Warlords Putih

2371 Kata
“Jadi apa yang harus aku lakukan pertama kali?” Anak lelaki yang berambisi itu bertanya pada Odi si Dwarf yang berevolusi. Ia berencana untuk mengembalikan Ashara pada pemilik aslinya, Melusine. Seperti yang disarankan Odi padanya, demi mendapat gelar The Victor dan menjadi penguasa Shatranj seperti yang ia idamkan. “Kau harus mencari tahu di mana Tuan Carl menyimpan Asharanya, Tuan Muda.” Halum mengelus-elus dagunya sambil berpikir. “Benar, aku harus temukan itu terlebih dahulu. Tapi, bukankah menemui Carl adalah langkah yang harus kulakukan lebih dulu? Di mana aku bisa bertemu dengan Carl?” Seperti yang sudah-sudah, makhluk kerdil itu mengacungkan telunjuknya. Mata Halum seketika berbinar. Ia tahu, ketika makhluk itu mengeluarkan jari telunjuknya, maka sesuatu yang menakjubkan akan terjadi. Benar saja. Muncul layar dari jari telunjuk Odi yang bersinar. “Biasanya Carl melakukan latihan di Whiterdam. Sebelah selatan Menara Putih.” “Whiterdam? Apa itu?” Layar yang keluar dari telunjuk Odi itu menampilkan isi dari Menara Putih. “Kurasa aku tahu tempat ini, ini adalah pilar-pilar besar di mana aku bertemu dengan para Kawula pertama kali, benarkan?” Makhluk kerdil itu mengangguk. Itu memang tempat mereka bertemu dengan Kawula yang sedang menyiapkan makan malam. Setelahnya, gambar itu berjalan seolah seseorang sedang memegang kamera dan menunjukan jalan menuju ke sebuah tempat. Winessa belum pernah menceritakan tentang Whiterdam sebelumnya. Sepertinya, banyak hal yang belum sempat Halum dengar dari perempuan itu. Termasuk kisah Melusine dan Asharanya yang hilang seperti yang dikatakan Odi. Gambar itu menuju ke arah dapur Menara Putih, tempat para Kawula menyiapkan segala bahan masakan untuk jamuan makan malam, makan siang, sampai pesta kerajaan. Namun, gambar itu mengambil arah sebaliknya. Menuju ke sebelah kanan melewati lorong panjang yang hening. Setelahnya, ada sebuah pintu gerbang besar yang terlihat di sana. “Tempat khusus latihan para Askar.” Setelahnya, gerbang itu terbuka lebar seolah menyambut Halum secara virtual. Anak itu terus membulatkan mata. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tempat yang terpampang di layar yang berasal dari telunjuk Odi terlihat seperti stadion yang dialih fungsikan menjadi tempat berlatih pedang, tempat ini bahkan lebih besar dua kali lipat dibanding stadion yang pernah didatangi Halum di dunianya dahulu bersama sang Ayah. “Ini terlihat seperti di duniaku, Odi. Tapi lebih luas lagi. Kami biasanya menggunakan ini untuk bermain sepak bola. Kau tahu sepak bola? Itu lho, yang ditendang-tendang. Apakah di sini tidak ada permainan seperti itu?” Makhluk kerdil itu tersenyum mendengar penjelasan anak lelaki itu, sementara mata anak lelaki itu masih memandang takjub ke arah layar yang dipertontonkan Odi. “Sepertinya di tempat ini Tuan Muda akan menemukan lebih banyak permainan yang seru. Tuan Muda akan menyukainya.” “Seperti?” “Nanti juga Tuan Muda tahu sendiri.” Anak itu memajukan bibirnya setelah dibuat penasaran oleh Odi. Setelahnya, anak itu kembali terpaku pada layar yang masih menunjukkan tentang Whiterdam. “Di Whiterdam, ada ruang khusus yang biasanya Carl pakai