JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK KALIAN DI BAB INI.
JANGAN BERANI MENCOPAS, MENJUAL CERITA INI DALAM BENTUK APA PUN!! CERITA INI SUDAH BERBADAN HUKUM YANG JELAS, KALIAN BISA DITUNTUT!
*******
'WHAT? Treasure? Harta karun? Pria dengan suara besar itu? Apa tidak salah?' pikir Sally.
'Mendengar suaranya saja menjijikkan, bagaimana melihat orangnya langsung. Ewh- aku il-feel seketika,' batin Sally.
"Wow ... wow ... wow! Huh- menyenangkan sekali rasanya, pulang liburan, melihat meja makan penuh hidangan serta jajaran para maid ditambah Mommy dan Daddy yang selalu segar seperti daun selada ini." Ucapan Roland seperti orang mabuk. Pria itu memasukkan beberapa lembar daun selada hijau segar ke dalam mulutnya.
"Duduk dan makanlah dengan benar, Roland," ajak Alamanda pada pria yang sedang menggoda salah satu maid yang berdiri paling dekat dengannya.
"Yes, Madam Alamanda," kata Roland dan pria itu duduk diam menikmati makan malamnya.
Sally yang menunduk memperhatikan penampilan pria itu dari belakang. Ia mendeteksi harga outfit yang dikenakan pria itu. Memang terbukti jika pria itu adalah anak dari seorang miliarder ah- mungkin triliuner, karena sepertinya Mr Robert sangat kaya, sama dengan orang tuanya.
Kemeja, celana pendek, sepatu, semuanya adalah barang-barang dari merek terkenal yang harganya tidak main-main. Namun, yang membuat Sally penasaran adalah kenapa pria itu memakai pakaian seperti itu. Apa sebenarnya pekerjaan pria itu dan bagaimana rupa wajahnya.
"Aku baru saja membeli sebuah pulau baru di dekat sini," ucap Roland dan seketika dentingan garpu dan pisau berhenti.
Sally yang berada di sana ikut penasaran dengan ucapan pria itu. Ia cukup khawatir jika pulau yang dimaksud adalah pulau impiannya.
"Kau membeli pulau lagi?" kaget Alamanda.
Roland hanya mengangguk santai.
"Berapa harganya?" tanya Robert tenang.
Roland tampak berpikir sejenak. "Hmm- entahlah, tapi kurasa tidak begitu mahal, hanya empt puluh lima juta dolar," ucap Roland sambil mengunyah kembali steak miliknya.
Alamanda melotot terkejut, Robert berhenti mengunyah dan menatap lekat putranya.
"Pulau apa yang kau beli?" tanya Robert penasaran.
"Northern Aegean Island," jawab Roland santai.
"WHATTT!" pekik Sally spontan.
Seluruh orang yang ada di sana melirik ke arahnya, termasuk Alamanda, Robert dan Roland.
"Maaf," lirih Sally sambil menunduk dalam. Beberapa maid menahan diri untuk tidak terkekeh, karena bagi mereka hal yang Sally lakukan adalah hal wajar saat mendengar percakapan keluarga kaya raya itu.
Alamanda menatap Sally sinis, sedangkan Robert dan Roland kembali memakan makanan mereka.
'Dasar k*****t! Itu pulau impianku, pria berengsek!' umpat Sally dalam batinnya.
"Kau menghamburkan uang hanya untuk membeli pulau seharga itu. Kau bahkan baru saja membeli pulau beberapa hari lalu dan harganya juga fantastis," omel Alamanda.
Roland tertawa mendengar omelan ibunya.
"Hei, Mom. Kau tenang saja, uang anakmu ini tidak akan habis. Lagi pula, aku tidak mengganggu uang jatah bulananmu. Aku sudah tidak tahu harus aku kemanakan semua uangku," ucap Roland terkekeh dan ditanggapi oleh pijatan pelipis Alamanda.
‘Dasar pria sombong!’ umpat Sally dalam batinnya.
"Aku akan mendesain semua pulau milikku agar menjadi pulau yang komersil. Aku akan membangun resort indah dan mewah. Itu akan kembali menjadi pundi uangku yang semakin tidak akan habis. Benarkan, Dad?" Roland meminta pembelaan dari Robert.
"Hmm ... aku tidak bisa melarangmu karena bukan menyangkut uang milikku," kata Robert.
"Ya, tentu saja. Maka dari itu, lusa aku akan mengadakan pesta di kapal pesiar baruku. Aku mau membawa lima belas maid selama lima hari berlayar," ucap Roland sambil melirik deretan maid di belakangnya.
Sally sendiri yang mendengar ucapan itu memutar bola matanya malas.
*****
"Aku berharap aku terpilih untuk ikut berlayar bersama Tuan muda," ucap Amor ketika mereka sedang membersihkan meja makan.
Pikiran Sally tidak berada di tempatnya. Ia memikirkan bagaimana caranya untuk membeli pulau impiannya yang baru saja dibeli oleh anak majikannnya, ‘cih, majikan- menjijikan sekali kalimat itu’ pikir Sally.
"Hei, Elley, kau mendengarkanku, bukan?" Amor menyikut lengan Sally dan menatap rekan kerjanya itu dengan tatapan malas.
"Aku tidak peduli," kata Sally tak acuh.
Amor mendelik kesal. "Sepertinya kau butuh tidur, kau terlihat mengerikan, Elley,"
Sally memandang langit-langit kamar kecilnya. Ia bahkan tidak bisa memejamkan mata semenit pun. Kasur terlalu tipis, tidak ada bantal bulu angsa seperti biasanya, tidak ada selimut tebal mewahnya, tidak ada toilet di dalam kamar sempit ini.
"Ini bahkan seperti tempat tinggal tikus dibanding tempat tidur manusia. Errrgh! Aku tidak bisa tidur.” Sally memilih untuk ke luar kamar dan pergi menuju kulkas khusus maid di dapur khusus pula.
Tidak jauh dari sana ia mendengar suara pria menelepon.
"Ya, kita bisa bernegosiasi tentang pembangunan resort di beberapa pulau pribadiku,"
"Aku tidak ingin menjualnya kembali. Aku sudah jatuh cinta pada ketiga pulau itu,"
"Minggu depan mungkin aku akan kembali berjelajah untuk membeli dan mengawasi pembangunan resort baru di kepulauan Maladewa,"
"Ya, memang aku semakin kaya karena sering membeli properti seperti itu. Semuanya benar-benar memberiku keuntungan berkali-kali lipat,"
"Aku ingin pembangunan villa mewah di Bali dan raja ampat segera direalisasikan,"
Sally membulatkan mata ketika mendengar percakapan anak majikannya itu. Sally pikir, pria itu tentu bukan pria sembarangan. Ia adalah salah satu pengusaha sukses dibidang properti dan investasi. Gadis itu harus mencari cara agar misinya tidak sia-sia apalagi gagal.
Siluet tubuh pria itu di bawah cahaya bulan begitu menawan. Kepulan asap rokok membuat pria itu terlihat begitu gentle. Entah apa yang ada di otak Sally sekarang, padahal ia sama sekali belum pernah memandang atau melihat secara langsung seorang Roland Filemon, tapi ia sudah bisa mengatakan menarik hanya karena siluet tubuh dan kepulan asap rokoknya. Sally memilih untuk masuk kembali ke kamarnya dan memainkan ponsel bututnya yang sama sekali tidak membantu menjernihkan pikirannya. Alhasil, sepanjang malam ia habiskan dengan terjaga.
Pagi ini ia telah bersiap dengan seragam yang paling dibencinya. Matanya sedikit sembab dan kepalanya sedikit pusing karena tidak tidur semalaman. Ia mematut wajah cantiknya di cermin, memoles kantong matanya dengan make up yang ia bawa secara diam-diam.
Tiap kali ia berjalan dan berdiri di barisan para maid, Sally terlihat seperti seorang model yang sedang persiapan photoshoot. Beberapa maid berbisik-bisik tentangnya, jangan tanya bagaimana tanggapan wanita itu. Ia hanya diam, tidak peduli sama sekali seakan menulikan kedua telinganya. Pujian seperti itu sudah biasa ia dapatkan dari orang lain sepanjang hidupnya.
"Elley, kau kerjakan apa yang aku perintahkan dengan benar. Jangan sampai terjadi seperti kemarin, kau lengah. Di sini bukan tempat untuk melamun. Kau mengerti?" ucap Dominic memperingati.
Sally hanya diam sambil memutar bola matanya malas. Ia benci diatur, ia juga tidak suka diperintah. Ia biasa berkuasa dan memerintah.
"Aku pikir jika Tuan muda melihatmu, ia akan tertarik padamu," ucap Amor di sela pekerjaan mereka membersihkan ruangan.
Sally hanya memainkan kemoceng di tangannya, sama sekali tidak berminat untuk membersihkan tempat itu.
"Aku tidak berminat dia melihatku," jawab Sally sekenanya.
"Kau belum saja melihatnya dari dekat. Tidak ada yang tidak tergiur dengan pesonanya. Apalagi tubuh kekarnya, d**a bidang, lengan berotot, benar-benar layak seperti dewa yunani," puji Amor dan Sally hanya menggeleng sambil mengibas-ibaskan kemocengnya.
"Kalian dibayar untuk bekerja. Membersihkan rumah, bukan untuk bergosip, apalagi bersantai seperti sekarang ini," omel Alamanda tiba-tiba.
Baik Sally maupun Amor terkejut dengan kehadiran Alamanda di belakang mereka secara tiba-tiba. Keduanya sontak menunduk dan menutup rapat mulutnya.
"Dan kau-- siapa namamu?" tunjuk Alamanda ke arah Sally.
" Elley, Madam," jawab Sally sekenanya.
"Tidak perlu berdandan pada saat bekerja. Aku tidak suka melihat babu bermake up di sini. Kau mengerti!" ucap Alamanda sinis.
Kedua telapak tangan Sally mengepal. Ia menahan geram akibat mulut wanita tua bangka di hadapannya ini. Jika saja ia sekarang menjadi Sally Beatrice bukan Elley James, maka sudah dipastikan Sally akan menampar mulut pedas Alamanda dengan telapak tangannya.
"Saya tidak bermake up, Madam," jawab Sally berani.
Alamanda melotot tidak percaya ketika mendengar jawaban dari pelayan barunya itu.
"Kau berani menjawab ucapanku? Ah- kau benar-benar tidak sopan," murka Alamanda.
"Saya hanya menjawab apa yang Madam katakan tadi, agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita. Saya tidak ingin Madam mengatakan sesuatu hal yang tidak saya lakukan. Saya hanya memberi penjelasan, tidak bermaksud kurang ajar," ucap Sally panjang lebar.
Amor yang berdiri di samping Sally menatap kagum teman barunya itu. Hanya Sally, pelayan di rumah itu yang berani menjawab ucapan Alamanda.
"Kau--, begitu menyebalkan," kesal Alamanda. Wanita paruh baya itu memilih untuk pergi meninggalkan Sally dan juga Amor dengan rasa kesal yang memuncak.
"Elley, kau benar-benar keren. Kau orang pertama yang berani menjawab ucapan madam Alamanda. Biasanya kami hanya diam menunduk, tidak berani berkata apa pun saat kami dituduh melakukan sesuatu yang tidak kami lakukan. Kau berbeda, keren," puji Amor penuh kesungguhan.
Sally menatap kepergian Alamanda dengan raut wajah datar.
"Aku hanya menjelaskan," kata Sally.
"Tapi, kau keren. Aku bangga bisa berteman denganmu." Amor memeluk lengan Sally erat sambil tersenyum lebar.
Amor dan Sally dipanggil oleh kepala pelayan, mereka berdua pikir karena kejadian tadi, tapi dugaan mereka salah.
"Kalian berdua akan ikut pada rombongan lima belas maid yang akan berlayar bersama Tuan Roland,"
Amor berjingkrak heboh, sedangkan Sally sendiri terlihat malas.
'Harusnya aku bahagia bisa ikut rombongan pelayan ini, aku jadi bisa mencari kelemahan pria itu agar mau menjual pulaunya pada Daddy,' batin Sally.
"Aku hanya ingin memberi tahu itu. Kau- Elley, aku ingin kau membersihkan kamar 102. Biar aku bisa melihat kinerjamu seperti apa sendirian," perintah Dominic dan Sally melotot terkejut.
"Se- sendirian?" tanyanya ragu. Dominic mengangguk tegas dan Amor memberinya semangat dengan mengacungkan jempolnya ke arah Sally.
"Kau pasti bisa, Elley!" Amor menyemangati.
*******
Kaki jenjang Sally bergerak melangkah menuju kamar 102. Kamar tersebut kabarnya jarang dipakai, tapi harus rutin dibersihkan. Sally mendesah sebelum ia masuk ke dalam kamar tersebut.
Ini adalah perdana ia melakukan pekerjaan seorang maid sendirian, biasanya jika bergabung dengan yang lain, ia hanya berdiri mengamati sambil memegang kemoceng ke sana kemari tanpa ikut serta membersihkannya.
Langkah kaki Sally berhenti saat ia sampai di depan pintu kamar tidur. Dari luar ia mendengar suara desahan atau semacam suara menggigil seorang pria. Ia tidak tahu apakah hanya halusinasi atau dari sumber kamar yang berbeda, sebab yang ia tahu jika kamar ini tidak berpenghuni.
Tubuh Sally bergemetar begitu pun dengan tangannya keluar keringat dingin saat ingin membuka knop pintu. Ia takut, tapi juga penasaran.
Matanya terbelalak saat mendapati seorang pria sedang mendesah menunduk sambil memainkan - entahlah.
"OH MY GOD!" desis Sally tertahan.
Sally mengamati apa yang terjadi di sana dan sampai pada akhirnya ia berpikiran gila.
'Aku harus bisa menaklukan pria itu dengan cara apa pun. Aku pasti bisa,' batin Sally.
Gadis itu segera pergi dari sana mencari keberadaan Amor. Ia membutuhkan bantuan teman sejawatnya itu.
******