa besar. Apalagi Mira tuh, anak perempuan yang selalu kamu bangga-banggakan. Liat kan sekarang gimana dia bersikap?” tanya Toyo setelah menjawab pertanyaan Betty.
“Dosa besar gimana, Pa? Mama selama ini diam aja karena Mama juga awalnya ragu sama Hendra. Tapi, sekarang Mira udah bahagia sama pilihannya itu, Pa,” ungkap Betty pada Toyo.
“Bahagia dari mana yang Mama maksud? Memangnya pekerjaan apa yang bisa berandalan kampung seperti Hendra itu lakukan?”
“Papa nggak boleh gitu. Hendra itu anak yatim, jadi wajar aja kalau semasa kecil sampai remajanya dia menjadi anak yang nakal karena tidak mendapatkan kasih sayang dari figur ayah. Apalagi perhatian dari ibunya nggak penuh. Yang penting kan sekarang dia udah bisa bertanggung jawab sama statusnya dan sama anak kita.”
“Anak kita? Kamu masih saja terus membela dia, Ma. Papa kan udah bilang kalau Mira bukan lagi anak kita semenjak dia memutuskan keluar dari rumah ini dan menikah dengan Hendra!” tegas Toyo mengingatkan Betty lagi pada kejadian dua tahun silam.
Saat itu, Hendra datang bertamu ke rumah mereka dan Mira terlihat sangat bahagia menyambut kedatangan Hendra. Meski ia tidak mengatakan apa-apa pada Toyo dan Betty, akan tetapi sebagai orang tua tentu Toyo dan Betty mengerti maksud dari kedatangang Hendra pada siang itu.
“Siang, Om dan Tante. Saya Hendra, pacarnya Mira. Kami udah pacarana dari masih di bangku sekolahan dulu,” sapa dan jelas Hendra pada Toyo dan Betty yang duduk di hadapannya. Sementara Mira duduk di kursi lain yang berada antara kursi orang tuanya dan Hendra.
“Terus, mau apa kamu datang ke sini? Mau ngasih tau itu aja kan?” tanya Toyo yang tampak tidak ramah sama sekali menyambut kedatangan Hendra.
“Bukan begitu, Om. Saya …,” ucapan Hendra terputus saat Betty pun menyela.
“Mira itu masih harus kuliah. Dia anak perempuan kami satu-satunya, Hen. Jadi dia harapan orang tuanya. Kalau dia pacarana terus, Tante takut dia nggak bisa fokus kuliah.”
“Tapi, Mira kan udah bilang kalau Mira nggak mau kuliah, Ma,” bantah Mira yang mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Betty pada Hendra.
“Mira! Jangan konyol kamu! Papa sama Mama udah berusaha untuk membuat kamu bersekolah yang tinggi agar punya Pendidikan dan hidup yang layak di kemudian hari. Banyak orang tua yang ingin anaknya kuliah, yang anaknya ingin kuliah, tapi mereka nggak mampu. Ini, udah dibiayain malah bilang nggak mau,” bentak Toyo pada Mira di depan Hendra yang sedang menatap Mira dengan tatapan tak tega.
Mira sudah mengeluarkan air matanya dan ia menangis diam-diam karena dibentak oleh ayahnya di depan ibu dan juga kekasihnya. Mira memang tidak pernah memiliki keinginan untuk kuliah. Hal itu bukan karena ia berpacaran dan ingin menikah dengan Hendra. Namun, memang Mira tidak pernah memiliki minat untuk mengenyam bangku di Universitas itu. Ia lebih suka menjadi pengusaha mandiri saja, yang jelas sudah bisa menghasilkan uang dan tidak bekerja untuk orang lain. Mira selalu ingin memiliki beberapa toko, seperti toko baju, toko kue, atau sebuah caffe tempat anak muda nongkrong.
Betty memang sudah tahu bahwa Mira tidak memiliki minat untuk berkuliah. Namun, ia juga tak ingin anaknya buru-buru menikah di usia muda. Apalagi dengan Hendra, anak yatim piatu yang tidak pernah terlihat baik di mata masyarakat. Kelakuannya sangat nakal dan juga ia memiliki beberapa tato di tangan serta kakinya. Menggambarkan seorang preman sejati dan Betty sama sekali tidak suka itu. belum lagi tentang Hendra yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan tetap.
“Biarkan Hendra menyampaikan maksud kedatangannya dulu, Pa, Ma,” ucap Mira pada akhirnya dan membuat kedua orang tuanya diam.
Hendra yang seperti memiliki ruang untuk bicara segera mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. Hendra gugup, akan tetapi ia harus segera menyelesaikan semua ini.
“Jadi, begini Om dan Tante. Maksud kedatangan Hendra ke sini adalah untuk … untuk melamar Mira. Kami sudah saling mencintai sejak lama dan sudah sama-sama mantap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Kami sudah siap untuk berumah tangga, Om, Tante,” ungkap Hendra dengan kaki gemetar di bawah sana dan tidak ada yang melihat tentunya.
“Apa kamu bilang? Melamar Mira?” tanya Toyo dengan ekspresi tak percaya dan suara yang cukup keras.
“I-iya, Om.” Hendra menjawab dengan gugup karena suara Toyo sungguh bisa membuat orang mati ketakutan.
“Nak Hendra, sebaiknya kalian nggak usah mikirin pernikahan dulu. Kamu juga belum punya pekerjaan tetap, kan? Dengan apa nanti kalian akan hidup berumah tangga? Menyewa rumah, biaya sehari-hari?” Betty mengeluarkan pendapat dan pertanyaannya.
“Kamu berharap kami akan memberikan tumpangan di rumah ini setelah kalian menikah? Tinggal dan makan gratis? Begitu?” tanya Toyo lagi dengan nada kasar.
“Hendra janji akan memenuhi tanggung jawab sebagai suami setelah menikahi Mira, Om. Hendra yakin pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa membahagiakan Mira.” Hendra berusaha meyakinkan Toyo dan Betty tentunya.
“Pa, kebahagiaan itu tidak selalu masalah dan tentang uang. Nggak semua hal bisa dibeli dengan uang, Pa,” ucap Mira pada Toyo.
“Memang benar, nggak semua bisa dibeli dengan uang, Nak. Tapi, apa yang bisa kamu lakukan tanpa uang?” Betty berkata sebelum Toyo mengeluarkan lagi kata-kata kasarnya pada Mira dan Hendra.
“Betul yang Mama kamu katakan itu, Mira.” Toyo membenarkan ucapan Betty.
“Tapi, semua bisa mengalir sepanjang perjalanan dan seiring berjalannya waktu, Om. Hendra janji nggak akan membuat Mira hidup menderita.”
“Persetan dengan janjimu itu! Berandalan yang tidak memiliki bakat apa-apa. Palingan hanya menjadi kuli angkut di pasar sana!”
“Cukup, Pa! Kalau memang Papa dan Mama nggak memberikan restu untuk kami, nggak masalah. Tapi, Mira tetap akan menikah dengan Hendra. Dengan atau tanpa persetujuan dari Mama dan Papa,” ucap Mira dengan nada tinggi. Membuat Hendra, Toyo, dan Betty cukup terkejut mendengar keberanian atas keputusan gadis itu.