26. Dia Lagi

1812 Kata
Rengga POV. Akhirnya focus Sinta teralihkan seiring berjalan baiknya hubungan Nino dan Noni, juga Karin dan Obi. Seperti Obi, aku juga happy karena ini. “Emang duet Kampret sama Bule berpengaruh banget sama mood Karin sama Sinta. Manfaatin deh bro, perawan jendral lagi good mood kaya Karin” itu komen Obi. Aku hanya tertawa waktu itu. Dan akhirnya Sinta malah merengek sendiri untuk pergi denganku. “Karin kayanya pergi sama Obi Reng. Suntuk juga weekend di rumah. Noni pasti sama Nino juga” katanya. “Mau pergi kemana?” tanyaku. Dia diam. “Ini beneran terserah gue?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dan gue jemput” jawabku. Dian bersorak. “Emang gak takut sama bokap gue?” ejeknya. “Gue gak punya catatan criminal, kalo pun ada, baru lagi susun rencana pencurian” jawabku. “Pencurian?” tanyanya. “Nyuri hati anak Jendral” jawabku. Sinta tertawa dengan wajah merona. “Reng…” rengeknya malu. Aku jadi ikutan tertawa. Suka aja lihat wajah meronanya. Warna kulit Sinta itu putih sekali, jadi kalo dia blushing, pasti perubahan warna wajahnya kentara sekali. “Buruan mau kemana?” tanyaku. “Nonton dan dinner, dan selain harus antar jemput gue, elo juga mesti traktir” jawabnya. “Okey!!” jawabku. Bersoraklah Sinta. Tapi setiap kali aku mengajaknya pergi, aku tidak pernah bertemu dengan pak Jendral. Itu yang membuatku sedikit penasaran, dan lega. Leganya jadi tidak perlu grogi. Memang sih aku tidak bermaksud jahat. Tapi…namanya menghadapi jendral, lumayan bikin segan. “Apa sih lihat lihat?” tegur Sinta karena aku selalu suka menatapnya diam diam. Ternyata dia tau. “Gak..kok ya elo cantik banget sih?” komenku jujur. Dia blushing lagi. “Reng…” rengeknya manja. Aku terbahak. Tawaku sekarang semenjak dekat Sinta terus, jadi lebih spontan dan berlebihan. Habis gimana?, aku merasa happy. Tapi lalu aku deg degan sampai rasanya jantungku mau copot saat Sinta merangkul lenganku dengan wajah cemberut menghindari ledekanku. “Sin…” gantian aku merengek. “Elo sih ledekin gue terus, malu tau” keluhnya. Aku menghela nafas. Dia yang malu, aku yang deg deg ser. Astaga…anak jendral lebih menakutkan di banding pak Jendral sendiri. Tapi yang membuat menyenangkan pergi dengan Sinta itu, dia itu pemakan segala, dan tidak harus aku ajak berdebat untuk menghabiskan makanannya. Sinta itu no jaim, kalo suka ya dia akan makan sampai habis, kalo kenyang ya berhenti, kalo tidak suka, dia tetap akan menghabiskan makanannya. “Katanya ramennya kurang enak, tapi habis?” ejekku. Dia cemberut. “Elo gak ingat kita sering lihat banyak orang miskin di jalan sampai mesti minta minta di jalan cuma buat makan?” jawabnya. Aku mengangguk. “Gue gak perlu ngemis di jalan untuk bisa makan, jadi gak etis kalo gue malah buang buang makanan. Selain mubazir, juga untuk hormatin elo yang udah bersedia traktir gue” lanjutnya. Aku tersenyum untuk itu. Itu waktu kami pergi sepulang sekolah untuk makan siang. Dan aku yang mengajaknya makan ramen. Sejak itu aku bebaskan dia memilih tempat makan kami. Kasihan juga kalo dia jadi tidak menikmati makanannya. “Jadi hobi elo apa Reng?” tanyanya setelah kami duduk di restoran fast food makanan Jepang. “Tumben tanya” ejekku. “Elo bilang biar saling kenal. Gimana gue kenal elo, kalo gak tau hobi elo. Itu hal sepele loh. Oh gue tau, elo suka bikin puisi, tapi masa itu doang” jawabnya. Aku mengangguk mengerti. “Hobi gue kumpulin koleksi topi” jawabku. “Serius?” tanyanya lalu tertawa. “Gitu deh” jawabku. “Alasannya?” tanyanya lagi. Aku mengangkat bahuku. “Gak ada alasan kenapa orang suka akan sesuatu. Suka aja” jawabku. Dia mengangguk. “Semua topi?” tanyanya lagi lagi. “Topi topi built up doang. Kadang gak pernah benar benar gue pakai. Sikap dan kelakuan gue mungkin persis kolektor barang lain, yang cukup senang udah bisa dapatin barang yang gue incar, kadang cuma untuk di lihat doang lalu di masukan lemari” jawabku. Sinta tertawa. “Pantas gue gak pernah lihat elo pakai topi. Sesekali doang, itu pun sebentar” komennya. “Kadang takut kotor” kataku. “Beneran kolektor, Freak!!” ejeknya. Aku terbahak. “Lalu hobi elo apa?” tanyaku gantian. “Godain elo” jawabnya setengah berbisik. Aku tertawa pelan, godain aku?. Aku sudah tergoda, dia aja tidak sadar. Aku lalu menghela nafas lagi waktu dia kembali merangkul lenganku menuju bioskop. “Tau gak, pergi sama elo tuh, kaya nonton drama Korea” komennya menjeda keheningan. “Kok bisa?” tanyaku menoleh padanya yang akhirnya melengos menghindari tatapanku. “Gue masa deg degan gak jelas padahal rangkul tangan elo doang. Persis kalo gue nonton drama Korea yang pas adegan pegangan tangan. Kadang hal kecil itu yang terasa maknanya besar dan bikin melted” jawabnya dengan wajah merona saat aku menyamping menatapnya. Aku tertawa menanggapi. “Gue juga deg degan gak jelas. Yuk sama sama deg degan” ajakku ganti menggenggam tangannya. Dia gantian juga tertawa dan wajahnya lebih merona lagi. Beneran macam nonton drama Korea persis Sinta bilang. Kalo di dalam bioskop terang, pasti aku akan temukan wajah meronanya lagi dan dia akan menemukan gerakan canggung tubuhku saat dia mengangkat satu tanganku melewati belakang kepalanya sampai posisi kami jadi seperti aku memeluknya, dan dia memang jelas jelas balas memelukku. “Feel nice…” desisnya lalu bersandar di lenganku yang memeluk bahunya. “Ya…feel nice” aku setuju dengan gerakan bersandar di bangku bioskop. Dan tidak ada yang berani saling menatap kecuali diam lalu menikmati rasa deg degan yang menyenangkan. Aku doang yang bisa peluk peluk anak Jendral. Tidak perlu aku cium pipinya, seperti Nino mencuri cium pipi Noni. Atau seperti Obi yang meledek Karin dengan kata kata m***m. Cukup untukku menghirup wangi lembut yang menguar dari rambut dan tubuh Sinta. Layaknya aromatherapy, itu berhasil membuatku tenang. Sebenarnya aku canggung, tapi sepertinya Sinta tidak canggung, jadi aku berusaha menganggap apa yang aku lakukan sebagai sebuah kewajaran. Aku rasa orang berkencan seperti ini. Kencan versi adat timur ya, kalo versi bule yang menganut adat barat, tentu berbeda. Pasti saat aku antar pulang teman kencanku, kami akan berciuman perpisahan mengingat intensnya interaksi kami. Sinta jelas tidak begitu. “Makasih ya Reng. Ternyata beneran aman pergi sama elo” katanya sebelum turun dari mobilku. “Anggap aja gue takut sama papi elo” gurauku. Dia tertawa. “Kalo gue bukan anak jendral?” tanyanya. “Udah gue sosot, elonya menye menye dari tadi, lupa ya kalo gue lelaki normal?” omelku. Dia terbahak. “Sana turun!!, jangan sampai gue sosot beneran” usirku bercanda. Dia tau, karena aku jelas bicara sambil tertawa. “Okey…sampai rumah kabarin ya!!, ngeri juga kalo elo gak kasih kabar, takutnya orang suruhan bokap gue, culik elo trus elo jadi ilang gak ada kabar lagi” jawabnya bercanda juga. Aku tertawa sambil mengangguk. Baru dia keluar mobilku, dan bertahan mengawasiku sampai aku berlalu dari hadapannya untuk pulang ke rumah. Aku turuti juga mengabarinya setelah aku sampai rumah. Dan jadi rutinas baruku dan Sinta di hari sabtu weekend. Sinta jadi merengek trus pergi denganku. “Karin juga kencan sama Obi” lapornya saat aku ingatkan soal Karin yang mungkin sendirian kalo dia pergi trus denganku. “Masa?” tanyaku. Dia berdecak. “Gak percaya elo sih. Omen bilang, sering lihat Obi rapi banget keluar rumah kalo malam minggu. Rumah Omen sama Obi tuh hadap hadapan Reng. Jadi wajar Omen tau, trus adiknya Obi juga bilang sama Roland kalo abangnya ngapelin pacarnya. Siapa lagi yang Obi datangin selain Karin” jelasnya. Aku mengangguk. “Gue nurut lo sama elo untuk gak campurin urusan orang, gue diam aja gak tanya tanya sama Karin. Tapikan imbasnya gue jadi sendirian terus kalo weekend. Tanggung jawab sih gara gara elo, jadi gue gak punya teman” keluhnya. Aku tertawa. “Noni?” tanyaku. “Gak usah tanya kemana Noni, pasti di pepet Nino. Gak usah weekend, di sekolah aja di pepet trus” jawabnya. “Okey…papi mami elo, kakak elo?” tanyaku lagi. Sinta berdecak. “Bokap nyokap gue kaya bokap nyokap Karin yang ada di rumah dinas. Cuma bedanya mami gue masih balik ke rumah kalo hari minggu, ngecek gue sama kak Lulu. Atau gue sama kak Lulu yang temuin mereka. Papi lagi sibuk banget Reng, jadi mami jarang ke rumah” jawabnya. “Elo gak kesal kaya Karin yang orang tuanya jarang di rumah?” tanyaku mencari tau. “Buat apa?, sebelumnya kita semua hidup bareng satu rumah, waktu papi tugas di luar Jakarta. Lagian gue udah gede, malah malas di tongkrongin orang tua. Dan udah bisa cari happy sendiri, kan tetap komunikasi sama mami, sama papi juga, gitu gitu, bokap gue tetap ngerasa perlu chat atau telpon gue tiap hari, cuma tanya apa gue kena masalah sama orang atau gue baik baik aja” jelasnya. Nah komunikasi yang penting, Karin ngerasa sepi, karena orang tuanya tidak membangun komunikasi macam orang tua Sinta. Kalo masalah orang tua sibuk dengan pekerjaan, papaku kurang sibuk apa urus perusahaannya. Itu kenapa papaku, menikahi mama tiriku, untuk menggantikan komunikasinya denganku yang mungkin terjeda. Seperti papi dan mami Sinta, mama tiriku pun masih datang ke rumahku seminggu sekali, mengecek apa aku butuh sesuatu, dan selalu telpon aku sepulang aku sekolah, hanya untuk memastikan aku baik baik saj. Aku pun kalo butuh apa pun, pasti datang ke rumahnya, karena dia welcome sekali menyambutku datang. “Gue tetap sama Karin sama Noni kok kalo hari minggu. Kan latihan koreo cheers juga. Jadi gue tetap temenan sama Karin dan Noni, elo jangan khawatir” lanjutnya menjelaskan. “Okey…mau kemana?” tanyaku. Dan kali ini tidak melulu Sinta merengek ke mall. Kami suka pergi ke taman kota, pergi ke kafe, atau sekedar muter muter gak jelas mencari kuliner pinggir jalan. Dan semua membuat aku dan Sinta makin dekat. “Elo pada kemana sih?, nongkrong gak ngajak ngajak. Pusing gue jalan berdua Putri trus, yang ada ngomel mulu, sampai gue lebih milih weekend di rumah” hanya Kendi yang akhirnya protes. Tapi aku bisa apa?. Sinta sendiri sebenarnya kurang nyaman pergi dengan Putrid an Clara. “Sok borju, maunya nongkrong di tempat elite. Anak muda kaya kita tuh, bukan tempat nongkrongnya yang penting, pergantian suasananya yang penting. Namanya remaja, pasti butuh sensasi yang beda tiap waktu. Boring Reng nongkrong di kafe, club atau mall. Belum mereka ngerokok. Gue lama lama sama Karin bisa ikutan ngerokok karena kebawa kebiasaan” tolak Sinta. Tuhkan?, bukan aku menolak nongkrong rame rame lagi, aku juga semakin kewalahan mengendalikan detak jantungku kalo berdua pergi dengan Sinta. Sintanya yang tidak mau, masa aku paksa. Tapi lalu aku di abaikan juga oleh Sinta, masih lebih baik di banding Obi yang harus selalu dapat omelan Karin, karena kelakuan bastart Nino pada Noni. Memang Nino kampret, dia dekatin Noni sampai tidak bisa bergerak, dianya santai pacaran dengan gadis lain, dan celakanya di pergoki Karin dan Noni. Hadeh…kapan sih Nino dan Noni tidak membuat kekacauan?. Jelas ngamuk anak Jendral karena temannya di usik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN