Yang Terlewatkan

2188 Kata
Halum merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamar yang begitu terang. Malam ini, ia merasa benar-benar lelah. Dari mulai memilih setelan jas, sepatu, sampai makan malam dengan Whichessenova yang menghabiskan waktu berjam-jam. Padahal, ia baru saja sadarkan diri dari tidur yang panjang. Belum lagi, banyak hal-hal yang belum ia mengerti. Ada satu hal yang paling menggerayangi pikirannya. Sesuatu yang membuatnya menyesal sampai saat ini. Ia teringat pada hari di mana Hores memegang sebuah gulungan kertas usang yang mereka temukan di ruang penyimpanan. Andai hari itu ia sedikit saja mendengarkan perkataan adiknya, mungkin ia akan tahu lebih banyak tentang tempat ini. Meskipun terasa seperti mimpi dan sangat sulit dipercaya, beginilah akhirnya. Ia benar-benar terdampar di dunia yang Winessa sering ceritakan menjelang tidur saat mereka berdua masih kecil. “Aku akan memastikan bahwa ini benar-benar dunia yang ibu maksud.” Anak lelaki itu mulai bertekad. Jika benar ini adalah Shatranj yang sama dengan cerita Winessa, bukankah akan banyak hal menarik  yang bisa ia temukan? Ia mengingat-ingat bagaimana pertama kali tempat ini menyambutnya dengan pohon-pohon pinus dan hamparan salju. “Benar. Jika aku tidak salah ingat, tempat pertama aku membuka mata....” Ia ingat bagaimana tangisan pinus-pinus itu membuatnya berlari ketakutan. “Sadest? Hutan itu pasti Sadest!” Ia mengusap dahinya. Mencoba untuk berpikir dan mengingat-ingat kenangan masa kecil yang sudah lama ia lupakan. “Tapi, ibu tidak pernah cerita tentang akar yang mencuat dari tanah. Juga, kenapa aku bisa merasakan panas terbakar di tubuhku? Kenapa juga aku harus bersin terus menerus?” Ia bangkit dari pembaringan. Terduduk di tepian kasur. Anak lelaki itu mencoba berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepala. “Lalu, perempuan yang kutemui di dalam air? Bukankah artinya ia... Melusine? Si perempuan cantik dengan ekor ikan? Dan bukankah itu artinya sungai tempatku tenggelam adalah Riveria?” Ia kembali membantingka tubuhnya di ranjang. Semakin dalam ia mengingat, semakin ia tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi padanya dan apa yang ada di tempat aneh ini. “Ini pasti akan sangat menarik. Ditambah, aku terdampar di Menara Putih yang begitu mengasyikkan ini.” Tak lama, ketukan pintu membuatnya tersentak. Seketika pandangannya beralih ke sumber suara. “Maaf, Tuan Muda. Kau pasti terkejut.” Ternyata, makhluk kerdil itu yang muncul dari balik pintu. Membawa sesuatu di atas nampan. Berbentuk bulat seukuran ibu jari, terlihat bergerak-gerak, mungkin karena terguncang oleh langkah kaki Odi. “Apa yang kau bawa, Odi?” tanyanya begitu makhluk kerdil itu tiba di hadapannya. Makhluk kerdil itu berdiri menghadap Halum. Ia menenggakan kepala karena Halum terlalu tinggi. Sulit menjangkaunya di atas ranjang. Melihat hal tersebut, Halum terkekeh. “Haha, baiklah aku akan turun.” Lagi-lagi Halum tertawa karena Odi. Jika sedang bersamanya terlebih ketika Halum duduk atau berbaring di atas ranjang, ia bagaikan raksasa yang berbicara dengan semut. Meskipun kenyataannya, Odi tidak sekecil itu. Anak lelaki itu menyejajarkan diri dengan Odi. Ia berdeku lalu tersenyum seraya bertanya, “Apa ini, Odi?” “Espera,” jawab Odi. Anak lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Apa itu Espera?” Sama seperti Lavorta, ia belum pernah mendengar tentang Espera sama sekali. Winessa tidak pernah bercerita. Rupanya, banyak hal yang terlewatkan olehnya. “Kita bisa menyebutnya camilan, mungkin?” Makhluk kecil itu menjawab dengan senyuman. Halum mengambil salah satu bola-bola yang bergerak di atas nampan itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. Tak lama dahinya mengkerut dan ia memuntahkan makanan itu. Ekspresi anak lelaki itu terlihat begitu lucu. “Mengapa rasanya aneh sekali? Aku tidak suka ini, Odi! Tidak enak sama sekali!” Makhluk kerdil di depannya itu tertawa. Jelas, Halum tidak akan menyukainya karena cara penyajian yang salah. “Bukan begitu cara makannya, Tuan Muda.” Namun, Halum sudah terlanjur berpikir bahwa cemilan itu memang tidak sesuai dengan mulutnya. “Tidak, aku tidak ingin itu! Aku tidak suka, Odi,” ujarnya pada Odi si asisten pribadinya itu. Namun, makhluk kerdil itu tidak menghiraukan perkataan Halum. Ia mengambil satu dan meletakan sisanya di meja tak jauh dari ranjang anak lelaki itu. Dengan sabar, ia menunjukkan cara menikmati Espera dengan benar. “Begini caranya, Tuan Muda. Coba perhatikan.” Anehnya, meskipun tadi Halum terlihat tidak peduli, matanya tetap memperhatikan pergerakan tangan makhluk kerdil itu. Odi menarik sisi yang sedikit terkelupas, lalu mengupasnya sampai Espera berubah warna menjadi putih terang dan berkilau seperti berlian. “Setelah ini, baru kau bisa menikmatinya.” Odi menyodorkan Espera yang sudah dikupas. Meski awalnya ragu-ragu, anak lelaki itu pada akhirnya meraih dan memasukkan Espera yang sudah dikupas itu ke dalam mulut. Halum terdiam beberapa jenak. Ia hanya berkedip sesekali. Bagaimana mungkin? Mengapa rasanya enak sekali? Ingin rasanya Halum berteriak karena rasa Espera yang begitu nikmat memanjakan lidahnya. “Mengapa ini enak sekali, Odi? Tapi, sepertinya ia bergerak-gerak di dalam mulutku.” Lagi-lagi, makhluk kerdil itu tersenyum ke arah Halum. “Espera memang memiliki sensasi seperti itu. Kau menyukainya, Tuan Muda?” “Sangat! Aku sangat menyukainya Odi!” Terdengar plin-plan memang, tapi Espera ini benar-benar nikmat! Aku menyukainya! Bahkan lebih menyukai ini daripda coklat koin Paman Sam! “Bolehkah aku meminta satu lagi?” Halum memasang bibir tersenyum yang begitu manis. Ia mencoba merayu Odi dengan wajahnya itu. Meskipun ia tahu, tanpa dirayu pun makhluk kerdil itu tetap akan menuruti semua permintaannya. “Dengan senang hati. Kau boleh meminta sebanyak yang kau mau,” jawabnya. Makhluk kerdil itu kembali mengupas Espera untuk Halum. Malam itu, Halum benar-benar menyukainya. Ia benar-benar menyukai fakta bahwa ia terdampar di tempat ini. Ia menyukai Odi, Whichessenova, Lavorta, Espera, dan semua yang ada di Menara Putih. Semuanya. “Ah, benar. Odi, kau tahu tempat pertama kali mereka menemukanku?” Tiba-tiba, anak itu teringat sesuatu. Rasa penasaran yang mungkin saja Odi tahu jawabannya. Maka, anak lelaki itu bertanya, sementara Odi hanya membulatkan mata dan balik bertanya. “Sadest?” “Benar! Hutan dengan banyak pohon pinus itu. Itu Sadest, kan?” Odi menganggukan kepala. “Lalu mereka?” Anak itu bertanya lagi. “Mereka siapa?” Makhluk kerdil itu memiringkan sedikit kepalanya. “Mereka yang membawaku ke sini.” “Oh, Tuan Elte dan Tuan Carl.” “Elte? Carl? Siapa mereka? Apa mereka sebangsa denganmu?” Halum mengernyitkan dahi. Makhluk kerdil itu menggelengkan kepala. “Orang kepercayaan Raja. Carl adalah seorang Warlords dan Elte adalah sebangsa Elephas.” “Warlords? Aku tahu itu! Manusia bertopeng itu kan? Yang matanya bisa berubah warna? Bukankah dia senang membunuh? Dan Elephas, bukankah dia manusia gajah? Benarkan? Bagaimana bisa mereka menyelamatkanku?” Odi mengambil satu buah Espera lagi, mengupas dan menyodorkannya pada Halum yang memberondong Odi dengan banyak pertanyaan. Anak lelaki ini memang banyak ingin tahu, tapi Odi tidak pernah kehabisan kesabaran. Ia tetap tersenyum meski diserang banyak pertanyaan. “Sore itu mereka sedang berburu rusa di Sadest. Namun, anak panah yang digunakan Tuan Carl meleset dan membuat rusa kabur ke tepian Riveria. Di sanalah mereka menemukanmu mengapung.” “Tapi, mengapa mereka menyelamatkanku, Odi?” Anak lelaki itu masih merasa penasaran. Mengapa ia harus diselamatkan? Bukankah ibunya bilang kalau Warlords tidak memiliki hati? “Sebelumnya, Raja memang mengutus Askar untuk berjaga di Sadest. Raja sedang menanti seseorang. Tidak ada yang tahu pasti di mana, tapi kami meyakini bahwa seseorang itu akan jatuh di sekitar Woolis.” “Jadi, Whichessenova memang sudah tahu aku akan datang?” Makhluk kerdil itu beranjak. Berjalan mendekati jendela. Disusul anak lelaki yang penasaran dengan apa yang akan makhluk itu lakukan di sana. “Langit memang sudah memberi tanda.” Lagi-lagi Halum menaikkan alisnya. Mengapa ia selalu mendapatkan jawaban yang harus membuatnya berpikir terlebih dulu? “Utusan langit. Kau adalah utusan langit. Kandidat The Victor yang akan melepaskan kutukan hitam putih di Shatranj ini, Tuan Muda.” “Aku? Apa tadi? The Vic-“ “The Victor. Penguasa Shatranj yang sesungguhnya.” Halum tertegun. Utusan langit. Winessa pernah menceritakan ini. Namun The Victor? Winessa tidak berkata apapun tentang Victor. Winessa hanya berkata kalau utusan langit adalah mereka yang terpilih untuk menyelamatkan Shatranj. Bukan sebagai penguasa Shatranj yang sesungguhnya. “Kau adalah harapan untuk kami, Tuan Muda.” Odi memandang jauh ke luar jendela. Mengamati Shatranj yang kini sangat jauh berbeda, sejak pertempuran terakhir yang menyebabkan hitam dan putih tersisa di dunia yang mereka singgahi kini. “Ah, iya. Kau bilang aku tak sadarkan diri selama seminggu.” Odi tidak menoleh. Makhluk kerdil itu masih memandang jauh ke luar jendela. “Benar, sejak mereka membawamu kemari dengan banyak luka dan basah kuyup, kau tidak sadarkan diri.” Halum mendekatkan wajahnya ke Odi. Turut mengeluarkan kepalanya di jendela yang terbuka itu. Ia mulai membuka telinga, mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Odi. Dulu, Winessa seringkali menceritakan kisah sebelum tidur. Nampaknya ia rindu moment seperti itu. Ia rindu seseorang menceritakan sebuah kisah untuknya sebelum ia terlelap. “Dari pertama Raja Whichessenova mendengar kabar kau ditemukan, ia sudah tahu bahwa kau adalah utusan langit, Tuan Muda.” Anak lelaki itu menganggukkan kepala. “Raja memanggil Doka, tabib terbaik di Whiterdante untuk merawatmu. Setiap pagi, Raja akan mendatangi kamarmu demi melihat kau baik-baik saja dan melihat perkembanganmu setiap waktu melalui Hamba.” Lagi-lagi anak lelaki itu mengangguk. “Tapi, hamba masih penasaran. Siapakah yang menyakitimu, Tuan Muda?” Akhirnya, anak lelaki itu duduk pada sofa putih di bawah jendela. “Aku juga tidak tahu siapa dia, Odi. Hari itu semuanya amat membingungkan. Sebenarnya sampai detik ini pun semuanya tak masuk akal bagiku.” Makhluk kerdil itu duduk di lantai, berhadapan dengan Halum yang mulai bercerita. “Hari itu aku melihat cahaya yang begitu terang. Aku mendekatinya dan sampailah pada tempat di mana aku melihat kegelapan di depanku. Di sana, tiba-tiba saja aku merasa panas di sekujur tubuh. Ditambah aku bersin berkepanjangan. Akhirnya aku berlari membelah pinus-pinus yang tinggi dan berjajar rapi. Namun, pinus-pinus itu menggangguku dengan tangisan. Aku berlari sekuat yang kubisa berharap menemukan air yang bisa menghilangkan rasa panas yang membakar kulitku. Tak lama, akar-akar mencuat dari tanah. Mereka menarik kakiku sampai aku jatuh dan tercebur di sungai air susu.” “Dan begitulah caranya kau sampai di Riveria, tempat abadi Melusine?” Kemudian Halum mengangguk. “Setelah masuk ke dalam air, rasa terbakar di kulitku seketika lenyap tak bersisa. Begitu pun bersin yang terus mengganggu hidungku. Tapi, mengapa rasanya aneh? Permukaan sungai itu terlihat seperti s**u. Namun, ketika aku tenggelam, airnya bening sekali. Bahkan aku bisa melihat bebatuan yang ada di dasar sungai, Odi.” Makhluk kerdil itu hanya tersenyum, “Lalu?” Ia kembali bertanya. Membiarkan Halum menuntaskan ceritanya. “Aku melihat seorang wanita cantik di dalam air. Anehnya, napasku terasa lebih panjang. Aku kuat berlama-lama di dalam sana. Bahkan lebih kuat dari saat aku ujian menyelam dengan Mister Souch. Rasanya seperti aku berubah menjadi ikan yang bernapas dengan insang di dalam air. Kau paham kan, Odi?” Makhluk kerdil itu lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala. “Setelahnya, terdengar nyanyian yang sering ibuku tembangkan ketika kami akan terlelap. Menjelang tidur, biasanya ibu akan nyanyikan itu untukku dan untuk adikku. Aku hafal nadanya. Terdengar begitu mirip dengan yang kudengar di dasar air.” Odi masih mendengarkan cerita Halum dengan baik. Ia tidak melewatkan satu pun kata yang keluar dari bibir tuannya. “Awalnya aku berpikir bahwa itu ibuku. Tapi, saat wanita yang kupikir ibuku itu mendekat, wajahnya berubah. Menjadi benar-benar menyeramkan. Mulutnya menyeringai sampai sudut bibirnya sobek. Ia memperlihatkan gigi-giginya yang tajam, seolah ingin mencabik-cabik dan mengoyak tubuhku sampai tak bersisa.” “Sirenia?” Halum melempar pandangnya ke Odi. “Sirenia? Benar! Ibuku pernah bercerita tentangnya. Tentang Melusine yang memiliki dua kepribadian. Sirenia. Makhluk itu pasti Sirenia.” Odi beranjak, ia mengambil Espera dan mengupasnya lagi untuk Halum. Kemudian menjulurkan Espera yang disambut dengan senyuman dari anak lelaki itu. “Terima kasih,” katanya setelah mengambil Espera dari tangan Odi. Makhluk kerdil itu membalas senyum. Ia kembali duduk di hadapan Halum. “Ibuku pernah bilang, Sirenia akan merasuki Melusine ketika seseorang mengancam dirinya. Tapi, aku tidak melakukan apapun. Aku bahkan tidak tahu kalau itu adalah Melusine! Aku tidak mencoba untuk menyakiti Melusine. Mengapa mahluk itu mengeluarkan sisi jahatnya padaku?” “Mungkin, ibumu belum menceritakan semuanya.” “Benarkah? Tapi, kurasa ibuku cukup banyak bercerita. Meskipun hal-hal kecil seperti Espera dan Lavorta tidak sempat ia ceritakan padaku.” “Berati ada kisah yang ia lewatkan. Kisah yang cukup penting untuk kau ketahui, Tuan Muda.” “Benarkah?” Anak itu kembali memajukan wajahnya. Rasa penasaran tidak pernah ada habisnya ketika Odi mulai bercerita. Selalu ada hal baru yang ia ketahui dari makhluk kerdil itu. “Apa itu Odi? Kisah apa yang telah aku lewatkan?” Suasana tiba-tiba berubah, menjadi mencekam. Hawa dingin dari jendela menyelusup ke tulang. Anak lelaki itu mengusap-usap lengannya sesekali. “Mengapa tiba-tiba rasanya dingin sekali.” Odi tersenyum lagi. Senyuman yang berbeda menurut Halum. Tidak sama dengan senyumnya beberapa waktu yang lalu, saat dirinya mengucapkan terima kasih karena Espera, atau ketika Odi tersenyum karena ulah Halum. Tak lama, Mahluk kerdil itu bangkit dari duduknya. “Mari kita tutup jendelanya terlebih dahulu,” katanya. Odi memandang ke luar dan menarik napas berat beberapa jenak sebelum ia menutupnya. “Jadi, kisah apa yang telah aku lewatkan, Odi?” Anak itu terlihat tidak sabaran. Ia benar-benar penasaran dengan kisah yang telah ia lewatkan. “Dulu....”      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN