6. Pangeran Condet

2732 Kata
Senja kini telah berganti menjadi malam. Menutup hari yang melelahkan bagi Abiyasa Airlangga. Setelah mengantar Aliska pulang, ia bertekad untuk segera pulang juga. Karena besok ada meeting di Bumi Serpong Damai (BSD City) dengan salah satu kolega perusahaan, pria itu lebih memilih untuk menginap di salah satu rumahnya yang terletak di Serpong, Tangerang Selatan. Abiyasa mengemudikan mobil mewahnya dari Cilandak menuju Serpong via tol. Dalam kurun waktu 35 menit, akhirnya Abiyasa sampai di rumah minimalis yang bergaya modern dan super mewah. Sebuah hunian prestisius bernama Cluster Lyndon at Navapark di BSD City dengan pemandangan cantik dari danau dan Country Club of Navapark. Cluster premium tipe 19 seharga tiga puluh miliar ini baru diluncurkan pada akhir taun 2020, sengaja Abiyasa menyiapkan rumah ini sebagai kado pernikahan bersama Alina Ibrahim. Berencana menjadi rumah masa depan mereka mengingat banyaknya kelebihan dari rumah ini serta tampak begitu menghargai privasi sang penghuni. Namun karena Alina sudah tiada, rumah ini akan berganti menjadi milik Aliska setelah terjadi pernikahan. Abiyasa melangkah gontai saat memasuki rumah mewah berlantai tiga tersebut. Ketika hendak membuka pintu rumah, langkahnya terhenti dengan kedatangan wanita paruh baya secara tiba-tiba dari arah jalan. “Abi...” sapa wanita itu tergesa-gesa. “Mama,” sahut Abiyasa terkejut. Matanya membelalak lebar saat mengetahui Lidya datang. “Lho, mukamu kenapa sampai babak belur begitu?” tanya Lidya cemas sambil memeriksa kondisi bagian wajah Abiyasa yang telah diplester. “Tadi berantem sama Bona.” Abiyasa menjawab datar sambil meringis. “Ya ampun, kenapa lagi dia?” tanya Lidya seraya berkacak pinggang. “Masuk dulu yuk, Ma! Nanti Abi ceritakan,” ajak Abiyasa sambil membimbing sang ibu untuk masuk ke dalam rumah. Ketika memasuki rumah, disambut dengan pemandangan ruang tamu yang luas dengan desain mewah. Saat menengadahkan kepala terlihat high ceiling atau langit-langit setinggi 5 meter pada ruang tamu. Di bagian sebelah kiri terdapat sebuah tangga yang bersebelahan dengan private lift yang digunakan untuk naik ke lantai dua dan tiga. Selain itu, pada lantai satu bagian belakang terdapat sebuah ruang keluarga dengan jendela-jendela tinggi dan besar yang digunakan sebagai sirkulasi dan pencahayaan yang baik seperti rumah minimalis pada umumnya. Di tempat ini pula terdapat sliding door kaca yang digunakan sebagai jalan menuju taman belakang dan kolam renang pribadi. Benar-benar seperti rumah para sultan. Abiyasa meminta sang ibu untuk duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan ia tengah sibuk meracik TWG luxury tea rasa vanilla bourbon di dry kitchen untuk Lidya. “Kamu nggak punya ART di sini? Kok kamu sendiri yang buatkan teh?” tanya Lidya seraya mengerutkan kening. Abiyasa menggeleng kemudian menghampiri sang ibu sembari menyodorkan minuman buatannya. “ART di sini cuma harian saja, Ma. Masih belum perlu ada ART setiap hari di sini. Kan Mama tahu sendiri Abi belum sepenuhnya pindah ke sini. Biasanya masih di rumah Sunter dan apartment Sudirman. Karena hari ini mendadak harus inap di sini karena besok ada meeting. Oh ya, kenapa Mama kok tiba-tiba ke sini?” Lidya menyesap secangkir vanilla bourbon tea di tangannya. Kemudian memandangi wajah sang anak. “Sebenarnya tadi Mama sudah ke apartment-mu di SCBD. Tapi kau tidak ada. Terus Mama tanya sopirmu, katanya kau ada di sini. Ya sudah Mama ke sini,” ucap Lidya. “Oh... iya memang tadi sudah bilang ke Pak Agung kalau aku di sini. Biar besok tak mengantarku ke kantor partai. Apa yang membuat Mama datang ke sini?” tanya Abiyasa lagi. “Mama ingin tahu kencan pertamamu dengan calon menantu hari ini,” jawab Lidya dengan mata berbinar. “Eh... tapi kau harus jelaskan lukamu ini dulu. Kenapa bisa seperti ini?” Abiyasa mendesah perlahan lantas menatap lembut sang ibu. “Kayak Mama nggak kenal aku sama Bona saja. Kalau ketemu selalu ngajak berantem.” “Kalian bertengkar karena apa?” tanya Lidya penasaran. Pria itu terdiam sejenak kemudian menjawab pertanyaan sang ibu seraya menghela napas. “Aku tadi sudah menjalankan apa yang Mama suruh. Sudah antar jemput Liska di kantor. Makan siang bersama. Dan terakhir terjadi insiden perkelahian dengan Bona,” tegas Abiyasa yang kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Ma, aku rasa Bonaventura menyukai Aliska. Apa pernikahan kami tidak dibatalkan saja?” Ucapan Abiyasa sontak membuat Lidya terperanjat. Ia cepat-cepat membalas ucapan sang anak. “Tidakkk!!! Kenapa harus batal? Tidak ada hubungannya antara Bona menyukai Liska terus pernikahan kalian batal. Ingat, wasiat papamu dan Om Anwar!” Abiyasa menelan ludah saat mendengar omongan Lidya. Ketika tadi ia menyuruh Liska untuk menjauhi Bonaventura, sekarang malah ingin membatalkan pernikahan. Mendadak berubah menjadi pria plin plan. “Abi paham, Ma. Tapi Abi tidak mencintai Liska. Tadi sepanjang perjalanan pulang Abi memikirkan ini. Apa Mama tidak kasihan pada Liska? Dia harus menikah dengan pria yang tidak mencintainya... kenapa tidak menikah dengan pria yang mencintainya saja?” tanya Abiyasa setengah frustasi. “Stop Abi! Stop membicarakan pertanyaan konyol itu! Kalian akan tetap menikah apapun alasannya. Kau sudah janji pada Mama kan? Kau tetap menjadi anak kesayangan Mama yang penurut kan?” Lidya bertanya seraya menatap wajah sang anak dengan mata berkaca-kaca. Yang membuat Abiyasa selalu tidak tega kemudian luluh karena ibunya. Abiyasa mengangguk pelan. Kemudian membalas tatapan sang bunda seraya mengecup punggung tangannya. “Iya Mama, Abi akan berusaha mencintai Liska. Tadi sudah mulai pendekatan sama dia. Sudah berusaha melakukan apa yang sering Abi lakukan pada Lina. Tapi...” “Tapi apa?” tanya Lidya segera menyela. Abi menghela napas perlahan kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Bayang-bayang Alina selalu hadir saat kami bersama. Apalagi ditambah dengan kemiripan wajah mereka. Aku merasa kasihan padanya.” Abiyasa berucap dengan raut muka sedih. Sedih karena selalu mengingatkan pada mantan kekasih yang telah pergi. Dan juga sedih karena secara tidak langsung telah menyakiti saudara kembar sang mantan kekasih. “Sudahlah, fokus pada pernikahan kalian yang sudah semakin dekat saja. Oh ya, suruh Liska untuk segera mempercepat proses pengunduran diri. Mama merasa sedikit insecure pada Bona. Sedikit takut jika Bonaventura nekat untuk menggagalkan rencana pernikahan kalian.” “Tenang saja, Ma! Liska sudah mengajukan resign. Beberapa hari lagi dia sudah tidak bekerja,” ujar Abiyasa mantap. Mendengarnya, Lidya tersenyum lega. Lantas iya berpamitan dengan sang anak. “Ya sudah. Mama pulang dulu ya Abi, kamu jaga kesehatan! Jangan terlalu lelah bekerja! Jangan lupa minum vitamin!” pesan Lidya dan kemudian bergegas untuk pulang. Abiyasa mengangguk seraya tersenyum. “Hati-hati Mama!” Lidya bergerak maju keluar dari rumah sang anak. Hendak memasuki mobil merah marun yang terparkir di depan rumah. Melewati teras hunian Abiyasa yang luas dan panjang. Diikuti dengan melewati carport yang berisi mobil Range Rover hitam milik pria itu. Lidya pun duduk baris kedua di belakang kemudi. Dengan dikendarai sopir pribadi, mobilnya melaju meninggalkan kawasan mewah tersebut. Abiyasa menyaksikan kepergian ibunya dengan kondisi mata berat. Ia berjalan agak sempoyongan hingga memutuskan untuk naik lift agar cepat sampai di kamar utama. Seraya memencet tombol lantai 2 yang tertera pada dinding private lift ia menguap. Rasa kantuk yang melanda nyaris membuatnya terjatuh. Namun ia segera kembali tegak berjalan hingga sampai di ujung ranjang. Dengan cepat Abiyasa membantingkan tubuh ke ranjang tanpa melepas sepatu yang dikenakan dan belum sempat berganti pakaian juga. Abiyasa pun terlelap dengan dengkuran halus yang keluar. Di dalam kamar yang luas dan megah itu terdapat beberapa foto yang terpajang. Yang menarik perhatian adalah foto saat pertunangan Abiyasa dan Alina. Foto berdua mereka berukuran besar dan terpampang jelas di depan ranjang. Setelah pertunangan mereka, baru sekarang pria itu mengunjungi rumah ini. Ia harus menerima kenyataan bahwa gadis yang berada di foto itu telah pergi. Yang artinya nanti harus siap menurunkan foto itu untuk diganti dengan pasangannya yang baru. “Alinaaa....” Abiyasa mengigau dalam kondisi mata terpejam. Kembali memikirkan sang pujaan hati yang telah tiada. Tipikal pria yang gagal move on Itulah kondisi Abiyasa saat ini. Sementara di tempat lain ada seorang gadis yang hatinya tengah berbunga-bunga akibat pertemuan hari ini. Aliska Ibrahim memandangi wajahnya yang memerah di depan cermin. Masih teringat dengan perlakuan manis Abiyasa di restoran dan kantor. Sejenak membayangkan seperti apa pernikahan mereka nanti. Namun bayangan itu harus berakhir saat tanpa sengaja melihat fotonya bersama Alina yang terpajang di dinding kamar. Ia merasa bersalah telah membayangkan hari-hari yang indah bersama laki-laki yang seharusnya menjadi saudara ipar. Lina maafkan aku. Tidak bermaksud mau merampas calon suami yang sangat kau cintai. Aku hanya merasa bahagia. Maaf jika bahagiaku hadir di saat kau telah tiada. Maaf... maaf... Aliska bergumam dalam hati. Memikirkan itu hanya membuat hati yang gembira langsung berubah menjadi duka hingga tak kuasa menahan laju air mata yang mengalir deras ke pipinya. Tak lama setelah menangis, ia terlelap. *** Matahari sudah mulai merangkak naik, aktivitas di rumah keluarga Ibrahim tampak sibuk. Aliska tengah mempersiapkan diri untuk berangkat kerja begitu pula dengan sang ayah. Sedangkan Arsen tengah sarapan dan akan segera berangkat ke sekolah. Ketika gadis itu hendak beranjak dari rumah, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan dari nomer yang tidak dikenal. “Selamat pagi, apa benar ini dengan Nona Aliska Ibrahim?” tanya seorang wanita dari balik panggilan yang ditujukan untuk Aliska. Aliska mengangguk kemudian menjawab wanita itu. “Iya benar, ini dengan siapa?” “Perkenalkan nama saya Pratiwi dari EH Pictures hendak mengundang Anda untuk bertemu dengan produser kami siang ini pada saat jam makan siang. Apakah Anda bisa?” tanya wanita itu lagi. Mendengar ucapan wanita itu Aliska terlonjak. Benar-benar tidak mengetahui apa maksud dari wanita itu. “Maaf, ini dalam rangka apa? Saya tidak punya kepentingan dengan EH Pictures.” Aliska berkata seraya mengernyit. “Ini berkaitan dengan Nona Alina Ibrahim, saudara kembar Anda,” jawabnya singkat. Hah, Alina? Ada apa dengan Alina? Aliska segera menanggapi ucapan Pratiwi. “Maksudnya bagaimana?” “Nanti akan diberitahukan oleh produser kami. Pada saat jam makan siang bisa bertemu dengan Tuan Arman Kumar di Plataran Menteng. Anda bisa kan, Nona?” Aliska terdiam sesaat kemudian menyanggupi wanita itu. Ia penasaran tentang hal yang berkaitan dengan sang saudara kembar. “Oke, nanti saat jam makan siang saya akan pergi ke sana,” sahut Aliska kemudian menyelesaikan pembicaraan dengan wanita itu. Mengingat jadwal Abiyasa yang sangat sibuk, hari ini Aliska berangkat ke kantor sendiri. Dengan mengendarai kendaraan pribadi, gadis itu beranjak menuju JEC. Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang hingga hampir sejam kemudian sampailah di depan kantor. Ketika hendak memarkirkan kendaraan, ia tak sengaja melihat mobil Bonaventura yang juga barusan datang. Aliska cepat-cepat melangkah masuk ke dalam kantornya agar tidak berpapasan dengan sang pimpinan. Sesuai dengan permintaan calon suaminya untuk menjaga jarak. Saat hendak masuk ke lobby, tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tangannya. Siapa lagi kalau bukan Bonaventura Walcott. “Mum Aliska, mengapa jalannya terburu-buru?” tanya pria itu sambil menatap curiga. Aliska mendesah pelan. “Oh, saya ada janji dengan murid saya. Jadi terburu-buru. Sorry,” jawab gadis itu beralasan. Bonaventura berdiri sambil menyilangkan tangan dan menatap dalam gadis di depannya. “Mengapa harus minta maaf? Kukira calon suamimu melarang untuk bertemu denganku pasca kejadian kemarin.” Mendengar ucapan Bonaventura, gadis itu terkesiap. Merasa ingin cepat-cepat melarikan diri dari pria yang telah menahannya itu. “Mister, mohon maaf saya tidak bisa berlama-lama di sini. Murid saya sudah menunggu,” sahut Aliska seraya menyeret kaki berlalu meninggalkan pria itu. Bonaventura berdiri termenung saat melihat tingkah laku sang karyawati. Ia mendesah kecewa dan merasa bahwa wanita idamannya akan semakin jauh dari jangkauan. Usai mengajar kelas Advanced, Aliska segera kembali ke ruangan pengajar. Beberapa kali ia melirik jam tangan Olivia Burton yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 12.00 WIB yang berarti telah memasuki jam makan siang. Gadis itu segera beranjak dari ruangan sembari melayangkan pandangan pada meja kerja sahabatnya yang kosong. Hari ini Marsha tidak masuk bekerja dikarenakan sakit. Get well soon Mum Marsha... aku akan tetap menanti cerita darimu tentang pimpinan kita.... Aliska bergerak maju dari kantor JEC menuju lokasi pertemuan dengan produser EH Pictures. Syukurlah pertemuan mereka di Plataran Menteng, lokasi yang strategis dan sangat dekat dengan kantornya. Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di sana. Sesampainya di depan gedung Plataran Menteng yang bersejarah, Aliska segera masuk untuk mencari sang produser. Plataran Menteng bukan hanya sebagai sebuah restoran melainkan tempat untuk menggelar hajatan, rapat, dan acara privat lainnya seperti deklarasi para pejabat negara. Abiyasa dan anggota partai sering mengadakan pertemuan di sini. Restoran ini menempati bangunan kuno yang bergaya kolonial yang dahulu merupakan sebuah rumah milik dokter kandungan dengan dinding tebal di bagian fasad dan kesan elegan yang terpancar dari Plataran Menteng. Aliska mengedarkan pandangan ke dalam restoran hingga seorang pria paruh baya berdarah India memanggil namanya. “Aliska Ibrahim…” panggil pria tua berkumis tebal bernama Arman tersebut. Aliska mengangguk seraya menghampiri pria paruh baya itu. “Mari silakan duduk.” Pria bernama Arman Kumar berucap seraya tersenyum. “Perkenalkan namaku Arman Kumar selaku produser EH Pictures.” Sang produser mengulurkan tangan yang kemudian dijabat oleh Aliska. “Saya Aliska Ibrahim. Saudara kembar dari Alina Ibrahim.” Mendengar nama Alina Ibrahim terlontar dari mulut Aliska, pria berdarah India itu tampak murung. Raut muka yang dilanda kesedihan terlihat dari pria itu. Ia melanjutkan pembicaraan sambil berkaca-kaca. “Alina Ibrahim, yaa… Alina Ibrahim adalah salah satu artis kesayanganku. Prestasinya dalam dunia akting sangat membanggakan. Sayangnya takdir menjemput dia lebih awal. Bahkan saat mimpi besarnya belum terwujud.” Aliska tercengang saat mendengar ucapan Arman. “Mimpi besar yang belum terwujud… apa maksudnya, Pak?” tanya gadis itu penasaran. “Kau tahu tidak film terakhir Alina? Yang berjudul Pangeran Condet itu belum ia selesaikan. Masih kurang sekitar lima scene menuju ending. Alina telah meninggal dunia sehingga film itu jadi menggantung. Padahal nyaris saja selesai dengan sempurna.” Arman berkata sambil mendesah. “Iya Pak saya tahu itu film terakhir Alina sebelum memutuskan untuk pensiun dini. Demi film itu ia rela menunda rencana pernikahannya setelah merampungkan film itu,” ujar Aliska prihatin dengan takdir sang saudara kembar. Arman mengangguk kemudian secara mengejutkan menatap gadis cantik di depannya itu penuh harap. “Sengaja aku mengundangmu ke sini untuk memberikan penawaran atau lebih tepatnya permintaan dari dalam hatiku sendiri untuk menjadikanmu sebagai pemeran film pengganti dari peran yang dimainkan oleh Alina Ibrahim. Hanya lima adegan tidak lebih. Butuh sekitar sepuluh hari untuk menyelesaikan film itu.” Permintaan Arman tersebut sontak membuat Aliska sangat terlonjak hingga membuka mulut karena tercengang dengan ucapan pria itu. Aliska segera menginterupsi obrolan sang produser. “Tapi Pak, saya tidak bisa berakting. Tidak memiliki bakat di bidang akting. Saya hanya seorang guru. Jika peran itu nekat saya mainkan, saya tidak menjamin film ini akan sukses dengan segala keterbatasan saya.” Aliska berusaha mengelak dan tidak menginginkan peran itu harus dilimpahkan padanya. Meski sebenarnya dulu saat masih berkuliah, gadis itu pernah terpaksa menggantikan posisi sang saudara kembar pada drama teater kampus dikarenakan Alina jatuh sakit. “Tenang saja nanti akan ada yang melatih dan membimbingmu untuk memerankan karakter itu. Maksimal sepuluh hari, aku jamin itu,” ucap sang produser dengan tatapan memohon. “Apa perlu aku berlutut di depanmu agar kamu setuju?” Aliska dengan cepat menjawab. “Jangan Pak, jangan sampai berlutut di depan saya! Saya tidak pantas menerimanya karena saya bukan Tuhan. Memang syutingnya dimulai kapan, Pak? Karena saya masih bekerja.” “Aku harap besok lusa sudah mulai reading skenario. Maaf sebelum mengatakan ini padamu, aku sudah memberitahu ayahmu lebih dulu. Anwar bilang jika kau sudah mengajukan surat pengunduran diri. Ayolah, ini demi saudara kembarmu! Aku ingin kau menuntaskan apa yang menjadi mimpi besar Alina.” Memikirkan itu hanya membuat Aliska menjadi dilema. Di satu sisi ia ingin menolak karena ingin beristirahat dari pekerjaan dan fokus untuk menyiapkan acara pernikahan. Tetapi di lain sisi ia ingin mewujudkan mimpi besar Alina pada film itu. Hingga pada akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu itu pun mengalir dari bibirnya. “Baiklah saya setuju, Pak! Demi Alina…” tegas Aliska yang langsung membuat Arman bersuka cita. Arman segera mengulurkan tangan kembali pada gadis itu. “Baguslah. Selamat bertemu lagi di lokasi syuting Pangeran Condet!” seru Arman seraya mengembangkan senyuman dan kemudian mengakhiri pertemuan mereka. Aliska pun melangkah keluar restoran seraya berharap ini adalah keputusan yang terbaik. Sebagai persembahan terakhirnya pada sang saudara kembar. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN