Halum tersentak ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Setelah ia berkata, “Masuklah,” seseorang muncul dari balik pintu. Makhluk kerdil yang pertama kali ia temui saat membuka mata di tempat ini.
Makhluk itu membawa beberapa Kawula ke dalam kamar yang Halum tempati. Di sana, anak lelaki itu masih mengamati setiap sudut. Ia masih mengira bahwa dirinya benar-benar mati dan kini tinggal di surga. Ia masih merasa takjub dengan apa yang ia temui hari ini. Ia bahkan masih tak percaya kalau di sini, ia begitu diistimewakan. Sesekali anak lelaki itu tersenyum. Lalu membanting tubuh di atas kasur yang sangat hangat. Lebih hangat dan lebih luas dari tempat tidurnya dulu, saat masih tinggal bersama Winessa dan Hores. Ah, sepertinya ia juga sudah mulai melupakan kecemasannya. Anak itu bahkan terlihat baik-baik saja sekarang. Tidak lagi mengeluh, atau memanggil-manggil ibunya seperti terakhir kali ia merasakan panas yang membakar tubuhnya di Sadest.
“Permisi, Tuan Muda.”
Suara Odi membuatnya bangkit. Ia duduk dengan kikuk. Seolah baru tertangkap basah setelah melakukan dosa karena menikmati apa yang telah terjadi padanya. Makhluk kerdil itu tersenyum simpul. Sedikit lega melihat Tuan Mudanya mulai menyukai tempat tinggalnya sekarang. Sepertinya, ia akan mudah beradaptasi di tempat barunya ini.
Setelah Odi menundukkan kepala sejenak, makhluk kerdil itu mulai membiarkan para Kawula bergaun putih selutut itu berbaris. Masing-masing dari mereka membawa setelan jas untuk jamuan makan malam Halum dengan Whichessenova malam ini. Semuanya berwarna putih. Tidak ada maroon, kuning, navy yang dulu sangat digemari Halum, apalagi hitam. Warna yang menandakan perbedaan wilayah dan keberpihakan. Sekilas, ia melihat dengan cepat semua setelan jas yang dipegang para Kawula. Bagi anak lelaki itu, semua jas itu hampir tidak ada bedanya, selain dari model kerah, model lengan, dan beberapa aksesoris yang tertempel di sana.
“Silakan, Tuan Muda.”
Lagi-lagi anak lelaki itu terperangah. Tidak pernah sekali pun ia diperlakukan layaknya seorang pangeran dari kerajaan seperti ini sebelumnya. Bahkan kadang, ia harus berebut dengan Hores ketika mengambil pakaian di lemari, mengingat baju mereka ditempatkan dalam satu lemari yang sangat besar untuk mereka berdua.
‘Apa ini benar-benar disiapkan untukku?’ tanyanya dalam hati dengan mata yang tidak berkedip barang sebentar pun.
“Tuan Muda?” Odi mencoba untuk menyadarkan Halum yang seolah terhipnotis. Makhluk itu paham betul, bagaimana takjub nya anak lelaki itu pada Shatranj. Semua yang baru saja jatuh ke dalam dunia itu akan merasakan hal yang sama.
Masih dengan mata yang bergantian menatap satu persatu setelan jas yang disediakan, anak itu bertanya, “Ini semua disiapkan untukku?”
Makhluk kerdil itu mengangguk. Ia menjulurkan tangannya, mempersilakan Halum untuk memilih setelan jas mana yang akan ia kenakan untuk makan malam pertamanya dengan Whichessenova.
“Kelima setelan jas ini memang istimewa, tapi pilihlah yang menurutmu paling cocok untuk Tuan Muda.”
Anak lelaki itu mendekati setelan jas pertama, merupakan jas Single Brasted dengan dua kancing vertikal. Memiliki kerah yang melancip ke bawah. Lengan yang juga dengan dua kancing dan dasi berwarna putih. Ia melewatinya, lalu menggelengkan kepala. Ia tidak ingin jas yang itu. Entah, ia berpikir itu tidak terlalu cocok untuk dirinya yang baru saja beranjak dewasa.
Setelan jas ke dua, merupakan jas Double Brasted dengan enam kancing. Tiga kancing hidup dan tiga lainnya kancing dekoratif. Terdapat saku tempel di kiri kanan bagian bawah. Tak lupa dasi formal yang juga berwarna putih selalu hadir sebagai pelengkap.
“Tidak, ini terlihat begitu ramai, Odi. Aku tidak mau yang ini.”
Halum melangkah lagi, melewati setelan jas ke dua dan berdiri di depan setelan jas yang ke tiga. Tuxedo berwarna putih. Berbahan satin yang mengkilap. Ia meliriknya dari atas sampai bawah, tak sadar jemarinya menyentuh tuxedo tersebut. Tuxedo ini tidak terlalu ramai. Terlihat sederhana, tapi tetap terlihat berkelas. Ditambah dasi kupu-kupu yang selalu menjadi ciri khas tertempel di sana.
“Apa kau menyukainya, Tuan Muda?” Mahluk evolusi Dwarf itu bertanya yang kemudian disusul dengan anggukkan cepat dari Halum.
“Aku mau yang ini, Odi.”
Tanpa melihat dua setelan jas lainnya, ia dengan mantap memilih setelan jas yang ketiga.
“Pilihan yang bagus, Tuan Muda.”
Odi mengibaskan tangan, sebagai tanda kalau sisanya tidak dipilih oleh Halum. Para Kawula itu mundur satu persatu setelah mendengar pilihan Tuan Muda mereka. Seolah mengerti hanya dengan melihat kibasan tangan Odi. Setelahnya, makhluk kerdil itu menepuk tangan. Lima Kawula dengan rambut yang dikundai lainnya bergantian masuk ke dalam ruangan. Masing-masing dari mereka membawa sepasang sepatu.
Halum kembali terperangah. ‘Bahkan sepatu?’ Lagi-lagi matanya berbinar. Rasanya ia benar-benar istimewa.
Kawula pertama menjulurkan sepasang sepatu berwarna putih. Pentofel yang tidak bermotif, berujung lancip, dan memiliki pola tali tertutup. Anak lelaki itu menggelengkan kepala. Ia tidak menyukainya.
“Ini terlalu formal, Odi,” katanya pada Odi.
Mendengar perkataan Halum, Kawula pertama mundur. Kemudian Kawula kedua maju, menunjukkan sepatu yang ia bawa kepada sang Tuan Muda. Masih menggunakan tali, mempunyai motif seperti lubang-lubang kecil yang berfungsi untuk mengalirkan udara. Warna yang sama dengan sepatu sebelumnya, putih. Warna milik Whiterdante. Halum masih menggelengkan kepala. Setelahnya Kawula kedua beringsut mundur.
“Aku tidak suka modelnya,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia terlihat seperti seorang kolektor seni yang sedang memilih lukisan para seniman yang sangat perfeksionis dan memiliki nilai seni yang tinggi.
Kali ini, Kawula ke tiga maju. Menunjukkan sepatu pentofel yang sama berwarna putih, tapi tidak bertali. Single Monk Strap. Hanya ada satu strap dengan gesper di bagian atas. Lagi-lagi anak itu menggelengkan kepala. Tidak menyukai model sepatu itu hanya dengan meliriknya sebentar saja.
“Sepertinya tidak nyaman.”
Kawula ke empat maju, menjulurkan sepatu dengan tali dari bahan suede. Terlihat sederhana dan hangat, seperti sofa berbalut bulu beruang di ruangan Whicessenova. Anak itu menyentuh sepatunya. Namun, anak itu masih menggelengkan kepala. Sampai Kawula ke lima, masih dengan sepatu yang berwarna putih, ia juga menggelengkan kepala. Tidak ada satu pun sepatu yang ingin ia kenakan ada pada para Kawula itu.
“Aku ingin yang seperti sepatuku, Odi. Seperti sepatuku!” tukasnya pada makhluk kerdil itu.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, satu Kawula datang membawa sneakers putih.
“Yang ini! Tepat sekali! Aku akan pakai yang ini, Odi.”
Wajahnya terlihat senang. Seolah jatuh cinta pada pandangan pertama, ia telah melabuhkan hati pada sepasang sneakers putih yang baru saja tiba.
Sementara itu, tidak ada yang membantah kemauan Halum. Meskipun mungkin setelan tuxedo itu tidak cocok dipadu padankan dengan sepatu sneakers, mereka tidak bisa berkata apapun. Selama Tuan Muda mereka menyukainya, mereka akan setuju. Semua menganggukkan kepala. Apa pun yang Halum inginkan, mereka hanya akan menurutinya selama tidak bertentangan dengan perintah raja mereka, Raja Whichessenova.
“Baik, Tuan Muda. Kau bisa bersiap-siap dari sekarang. Mari,” ujar mahluk kerdil itu sembari menjulurkan tangannya ke arah pintu. Meminta Halum untuk meninggalkan ruangan.
Anak lelaki itu menurut. Ia mengikuti langkah Odi yang berjalan di depannya. Mereka mulai memasuki ruangan kecil di sebelah kamarnya. Ruangan berpintu kaca buram tertutup dengan otomatis ketika Halum sudah menginjakkan kaki di sana.
‘Apakah ini sebuah kamar mandi?’
Ia menemukan bath up yang sudah terisi air hangat. Aroma mint lagi-lagi tercium dari segala sudut. Halum tersenyum. Ia menyukainya. Ruangan ini, bath up, aroma mint, anak itu menyukai semuanya. Ia mulai memasukkan kaki ke dalam bath up dan perlahan menenggelamkan sedikit demi sedikit bagian tubuhnya hingga hanya terlihat bagian dadaa ke atas. Ia merasakan air hangat mulai menjalari tubuhnya yang dingin.
“Ini benar-benar menyenangkan.”
Perlahan, busa memenuhi permukaan bath up. Halum memainkan busa, meletakkan ke seluruh tubuhnya dengan gembira. Anak itu benar-benar senang. Ia bahkan hampir melupakan beberapa waktu lalu, ketika ia berteriak ketakutan, memanggil Winessa berkali-kali.
***
Anak lelaki itu sudah berdiri di depan pintu besar berwarna putih. Setelah beberapa kali mematut diri di cermin, ia sudah siap untuk jamuan makan malam pertamanya dengan Sang Raja Whiterdante, Whichessenova.
Terlihat sedikit kegugupan di raut wajah anak lelaki itu. Ia belum bertemu dengan Whichessenova sebelumnya, sejak ia menginjakkan kaki di Menara Putih dan sejak ia membuka mata. Anak itu menarik napas panjang. Ia mulai melangkahkan kaki, ketika pintu besar itu terbuka.
Hari ini, entah untuk ke berapa kalinya anak itu membuat ekspresi terperangah. Ia membulatkan mata, mengedar pandang ke segala sudut dan tidak berkedip sama sekali. Ini benar-benar terjadi. Sesuatu yang ia pikir hanya ada di televisi itu kini terpampang nyata di depan mata kepalanya sendiri. Tadi, Odi tidak menunjukkan padanya interior ruangan ini. Hanya terlihat bagian depan dari ruangan yang disuguhkan di layar yang keluar dari telunjuk makhluk kerdil itu.
Whichessenova rupanya sudah lebih dulu tiba. Lelaki itu duduk di kursi paling ujung. Kursi kesukaannya. Berbahan jati yang diwarnai putih dengan ukiran burung elang pada bagian atasnya. Di hadapannya, meja panjang dengan berbagai macam hidangan sudah tertata sedemikian rupa. Gelas-gelas kaca yang elegan, piring-piring bulat mengkilap, ditambah beberapa lilin mempercantik jamuan makan malam ini. Mereka memang hanya makan berdua malam ini, tapi seisi meja terisi penuh dengan berbagai macam jamuan, seolah keluarga besar tengah berkumpul untuk merayakan sebuah pesta. Lelaki itu tersenyum, seakan-akan menantikan anaknya yang baru saja pulang setelah sekian lama terpisah darinya.
“Kemarilah, Halum.”
Lelaki itu bersuara masih dengan senyuman di bibirnya. Halum mengangguk pelan.
‘Rupanya dia sudah tahu namaku,’ batinnya.
Salah satu Kawula menarik kursi, mempersilakan Halum untuk mendudukinya. Persis seperti ketika ia makan di restoran bintang lima dengan pelayanan yang sangat bagus saat menghadiri acara teman Winessa.
“Terima kasih,” ujarnya setelah duduk di kursi yang disediakan.
Halum memandang Whichessenova yang duduk di seberangnya. Ia mengamati wajah lelaki itu. Dahinya mulai mengkerut. Wajah yang ia perhatikan itu rasanya tidak asing baginya.
‘Mengapa rasa-rasanya aku kenal lelaki ini?’ Anak lelaki itu terus membatin. Firasatnya berkata bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya.
Lelaki itu menjentikkan jemari. Salah satu Kawula menghampirinya dengan sebuah botol minuman berwarna merah darah. Itu pertama kalinya Halum melihat warna lain di tempat ini. Sejak pertama datang, ia hanya melihat putih yang tersebar di mana-mana. Tidak di kamar, di pakaiannya, di sepatu, bahkan di rambut lelaki yang duduk di seberangnya itu sekarang.
“Kenapa kau terlihat begitu terkejut, Halum?”
Tiba-tiba, suara lelaki yang duduk di seberang itu membuyarkan pikirannya. Belum sempat Halum menjawab, Whichessenova sudah tertawa. Persis seperti apa yang ia lakukan pada Hores saat ia menikmati segelas jus jeruk di sore hari.
“Kenapa? Kau baru lihat ini, kan? Minuman ini memang istimewa, Halum.”
Whichessenova menggoyangkan botol minuman yang ada digenggamannya. Lalu, minuman dalam botol itu mulai berbuih putih. Ia memberikannya kembali pada Kawula agar Kawula itu bisa menuangkan segelas untuknya dan segelas untuk Halum.
Anak lelaki itu menelan ludah ketika Kawula mulai menuangkan minuman istimewa untuknya. Bagaimana bisa minuman di hadapannya ini lebih menggoda daripada jus jeruk yang selalu Winessa belikan untuk Halum dan Hores? Ia tak habis pikir. Tapi, bolehkah ia meminumnya? Anak lelaki itu bahkan belum berusia sembilan belas tahun.
Minuman merah darah berbuih itu sudah tertuang dan mengisi penuh gelas Halum. Gelas itu perlahan mengembun. Anak lelaki itu belum berani menyentuh gelasnya karena lelaki di seberangnya itu belum mempersilakan. Ia tidak berani melakukan hal sesukanya, seperti saat ia tinggal dengan Winessa dan Hores. Ia tau tatakrama.
“Itu adalah Lavorta, Halum. Minuman merah memabukkan yang sangat kusukai.”
Mendengar kata mabuk, anak itu tertohok. Winessa bilang, minuman yang seperti Lawson sukai hanya untuk orang dewasa.
‘Kau boleh meminumnya setelah dewasa, Halum.’ Begitulah kalimat dari mulut Winessa yang selalu ia ingat tentang minuman memabukkan.
“Memabukkan? Seperti yang sering diminum Lawson? Bukankah artinya aku tidak boleh minum itu? Aku baru lima belas tahun.”
Lelaki itu tertawa mendengar betapa polosnya anak yang duduk di seberang meja, “Tidak, Halum. Kau boleh meminumnya. Memabukkan artinya kau akan menyukainya dan akan ketagihan. Ini akan menjadi minuman favoritemu, Halum. Sama sepertiku.”
Anak lelaki itu menaikkan alisnya sebelah.
“Se-seperti kecintaanku pada jus jeruk?”
Lelaki itu menjentikkan jarinya, menunjuk Halum dengan tawa yang masih terlihat di bibirnya yang merah muda.
“Tepat sekali! Dan, kau tahu? Di sini, Lavorta adalah minuman yang legal untuk para petinggi Whiterdante.”
Halum mengangguk cepat, pertanda bahwa ia memahaminya.
“Bisakah kita bersulang dari jauh untuk merayakan pertemuan ini?”
Lelaki di seberang itu mengangkat gelas, masih dengan senyum yang mengembang di bibirnya, ia menganggukkan kepala seolah berkata, ‘Ayo, Halum. Bersulanglah denganku.’
Perlahan, anak lelaki itu mengangkat gelasnya. Setelah bersulang, lelaki itu lebih dulu menenggak minuman. Halum yang melihatnya dari seberang turut menenggak minuman merah tersebut dengan kikuk dan perlahan. Wajah Halum tiba-tiba cerah. Minuman ini bahkan lebih menyegarkan dari yang ia bayangkan. Whicessenova benar, Halum akan menyukainya. Anak itu bahkan lebih menyukainya daripada jus jeruk. Satu tegukan, dua tegukan. Sampai di tegukan ke tiga, lelaki di seberang itu kembali bersuara. Halum menghentikan tegukannya. Matanya menerawang jauh. Seolah mendengar kabar yang tidak ia sangka-sangka.
“Aku melupakan sesuatu, Halum. Selamat datang di Shatranj, dunia yang akan kau kuasai nantinya.”