untuk latihan pedang.” “Yang mana? Kenapa tak kau tunjukkan padaku? Apakah di sebelah sana?” Halum membiarkan telunjuknya menyentuh bayangan yang keluar dari telunjuk Odi. Anak itu menunjuk ke sebuah tempat di ujung Whiterdam yang memiliki tangga menurun ke bawah. Namun, seketika gambaran tentang Whiterdam yang keluar dari telunjuk makhluk kerdil itu lenyap. “Kenapa gambarnya hilang?” Anak lelaki itu menganga. Ia memandang Odi dengan kebingungan. Ia bahkan belum mendapatkan jawaban tentang tempat latihan Carl. “Aku tidak bisa menunjukkannya lewat gambaran ini, Tuan Muda. Ada beberapa tempat di Menara Putih yang tak bisa kau lihat dengan virtual dari telunjuku. Kau bisa mendatanginya secara langsung karena kau pasti memiliki akses istimewa untuk mengunjungi semua tempat di Menara Putih. Bahkan, tempat rahasia sekali pun.” Anak lelaki itu mengangguk. Paham dengan penjelasan Odi yang mudah dimengerti. “Intinya, aku harus menemukan Carl terlebih dahulu, bukan?” Pertanyaan yang keluar dari bibir anak lelaki itu disusul dengan anggukan dari kepala Odi. Setelahnya, ia melangkah pergi meninggalkan kamar. Tak lama, anak itu kembali ke kamarnya. Mungkin baru sampai anak tangga ke tiga. Anak lelaki itu segera memutar badan dan menemui Odi yang bahkan tidak bergeser sedikit pun dari tempat duduknya. Odi yang melihat tingkah aneh anak lelaki itu kemudian bertanya, “Ada apa, Tuan Muda?” “Sepertinya aku lupa sesuatu.” “Apa itu?” Halum kembali duduk di depan Odi. Duduk bersila dan menyilangkan kaki. Anak lelaki itu menatapnya dengan serius. “Ibu pernah bercerita padaku, Odi.” *** Hari itu, Whiterdante turun salju sejak pagi. Langit kelabu, tidak terlihat matahari yang merangkak naik dan bertengger di atas kepala. Dingin menyeruak, bahkan menyelusup ke celah-celah selimut. Seorang lelaki bertopeng menghunus pedangnya berkali-kali pada manekin yang ia jadikan target latihan. Lelaki itu terlihat sedang mengayun pedang dengan penuh amarah. Matanya memang belum berubah menjadi merah seperti dalam fase ingin membunuh, tapi emosi menyelimuti tubuhnya yang kekar. Tak lama, seorang lain terdengar mengetuk pintu. Demi mendengarnya, lelaki bertopeng itu menghentikan permainan pedang dan menoleh ke sumber suara. Dilihatnya seseorang yang ia kenali. Lalu, perlahan seseorang itu masuk dan membisikkan sesuatu setelah lelaki bertopeng itu memberi isyarat kalau seseorang itu boleh datang dan bicara padanya. Setelah mendengar kabar yang disampaikan salah seorang askar yang tiba baru saja, lelaki berpedang itu bergegas meninggalkan boneka manekin yang sudah hancur berantakan. Hari itu, terhitung beberapa purnama setelah ia tidak lagi memiliki hati. Penghuni Shatranj memang sudah menghentikan tangisannya untuk melepas Joulie maupun Pion. Namun, kesunyian dan kehilangan masih terpancar di mata-mata mereka. Begitu pula dengan Carl yang jelas-jelas menjadi peran utama dalam duka kehilangan sang anak. Lelaki itu menjadi dingin. Tidak terlihat lagi senyuman hangat seperti dahulu. Tiada lagi Carl yang dengan mudah membalas sapa siapa pun yang berlalu. Lelaki bertopeng itu berjalan menuju tempat yang dikatakan seorang Askar tadi. Bertempat di selatan Sadest, tempat yang paling rawan dimasuki penyusup dari Blason, wilayah kegelapan. Carl terlihat begitu gagah. Ia berjalan membelah Sadest yang selalu dingin, meski tidak sedingin hari ini. Pedang yang tadi ia pakai untuk berlatih, masih pada sangkarnya. Sejauh mata memandang, hanya ada pinus-pinus menangis. Namun, lelaki bertopeng itu tidak merasa terganggu sedikit pun. Ia menyukainya. Lelaki bertopeng itu menyukai ketika pinus-pinus itu mulai mengeluarkan tangisan seakan turut merasakan kesedihan yang bersemayam di d**a lelaki itu. Baginya, tangisan pinus adalah alunan indah yang bisa ia nikmati, bahkan setiap hari. Lelaki bertopeng itu bersembunyi di balik  salah  satu pohon pinus besar ketika ia mendengar suara pergerakan dari yang ia pikir lawan. Seseorang pasti ada di sekitar sini, begitu pikirnya. Rupanya, firasat lelaki bertopeng itu tidak pernah salah. Satu orang Kawula berbaju hitam yang entah bagaimana bisa tersesat di dalam Sadest nampak kebingungan dan ketakutan. Dengan bajunya yang terlihat  agak compang-camping, Carl berpikir bahwa Kawula itu jelas lari dari Forestan yang menjadi batas akhir Wilayah Blason sebelum memasuki Sadest di Whiterdante.  Mahluk-mahluk di Forestan pasti mengejarnya. Ditambah, ia kebingungan dengan segala suara yang Sadest keluarkan. Tangisan pinus yang bagi kebanyakan orang terdengar seperti kutukan. Kejadian ini terjadi sebelum adanya Woolis yang  termantrai. Baik pasukan Blason maupun Askar yang dikirim Whiterdante, mereka bisa menyeberangi perbatasan dengan begitu mudah jika saja mereka memang lihai menghindari makhluk-makhluk buas di Forestan maupun akar cuat dan tangisan pinus di Sadest. Maka, rentan bagi tiap-tiap kubu untuk dimasuki  penyusup, ditambah mereka yang menjadi mata-mata adalah orang-orang yang benar-benar terlatih. “Kau mungkin bisa selamat lari dari cengkraman mahluk buas di Forestan hari ini, tapi tidak dari cengkramanku.”  Lelaki bertopeng itu sudah bertekad, bahkan sebelum Kawula itu benar-benar tertangkap oleh matanya. Ketakutan terlihat jelas di mata perempuan bergaun hitam yang compang camping itu. Ditambah, keletihan yang masih menggelayut di tubuhnya setelah lari begitu jauh. Ia ambruk di antara pinus-pinus yang masih menjadi pemandangan di kiri dan kanan. Mata perempuan itu masih bisa melihat dengan jelas. Telinganya pun masih mendengar tangisan-tangisan pinus yang begitu pedih. Sampai  akhirnya ia menengadah setelah merasakan ada orang lain di sekitarnya. Dari kejauhan, ia melihat seseorang berpedang yang berjalan ke arahnya. Demi melihat lelaki berpedang itu mendekat, perempuan itu bangkit dengan sisa kekuatan yang ia miliki. Jelas, seseorang itu sedang mengejarnya. Maka, Kawula itu harus lari, sejauh mungkin. Sampai tak terlihat lagi. Beberapa pinus sudah ia lewati, sesekali ia menoleh ke belakang, melihat lelaki yang masih nampak di pandangannya menyeret pedang ke jalanan yang dipenuhi salju. Lelaki itu tidak berlari. Ia melangkah pelan tapi pasti. Carl tahu, bahwa Kawula itu tidak akan kuat berlari lebih jauh lagi. Benar saja, perkiraan lelaki bertopeng itu tidak pernah meleset. Tidak lama setelahnya, perempuan itu jatuh tersungkur. Dengan sisa tenaga, ia masih berusaha untuk bergerak. Namun, apa daya. Takdir memang berkata bahwa hari itu, ia harus kehilangan nyawanya, meski bukan karena makhluk buas di Forestan sana. Carl si Warlord Putih itu sudah berdiri tepat di depan Kawula. Perempuan itu menengadah. Tatapnya beradu dengan mata lelaki yang masih memegang pedang di tangannya. Mata itu terkunci dengan mata Carl yang sudah berubah menjadi merah. Mata yang selalu ia gunakan saat ia ingin menghabisi nyawa seseorang. Sampai akhirnya, Kawula yang bertatapan dengan lelaki bertopeng itu membeku. Tubuh itu tak bisa bergerak lagi. Seolah kaku bagai sebatang kayu. Ia diam di tempat. Lelaki itu menatapnya tajam. Ia menggenggam pedang dan siap untuk menghunusnya. “Mengapa kau berusaha begitu keras?” Lelaki itu bertanya dengan suara beratnya. “Bukankah pada akhirnya kau memang ditakdirkan untuk mati?” Dan kalimat tanya itu, menjadi awal pertemuan dan salam perpisahan baginya dan perempuan yang lehernya sudah terpenggal. *** “Bukankah itu sangat menakutkan, Odi?” Anak lelaki itu baru selesai menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh ibunya. Ia masih duduk di hadapan Odi yang terlihat mendengarkan dengan begitu saksama. “Kisah itu memang benar terjadi, sekitar beberapa purnama setelah kematian Joulie, anaknya.” Makhluk kerdil itu tahu, karena ia memang ada di sana. Ia pula yang mengirim Askar ke dalam ruang latihan Carl. Makhluk kerdil itu lebih tahu, dari siapa pun. Halum menelan ludah. Kisah yang diceritakan Winessa padanya ternyata memang benar. Bahwa lelaki yang kini akan ia dekati adalah seseorang yang sangat mengerikan. Anak itu berpikir bahwa ia bisa terbunuh kapan pun. “Apakah Carl melampiaskan kemarahan atas kematian Joulie?” Anak lelaki itu bertanya lagi yang kemudian disusul dengan jawaban Odi yang mengangkat bahu. “Aku tidak tahu pasti. Bukankah ibumu pasti bercerita, kalau Tuan Carl adalah pembunuh berdarah dingin?” Senyuman aneh terlihat tersungging di bibir makhluk kerdil itu. “Sejak pertama aku membuka mata di tempat ini, belum pernah kutemui Carl barang sekali pun. Apakah ia memang semengerikan itu? Tapi, jika memang ia seorang pembunuh, mengapa ia membawaku ke sini alih-alih memenggal leherku seperti yang ia lakukan pada perempuan itu?” “Karena ia tahu, kau ada di pihak kami, Tuan Muda.” Halum mengelus-elus dagunya. “Lalu bagaimana dengan mata merah itu?” “Itu tidak berlaku pada Whichessenova. Dan mungkin padamu, karena kau seorang utusan langit. Ketika Carl berada di sekitar Whichessenova, hamba tidak pernah sekali pun melihatnya mengeluarkan mata yang merah itu, Tuan Muda.” “Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan Ashara jika Carl ternyata semenakutkan itu?” Halum mulai mondar-mandir. Ia masih berpikir, apa yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan Ashara kembali. “Sepertinya, ia selalu membawa hal penting itu di saku. Seperti Melusine yang tiba-tiba murka setelah melihatnya melintasi Riveria. Mungkin karena Ashara terlihat olehnya.” “Benar, Odi. Yang perlu kulakukan adalah berada di sekitar Carl!” *** Anak lelaki itu menyusuri pilar-pilar tinggi yang berwarna putih. Sampai akhirnya pada ujung ruangan itu, ia berbelok ke sebelah kanan. Melewati lorong panjang yang hening, sama seperti yang ditunjukkan Odi padanya. Ia menemukan sebuah pintu yang besar di sana. Anak itu menarik napas panjang. “Kalimat apa yang harus kuucapkan pertama kali?” Ia mondar-mandir di depan pintu. Merasa kikuk karena harus datang secara tiba-tiba dan mengakrabkan diri dengan makhluk mengerikan yang lihai bermain pedang. “Haruskah aku menyapanya? Hai, aku Halum, siapa namamu? Tidak, itu terdengar menjijikan.” Anak itu masih berlatih sebelum memutuskan untuk membuka pintu. “Halo, Carl. Aku dengar kau yang menyelamatkanku dari Sirenia. Kerja yang bagus. Ah! Tidak! Masa begitu? Terlihat sangat tidak alami! “ Langkahnya tiba-tiba berhenti tepat di depan pintu. Sekali lagi, ia menarik napas yang panjang. Meski hatinya berdebar karena cemas, anak itu akhirnya membuka pintu. Kepalanya menyumbul dari balik sana. Ia melihat Carl masih bermain dengan pedangnya dengan begitu lihai. Tiba-tiba, pedang itu mengacung ke arah Halum. Anak lelaki itumenelan ludah. Carl bahkan terlihat lebih menyeramkan sekarang. “Ah, Tuan Muda. Aku sudah mendengar kabar tentangmu. Suatu kehormatan kau mendatangiku lebih dulu.” Di luar dugaan Halum, lelaki itu membungkukkan badan begitu tahu seseorang yang baru saja tiba adalah dirinya. “I-iya. Aku juga sudah mendengar banyak tentangmu dari Odi.” Halum menjawab dengan gugup. “Ada yang bisa kubantu, Tuan Muda?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Carl. “Aku ingin mengucapkan Terima kasih karena telah menyelamatkanku dari Sirenia.” “Sudah kewajibanku, Tuan Muda.” Lelaki bertopeng itu menunduk lagi dengan tangan yang ia letakkan di dadanya. Lalu, anak lelaki itu mengedar pandang. Di bawah sana, terlihat banyak askar yang sedang memainkan pedang mereka. Melihat ekspresi Halum yang begitu tertarik dengan permainan yang mereka mainkan, Carl rupanya menangkap sesuatu. Kemudian ia bertanya. “Apa kau ingin mencobanya juga?” Carl berjalan ke sudut ruangan. Menuruni tangga yang rupanya hanya berisi tiga pijakan saja. Sebuah ruangan yang tidak Odi tunjukkan tadi. Lelaki bertopeng itu mengambil sebuah pedang berwarna perak. Tidak lebih besar dari miliknya. Sangat pas untuk Halum. “Raja seringkali berkata padaku bahwa kau akan datang. Untuk itu, aku sudah persiapkan ini untukmu.” Carl menyodorkan pedang perak tersebut. Anak lelaki itu menerimanya, dengan mata yang membulat. Ia terkagum-kagum dengan pedang tersebut. “Luar biasa,” ujarnya yang sedetik kemudian memalingkan wajah ke belakang. ‘Sadarlah, Halum. Ingat tujuanmu untuk mendapatkan Ashara.’ Anak lelaki itu membatin. Ia tidak boleh terlena dengan hal lain sebelum mendapatkan Ashara itu kembali. Ia harus melakukannya, demi menjadi The Victor. “Ada apa, Tuan muda? Kau tidak menyukainya?” Dengan cepat Halum menggeleng dan tertawa kikuk. “Ahaha, tidak. Aku menyukainya. Sungguh.” Halum menarik pedang itu dari sangkarnya. Ia tidak berpikir bahwa pedang kini benar-benar ada di tangannya. ‘Dulu, aku hanya menggunakan pedang dalam video game. Hari ini, aku benar-benar memainkan pedangnya dengan tanganku sendiri.’ Halum mengacungkan pedang tersebut ke hadapan Carl si Warlords Putih. “Ayo, kita mulai!”

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN