Aiyra POV
“Ih mantap banget lagunya, Om. Baru di-update ya playlistnya?” tanggapku sambil menganggukkan kepala karena mendengar lagu “Feel So Close” milik Om Calvin Harris, DJ ganteng favoritku.
“Iya dong, Mbak. Biar gak dikata kampungan terus sama Mbak Aiyra,” balas Om Wahyu riang sambil menikmati musik hentak-hentak dari pemutar musik itu. Demi apaan mobil dinas militer menyetel musik DJ seperti ini.
“Iya dong, Om. Kita ini masih muda jangan kaku melulu kayak papa,” celetukku sambil membayangkan wajah ganteng papa. Hihi, abisnya mobil ini selalu memutar lagu militer setiap hari. Bahkan, ketika dipakai untuk mengantarku ke kampus. Bosen banget kan didoktrin mulu setiap hari.
“Tapi Mbak Aiyra jangan bilang bapak ya kalau saya setelin lagu ini, nanti saya disuruh push-up,” keluh Om Wahyu.
“Ya elah santai ajalah, Om. Aku gak seember itu kok. Eh, Om gimana kabarnya Mbak Suci itu? Cieee, udah berhasil belum kencannya?” godaku yang membuat Om Wahyu mendadak bersemu merah. Cie, malu nih ye.
“Masih dalam tahap penembakan, Mbak. Doakan sukses ya, Mbak. Besok malam minggu mau saya ajak ke Batu naik bianglala seperti usul Mbak Aiyra,” jawab Om Wahyu malu-malu yang berhasil membuatku ketawa ngakak.
Ampun ah, dari kemarin masih dalam proses penembakan? Om Wahyu tuh udah naksir Mbak Suci sejak umur 18 tahun. Tapi, gak berani ungkapin sampai sekarang. Buset deh om satu ini. Betah amat menyimpan perasaan. Gak takut apa Mbak Suci diambil orang? Tapi, jawaban dia cukup manis, kalau jodoh gak kemana. Iya sih, itu bener Om. Salut deh sama Om Wahyu. Sukses ya Om, aamiin.
“Om juga doakan aku ya? semoga nanti namaku yang keluar di undian papa,” harapku ceria sambil mengutak-atik ponselku.
“Siap, Mbak. Memangnya Mbak Aiyra ini sudah siap menikah?” tanya Om Wahyu yang membuatku sejenak berpikir. Nikah itu rumit ya? Kok kesannya aku diremehkan sekali.
“Emangnya nikah itu susah ya, Om?” tanyaku pelan.
“Ya susah Mbak, gak sekedar serumah dan tidur berdua. Di pihak lelaki, menikah itu harus siap bertanggungjawab dan siap lahir batin karena menghidupi anak orang. Di pihak perempuan, menikah itu harus siap melepas semuanya termasuk kemewahan orang tua. Mbak Aiyra sudah siap lepas dari bapak dan ibu?” pertanyaan Om Wahyu ada benarnya juga ya? kok aku gak kepikiran sih. Selama ini yang kupikirkan cuma enaknya saja.
“Hem, mungkin gak secepat itu sih, heheh,” ucapku sambil terkekeh pelan. Om Wahyu hanya tersenyum pelan sambil membelokkan setir mobil ke arah Ijen Boulevard.
Jadi, nikah itu gak semudah melihat di film-film ya? Mendengar jawaban Om Wahyu sepertinya ya. Tetapi, entah kenapa aku selalu ingin menikah muda kendati banyak yang meremehkanku. Tak apa sih aku dibilang manja dan tak dewasa, tapi aku benar-benar ingin menikah muda. Menurutku asyik saja menikah muda karena kita bisa bebas dari dosa pacaran. Aku termasuk gadis yang sering pacaran. Hiks, mendadak ingat dosa diri sendiri. Tuhan, maafin Aiyra ya? Semoga nanti namaku yang keluar di undian papa.
Meski Amirra tak suka dan membenci perjodohan, tetapi aku sangat suka dengan tradisi Siti Nurbaya itu. Menurutku, dicariin dan dipilihin lelaki sama papa itu sangat memudahkanku mencari lelaki yang cocok. Secara aku sudah lelah pacaran dan bertemu dengan lelaki yang salah. Kalau dicarikan papa, pastinya jelas bebet, bobot, dan bibitnya. Papaku yang protektif itu pasti sudah menimbang dan memperkirakan kriteria lelaki yang cocok untukku. Apalagi lelaki itu tak jauh-jauh dari profesi aparat negara yang sangat kusukai.
Amirra bilang perjodohan itu tradisi kampungan? Menurutku tidak ah. Gadis itu hanya belum merasakan yang namanya cinta sih. Coba kalau dia sudah merasakan lelah didera cinta yang salah. Dia pasti sangat menerima usulan papa. Buktinya aku! Ah, semoga saja nanti namaku yang keluar dan aku dipertemukan dengan lelaki yang baik, keren, tinggi, pengertian, tidak merokok, wangi, dan bisa memanjakan aku. Yes, aku sangat suka dimanja. Seenggaknya ada lengan lain yang aku gelendotin selain punya papa.
“Mbak, tidak mau beli kue cubit dulu tuh? Mumpung gak antre?” tanya Om Wahyu sambil menunjukkan penjual kue cubit favoritku di depan SMAN 8.
“Wah, boleh juga tuh. Sekalian ya Om sama batagor di sebelahnya. Bungkusin 2 sama Om,” pintaku manja pada Om Wahyu.
“Siap, Mbak,” jawabnya sok tegas. Om Wahyu lebih dari sekedar supir pengantarku. Dia sudah lebih kepada buku harianku dan teman yang pengertian. Semoga dia tak segera dipindah ke mana gitu.
Aku melihat punggung om Wahyu yang sedang membeli kue cubit. Lucu juga ya lihat tentara beli kue anak sekolahan. Semua demi aku sih. Dia paham kalau aku ini super manja dan malas berusaha sendiri. Beda banget sama zaman bayiku yang tegar dan tahan banting. Zaman ingusan aku tak selembek ini. Ya, semua manusia tidak ada yang statis kan? Kecuali adik judesku. Sejak kecil dia ya gitu, lurus aja kayak jalan tol. Kaku macam besi. Moga aja cinta bisa menyentuh hatinya. Biar hidupnya berombak gitu kayak Chitato.
---
Amirra POV
“Mirraaaaaa,” sebuah suara heboh nyaring meledak dari arah belakang. Aku langsung menoleh dan ingin memplester mulut itu.
Ya ini dia, sahabatku yang satunya. Perkenalkan si pemilik 2 lesung pipi dengan kulit putih, Arvan Isa Budiman. Dari namanya sudah bisa ditebak kan dia anaknya siapa? Ya, dia merupakan putra satu-satunya dari keluarga Kolonel Inf. Ivander Eka Budiman dan Tante Aruni Kartika Siwi. Om Ivander sekarang menjabat sebagai Komandan Grup II Kopassus di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun, sejak SMP Arvan tinggal di Malang ikut kakek dan neneknya alias orang tua Om Ivander.
Sahabatku yang biasanya dipanggil Van atau Apan ini adalah orang yang ramai, usil, dan sangat pengertian padaku. Dia sekelas denganku, sebangku pula. Entah kenapa dia selalu ada dan menampung segala kejudesanku. Jika bersama Ibra dan Arvan, aku bisa jadi diri sendiri. Aku bebas bertindak sejudes apapun bersama mereka. Terutama Arvan yang sangat perhatian padaku. Pernah terdengar gosip bahwa dia suka padaku. Tetapi, itu kubantah mentah-mentah karena kami hanya murni berteman.
Murni berteman titik. Secara kedua orang tua kami bersahabat. Yang kudengar dari ceplosan mama sih, Tante Aruni yang galak itu mantan pacarnya papa. Serius? Mereka kan sama-sama galak, kok bisa pacaran? Ya, tapi kenyataannya emang itu. Walau kedua orang tua kami punya sejarah kelam, tetapi kini aku dan Arvan bersahabat dekat. Iyalah, tak ada cemburu apapun lagi di antara mereka sehingga kami bisa bebas berteman. Lagian mereka putus baik-baik kan dulu. Selain itu sudah punya hidup masing-masing, kan?
Makanya jangan berurusan dengan cinta deh. Cinta tuh ribet. Bikin pusing macam rumus Kimia, Fisika, dan Matematika, ataupun gabungan ketiganya. Mendingan dibikin pusing sama pelajaran itu daripada sama cinta. Pusing karena pelajaran itu gak kampungan. Tapi, pusing karena cinta itu gak banget! Tahu deh, mungkin karena aku gak pernah merasakan hatiku bergetar karena cinta. Iyalah selama ini aku selalu cuek dan gak peka sama cowok di sekitarku. Walau aku tahu, aku dibilang cantik luar biasa seperti artis Ranty Maria versi hijaber. Tapi, sumpah aku tak merasa seperti itu.
“Gak ke kantin, Cantik? Kubelikan es buah yuk?” rayu Arvan sok manis.
“Males. Aku lagi gak mood, Van,” jawabku sambil mencoreti buku tulis berisi draft TA Bindo yang absurd itu.
“Kenapa sih kamu, Ra? Marah sama siapa? Jangan-jangan bener kamu lagi galau masalah cinta,” tebak Arvan sok tahu. Pasti dia habis dibisikin si Ibra.
“Sotoy! Udah ah jangan ganggu. Mendingan kamu cariin aku ide buat TA Bindo. Macet banget otakku, Van,” ucapku malas.
“Alah, itu sih kecil!” ujar Arvan sambil melentikkan ujung kelingkingnya, “ambil tema gampang saja,” usulnya.
“Tema gampang itu apaan, Apaaaan?” sukanya ngasih usul setengah-setengah nih orang.
“Cinta. Tema gampang, universal, dan global. Luas banget dan hasilnya pasti keren,” katanya penuh keyakinan tapi berhasil membuatku mati kutu. Makanan itu lagi?
“Bisa diam aja gak!” protesku marah.
“Dih, Cantik kok jutek. Nih ya Ara, gimana kalau kamu bahas cinta pertama? Setiap manusia yang hidup itu pasti pernah merasakan rasa suka pada lawan jenis. Nah, kamu cerita aja di video itu tentang cinta pertamamu. Coba kamu melihat cowok yang menurutmu bisa menggetarkan hati. Contoh, kamu ambil gambarku secara candid dan kamu kasih narasi. Gimana rasamu ketika melihatku? Apa ada semacam getaran aneh dan degup-degup bunga dalam benakmu. Pasti epic banget tuh!” penjelasan Arvan membuatku mual akut.
“Gak! Perasaanku ketika melihatmu adalah mual akut pengen pingsan. Simpan sendiri aja ide anehmu itu,” tolakku keras. Arvan kecewa berat dan mengekori langkahku ke luar kelas.
“Yeee, itu kan gampang banget, Ra. Pasti Bu Asni kaget bukan main kalau tahu si judes bisa bikin video kembang-kembang,” goda Arvan sambil memepet dudukku.
“Aku gak minat. Mendingan dapat nilai C daripada harus bahas masalah aneh kayak gitu,” tolakku malas. Arvan terkekeh pelan.
“Dikasih usul gampang kok gak mau! Nanti aku bilangin Iben deh biar buatin narasi puitis buat TA-mu. Aku kan gak mau nilaimu jelek, Ara. Apa jadinya bintang kelas kok dapat C?” Arvan masih kekeuh mempengaruhi otakku.
“Berisik kamu! Ya Allah semoga Arvan dimarahi mamanya gegara habisin uang jatah mingguannya,” ucapku usil sambil berkomat-kamit membaca doa. Gantian Arvan yang mendelik.
“Jangan bawa-bawa mamaku kenapa sih, Ra!” Arvan bergidik ngeri. Iyalah membayangkan wajah judes Tante Aruni saja sudah bisa membuat siapapun insomnia. Serem banget!
“Ngomong-ngomong jadi daftar kemana kamu? Akmil? AAL? AAU? Atau Akpol?” selidikku yang membuat wajahnya mendadak serius. Ya ya ya salah satu beban anak kolong adalah berusaha meneruskan jejak kedua orang tuanya. Aku tahu Arvan sedang melalui proses itu dengan melihat kepala plontosnya.
“Doakan aja ya Ra. Aku pilih Akmil. Bentar lagi aku mulai tes admin gitulah. Semoga lancar selalu. Setelah UN, aku fokus sama pendaftaran dan latihan fisik,” ucap Arvan pelan.
Arvan memang sedang mengalami masa pendaftaran akademi kedinasan yang jadi impian pemuda mana saja. Usianya memang berjarak 6 bulan dariku. Kalau aku genap berusia 18 tahun di bulan September, maka dia genap berusia 18 tahun di bulan Maret nanti. Kata mama, dulu Tante Aruni dan mama sempat bertemu di dokter kandungan yang sama. Ketika itu mama hamil aku 5 minggu dan Tante Aruni sudah hamil 6 bulan tanpa sadar. Saking cuek dan tak ambil pusingnya Tante Aruni pada kondisi tubuh sampai tak sadar kalau sedang hamil besar seperti itu. Ckck.
“Jadi kamu bakalan kangen sama aku gak, Ra?” tanya Arvan sok manis. Mulai lagi deh modusnya.
“Ya iyalah. Secara Iben juga bakalan kuliah di Surabaya. Pasti hidupku sepi banget. Janji ya kamu bakalan ingat sama aku,” ucapku mulai sedih. Dih, naluri cewek pasti suka sedih gak jelas gitulah.
“Gak bakalan lupalah, Cantik kan selalu di hati,” ucapnya mulai gombal.
“Dih, kumat anehnya! Aku mau dijo…” ujarku ingin bercerita tetapi terputus begitu saja karena suara sok imut dari arah sebelah kami.
“Mas Arvaaaaan…apa kabar? Kok WA, Direct Message, BBM, Twitter, dan komen sss-ku gak dibalas sih? Mas Arvan sibuk ya?” celetuk heboh si centil Febika, anak kelas 10. Fans abadi Arvan.
“Sorry, lagi gak main gituan. Ya udah duluan ya, Dek Febi,” kata Arvan menghindar sambil menarik-narik tanganku. Pasti aku jadi sasarannya.
“Yuk Cantik kita ke kantin,” tuh kan aku dijadikan kambing congek lagi. Dasar Arvan.
“Yuk Kakak Arvan!” balasku sok imut dan tetap saja berwajah judes. Demi menolong sahabat jadinya aku bersikap aneh. Akhirnya, kami meninggalkan Febika yang sudah berwajah masam bak belimbing wuluh.
“Ngapain sih kamu gak nerima Febika aja? Cantik juga dia tuh. Cocok banget sama cewek sosialita masa kini,” ucapku pelan sambil menyeruput milkshake coklat di kantin.
“Justru karena itu aku malas. Lagian aku udah punya cewek yang kusukai,” balas Arvan mulai sendu. Mulai lagi deh, pasti cewek yang dimaksud Arvan itu dedemenannya sejak SMP.
“Ngapain ingat cewek absurd yang mungkin aja gak kenal sama kamu,” celetukku santai.
“Aku kenal sama dia. Deket malah,” Arvan menghujamkan mata tajamnya padaku. Ih, mulai deh modusin aku.
“Delu ya kamu?” olokku sambil memutar telunjukku di dekat pelipis. Kuolok dia dengan kata buatanku ‘delu’ alias delusi alias khayal alias fantasi semata.
“Gaklah, dia sangat nyata, Ara.” Ucapan Arvan sejenak membuatku ingat pada gosip aneh itu. Ya gosip tentang Arvan yang suka padaku sejak lama.
“Hai hai hai!” yes, untung suara Ibra menyelamatkanku dari hujaman menakutkan mata Arvan.
“Dasar Kutang Nenek loe!” celetuk Arvan kasar. Ya pasti tahulah korelasi nama Ibra dengan celetukan kasar itu? Dasar cowok. Walau mereka tak pernah berkata aneh-aneh yang berbau konten dewasa padaku, tetapi tak menutup kemungkinan kalau cowok itu agak ngeres, kan?
“Yeee, elu tu Panci Kuda!” balas Ibra tak mau kalah. Entah apa korelasi kali ini? Malas membebani otakku pakai celetukan mereka.
“Eh iya Ara, tadi kamu mau ngomong apa? Kamu mau dijo…dijo apa maksudnya?” tanya Arvan yang membuatku kecut seketika.
“Dijomblangin?” tebak Ibra asal ceplos. Mana ada kata itu di KBBI?
“Dicomblangin, Kaleng Khong Guan!” balas Arvan gemas. Mendadak aku geli melihat ulah mereka.
“Dijogrokin?” tebak Ibra lagi yang membuatku ingin mengunyah peluru.
“Dijodohin?” tebak Arvan yang 5000% benar. Aku hanya diam dan menatap dengan mata seperti kucing. Berharap mereka peka dengan bahasa tubuhku.
“Hah? Serius? Serius kamu, Ra? Sama siapa? Kapan? Cowok mana?” berondong Arvan seperti habis disengat lebah.
“Biasa aja mulutnya, Catar! Corong Minyak loe!” sahut Ibra gemas sambil menjundu karibnya itu.
“Iya aku juga gak tahu intinya aku mau dijodohin sama papaku. Gak tahu sama alien mana. Kapan waktunya. Pokoknya ada kemungkinan gitu!” bisikku dengan suara pasrah. Kedua sahabatku hanya berwajah pias, terutama Arvan. Seperti mulai ada Badai Katrina melanda wajahnya.
***