Sinta POV.
Aku setengah berlari menyusuri koridor sekolah menuju kelasku. Shitt!!, gara gara kata kata Rengga tentang sang Dewi lain membuatku tidak bisa tidur lalu jadi terlambat bangun untuk berangkat sekolah. Lalu aku menghela nafas lega waktu guru belum masuk kelas.
“Tumben telat?” tegur Marina dan aku abaikan tatapan bertanya Rengga juga Roland.
“Macet” cetusku mencari alasan yang masuk akal.
Ternyata berhasil membuat Marina dan dua lelaki yang di belakang punggungku tidak ikutan bertanya. Mungkin karena guru sudah masuk kelas.
Harus aku akui, dari sekian banyak masalah yang pernah aku terima dan alami, baru masalah yang berhubungan dan bersumber dari Rengga, yang akhirnya membuatku suntuk luar biasa. Dari pulang sekolah kemarin aku memilih diam walaupun Kak Lulu mengajakku bicara terus. Aku masuk kamar untuk memaksakan diri tidur lebih awal pun, mataku sulit terpejam. Aku juga mengabaikan pesan Rengga yang menanyakan keadaanku pasca kejadian di sekolah dengan Andrean. Aku pikir untuk apa aku jawab. Aku baik baik saja. Memar di buku tanganku hasil dari tumbukan dengan rahang milik Andrean sekali pun tidak memberikan rasa sakit seperti rasa sakit di relung hatiku.
Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku mesti merasa sakit hati. Aku dan Rengga jelas tidak punya hubungan apa pun selain kami berteman. Satu hal yang mungkin jadi kesalahanku, aku terlanjur membiarkan diriku masuk lebih dalam lagi pada kedalaman hati Rengga, yang aslinya semu. Aku over ekspektasi atau malah GR karena sikapnya selama ini padaku. Itu yang membuatku geram luar biasa. Andai aku bisa menghajar Rengga tanpa ampun, mungkin rasa sakit hatiku akan hilang, seperti yang biasa aku lakukan pada setiap orang yang menggangguku dan membuat aku marah.
Tapi…jelas tak mungkin aku menghajar Rengga, bukankah akan meperjelas rasa sakitku dan berpotensi membuatku bertambah malu, karena pada akhirnya Rengga akan tau dalamnya rasa kecewaku. Ada sang Dewi lain dan bukan aku satu satunya. Astaga…aku jadi memuji Queen yang selalu berhasil meredam rasanya karena sering di puji Nino setinggi langit sampai punya julukan Noni Bule Nino, terkesan istimewa juga sama seperti julukan yang Rengga sematkan untukku, SANG DEWI. Jangan salahkan aku yang akhirnya jadi keGRan. Kalo kalian jadi aku, yang di perlakukan istimewa dan special oleh sosok lelaki keceh dan tajir, dan bukan lelaki bastart, pasti akan bersikap sepertiku.
Ya memang sih Rengga tidak secharming Roland, tidak seganteng Nino, seluwes Obi yang pinter bergaul, atau secool Omen, tidak seperti Andi yang jago gitar dan anak artis. Tapi semua orang di sekolah ini tau, Rengga itu tajir tadi. Dia sekolah pakai mobil yang jelas harganya di atas harga mobil mobil yang di pakai semua siswa yang sekolah di sekolahku. Tau dong harga CR-V, harganya bisa beli dua sampai tiga mobilku. Nino aja yang anak pengusaha hanya naik motor sport atau mobil jazz. Sisanya yang lain rata rata mobil city car seperti mobilku, yang harganya tidak sampai 200 juta.
Hei…jangan bilang aku matre. Aku bicara kenyataan. Cewek cewek zaman sekarang lebih cocok di sebut cewek bensin mengalahkan Karin yang anak pejabat minyak negara. Aku yakin, kalo pun Rengga tidak seganteng dia yang sekarang, kalo dia punya mobil yang kelasnya termasuk mobil mewah, jelas dia incaran cewek cewek di sekolah. Di tambah kenyataan Rengga good looking dengan style gayanya yang cuek tapi keren khas anak anak seniman. Belum barang barang yang dia pakai, macam sepatu, tas, jam tangan, topi, kalo dia sedang pakai topi, semuanya barang branded dan ori. Intinya Rengga termasuk bujang high quality juga. Oya satu lagi, Rengga termasuk tipe yang loyal pada siapa pun, atau lebih ke rasa gak enakan sih. Kalo pelajaran kosong, dan kami berkumpul di kantin, dia santai aja tuh di todong bayar jajanan kami. Butuh alasan apa lagi untuk menggambarkan sosok Rengga yang pastinya di incar cewek cewek lain di sekolah.
“Kenapa sih lo diam aja?” tegur Karin saat jam istirahat di kantin.
“Gak kenapa kenapa” jawabku karena ada Rengga dan Andi juga Clara dan Putri.
“Sakit gigi Sin?” ejek Andi.
Aku tertawa.
“Ngantuk gue, semalam terpaksa dengar kakak gue curhat soal gebetannya yang payah” jawabku.
Mereka tertawa.
“Tembak Sin!!” seru Putri.
Aku tertawa lagi dan mengabaikan tatapan diam diam Rengga.
“Maunya, tapi urusan kakak gue itu mah. Kalo masalah gue, baru gue matiin tuh laki trus gue mutilasi” jawabku bergurau.
Tertawakan mereka.
“Eh, jangan lupa ya, kita ada rapat LDKS, nanti gue info kapannya. Trus rapat soal PENSI juga, khusus anak anak Kesenian OSIS, tapi nanti juga, gue cari waktu yang tepat” kata Putri menjeda obrolan.
Semua mengangguk kecuali Rengga karena dia bertahan menatapku. Ngapain sih?, lebay amat. Bukan biasa aja. Mending ngomong, malah ikutan diam.
“Fiks!!, perawan jendral kena mental” ejek Roland begitu pulang sekolah.
Aku memang bertahan diam.
“Bacot lo!!” jawabku lalu buru buru keluar kelas.
Aku sudah bilang pada Karin ada urusan jadi tidak bisa pulang bareng.
“SIN!!”
Aku berdecak melihat Rengga mendekat di parkiran mobil. Aku abaikan dan tetap membuka pintu mobilku.
“SIN!!!” ulangnya menahan gerakan tanganku membuka pintu mobil.
“Apaan sih?” protesku kesal.
Dia tertawa.
“Galak amat” ejeknya.
“Galak nama lain gue, minggir!!” usirku.
“Elo gak latihan sama Clara?” tanyanya.
“Gak, mau ada latihan nembak” jawabku dusta.
“Bukannya biasanya sore atau malam ya?” tanyanya lagi karena aku pernah cerita.
Aku diam. Kemarin aku malah bolos latihan karena ada dua bastart yang ikut latihan denganku.
“Dan bukannya hari selasa sama kamis?” tanyanya lagi.
Aku berdecak. Ingat aja lagi jadwalku latihan nembak, dan ini hari rabu.
“Bukan urusan elo Reng sama jadwal kegiatan gue. Ranah pribadi gue, dan gue gak ada kewajiban kasih tau elo kalo ada perubahan jadwal” jawabku.
Dia diam menatapku.
“Sekali lagi gue tanya, ada apa?” tanyaku.
“Eng…”
“Gak ada apa apakan?, jadi minggir, gue mau pulang” usirku lalu benar benar masuk mobilku.
Payah jadi laki, pengecut banget. Masa ngomong yang dia mau gak bisa. Lagian ada urusan apa lagi dia sama aku?. Buang waktu aku aja. Berlalulah aku dengan cepat dari parkiran sekolah, malas akunya kalo menemukannya mengikutiku sampai rumah lagi. Dan berlanjut trus keadaannya sampai besok hari di sekolah lagi. Aku suntuk maksimal.
“SHITT!!!” umpatku karena tembakanku meleset dari papan sasaran.
Terdengar tawa terbahak di belakang punggungku.
“Anak Jendral ngapa dah?” ejeknya waktu aku menoleh.
“BUKAN URUSAN ELO!!” jeritku kesal.
Dia malah terbahak lagi lalu mendekat dan berdiri di sisi kananku.
“Jadi ini alasan elo terus latihan sementara Alice udah pulang?” tanyanya lagi.
Aku abaikan dan mengarahkan pistolku lagi kea rah sasaran, dan kena!!.
“COOLL!!!” jeritnya memuji plus tepukan tangan norak.
Aku berdecak lalu membereskan pistol latihanku juga melepas headset yang aku pakai.
“Elo di pecat jadi tukang ojek Alice?” ejekku membalas lalu beranjak meninggalkannya.
“Gue nungguin elo, baikkan gue, jadi tukang ojek elo gak apa juga deh. Yuk gue antar pulang. Udah mau magrib Sin” katanya menjajari langkahku.
Aku menghentikan langkahku.
“Elo siap hilang kepala?” tanyaku.
Dia tertawa, lagi bastart satu ini, teman SMP aku dulu, Reno Saddam Isman. Namanya doang keren, tapi orangnya jauh dari keren. Ganteng doang tapi otaknya s**********n. Malas!!.
“Yaelah galak amat sih lo. Gue punya niat baik sama elo, elokan gak bawa mobil, Alice yang tadi jemput elo, udah pulang, karena janjian sama cowoknya. Ayo apa gue antar pulang deh, lumayankan gak perlu keluar ongkos?” jawabnya.
Aku menatapnya yang tersenyum gak jelas.
“Mana Kalila?” tanyaku menyebut adik Alice yang juga putri Jendral teman papiku.
“Lagi ngambek minta masuk SMP, sepupu gue yang teman Kalila udah lulus SD. Baby Huey jadi gak punya teman di sekolah” jawabnya.
Aku jadi tertawa, ingat Kalila yang memang agak semok dan suka s**u.
“Lah bukannya ada elo yang jadi baby sitternya?” ejekku.
“NGOTAK!!, gue udah satu sekolah juga” jawabnya galak.
Aku tertawa lagi. Dia doang laki yang suka di siksa dua perawan Jendral, hanya untuk bisa di izinkan ikut latihan menembak.
“Bastart satu lagi kemana?” tanyaku.
Dia tertawa.
“Marco?, sibuk dia” jawabnya.
“Ngapain, emang dia punya otak?” ejekku.
Terbahaklah si Reno sialan.
“Ngaon cewek bule teman sekelasnya” jawabnya.
Aku manggut manggut.
“Bule mana?, bulepetan?” ejekku lagi.
Dia menghela nafas.
“Au bule mana, mendadak Marco kaya orang gila macam sepupu gue gara gara cewek bule doang. Heran gak sih lo?” jawabnya.
“Apes tuh cewek di kejar kejar Marco” komenku lalu beranjak lagi.
“Sin, yaelah, gue antar yuk” rengeknya menyentuh tanganku.
Aku menatapnya galak sampai dia melepaskan cekalan tangannya di tanganku.
“Gak berani jamin Marco gak akan ganggu elo lagi, elo juga gak usah takut sama gue. Gue udah punya pacar teman sekelas gue” jawabnya pada tatapanku.
“Trus tujuan elo antar gue pulang?” tanyaku.
“Lah gue mah gentleman, dan laki yang nepatin janji. Alice suruh gue antar elo pulang, trus gue sanggupin, kan artinya gue janji sama Alice buat antar elo. Gue gak ada maksud apa apa, selain mau nepatin janji gue sama Alice” jawabnya.
Ya sudahlah di banding aku naik taksi dan ketemu abang taksi yang menyebalkan.
“Ayo buruan anatar gue pulang. Jangan modus lo!!, kalo mau tetap bernyawa sampai rumah” ancamku.
Dia terbahak.
“Siap…” desisnya setengah mengejek.
Jadi bareng bastart pulang. Dan karena sudah sore banget, kami jadi terjebak macet.
“Ngapa sih lo, Alice bilang lagi galau” tegur Reno karena aku diam saja.
“Kenapa orang selalu kepo sih, kalo lihat orang lain banyak diam?” tanyaku.
Dia tertawa lagi.
“Ya aneh aja kali. Elo galau gara gara bujang?” tanyanya lagi.
Aku jadi menoleh menatapnya.
“Apa sih yang buat cewek galau kalo bukan bujang” jawabnya pada tatapanku.
“Emang laki gak pernah galau gara gara perawan?” tanyaku balik bertanya.
“Galau juga, tapi laki lebih bisa bohong, kan punya teman teman yang bisa di ajak buat hilangin galau” jawabnya.
“Kalo teman, cewek juga punya” sanggahku.
“Teman ala cewek mah, cuma bisa curhat curhatan doang yang ujungnya tetap bikin bego. Cewekkan suka berpresepsi macam macam. Kalo teman cowok lebih ke arah ngajak senang senang kalo temannya lagi galau. Gue aja sebenarnya lagi galau” malah curhat.
Aku tertawa.
“Bastart kaya elo apa yang bisa bikin elo galau?” tanyaku.
“Gue punya cewek, terus mantannya kakak kelas di sekolah gue. Trus ribet ganggu cewek gue terus” jawabnya.
“Tinggal hajar” saranku.
“Maunya, Marco bilang takut kecot, enak sih di tembak aja Sin, biar mati sekalian” jawabnya.
Aku tertawa.
“Minjem pistol elo Sin, Alice gak punya, elokan punya. Gue pinjem dong” rengeknya.
“Jangan jangan elo niat antar gue pulang, karena niat pinjem pistol gue?” cecarku.
Dia tertawa.
“Yaelah usaha” jawabnya menyebalkan.
Aku berdecak.
“Elo nembak aja belum lempeng, yang ad ague keseret masalah karena elo pakai pistol gue. Gak deh, mas ague dapat getahnya. Elo bilang aja dah siapa lakinya, biar gue yang eksekusi” tolakku.
“Yang ada tuh laki malah minat macarin elo” jawabnya.
Aku tertawa.
“Keceh dong gue?” gurauku.
“Keceh kalo elo gak galak. Atau kalo elo buka kaos elo biar bisa gue grepe” jawabnya.
Astaga!!, bastart. Jadi aku pukuli bahunya dengan tas selempangku lalu dia terbahak.
“Becanda anjir, gak minat gue, elo bekas sosotan Marco” katanya setelah aku cape memukulinya.
Aku melengos sebal. Kapan aku pacaran dengan Marco. Dan gak minat juga menyerahkan diriku pada lelaki tidak ada akhlak yang hampir memacari setengah cewek cewek di sekolah, persis laki bastart di sebelahku.
“Mending gue diam dah, daripada nyawa gue ilang” katanya lagi lalu beneran diam.
Baguslah daripada beneran aku hajar. Lalu aku terbelak waktu sampai rumahku dan menemukan Rengga berdiri dekat mobilnya menatapku dan Reno.
“Siapa?” tanya Reno.
“Teman gue” jawabku keluar mobil Reno.
Aku deg degan waktu melihat Rengga menatap Reno yang juga menatapnya dari dalam mobil waktu aku mendekat ke arahnya.
“Reng?” tanyaku setelah kami dekat.
Dia tersenyum canggung.
“Elo sibuk ya?” tanyanya.
Aku meringis ikutan menatap Reno sekilas di dalam mobil lalu menatapnya lagi.
“Elo ngapain cari gue?” tanyaku lagi.
Baru dia mengusap tengkuknya.
“Gak jadi deh Sin, gue balik dulu, sory ganggu elo” katanya.
“Tapi…” lalu aku diam karena dia mundur lalu tersenyum.
“Gue balik dulu ya” pamitnya lagi lalu masuk mobil.
Aku hanya bisa mengawasi saat dia memutar balik mobil dan Reno memundurkan mobilnya untuk memberikan Rengga jalan.
“WOI!!, gue balik ya!!” pamit Reno juga.
Aku hanya mengangguk, karena bingung dengan maksud Rengga datang ke rumahku. Sampai dalam rumah, aku kirim pesan pada Rengga.
Gue mau kenalin elo sama sang Dewi lain yang gue maksud, tapi kayanya gak guna.
Itu bunyi pesan balasan Rengga. Antara marah dan penasaran waktu aku membaca balasan pesannya. Tapi cukup membuatku enggan membalas pesannya lagi. Bodo amat sama sang Dewi lain. Mending aku gak kenal juga. Buat apa coba kalo hanya buat aku sakit hati.
Tapi waktu aku masuk sekolah dan Rengga tidak masuk, aku malah semakin suntuk. Kemana Rengga?.
“Cuma izin gak masuk doang sama gue, gak kasih alasan” jawab Roland yang menyampaikan pesan Rengga pada ketua kelas.
Anehkan?. Lebih aneh lagi saat dia masuk di hari senin pagi, dan dia kelihatan ceria menyapaku dan yang lain.
“Morning…” sapanya lalu duduk di bangkunya menghindari tatapanku.
“Happy banget bro, liburan panjang kayanya” ejek Roland.
Terdengar Rengga tertawa di belakang punggungku.
“Healing gue Rol, patah hati” jawabnya.
Mau banget aku berbalik dan mengomel. Patah hati apaan?, yang ada aku yang patah hati. Eh kok ya baper akunya.
“Sin elo diam aja, pas Rengga gak masuk, elo sibuk tanya tanya” tegur Roland.
Aku malas tanggapi, jadi aku diam aja.
“Masa sih Rol?” suara Rengga.
“Gak percaya lo, kangen tuh perawan jendral sama elo” ejek Roland.
Baru aku menggeram dan berbalik untuk melempar Roland dengan pulpen yang aku pegang.
“BACOT LO!!’ omelku lalu berbalik lagi.
Terbahaklah dua bujang menyebalkan di belakangku. Marina juga ikutan dan membuatku semakin geram. Sampai di jam istirahat aku kabur ke perpustakaan karena malas nongkrong dengan teman temanku yang pastinya ada Rengga. Eh malah aku ketiduran di perpus sampai jam pulang. Lagi lagi aku tidak bisa tidur semalaman.
Aku hindari orangnya, malah dia nunggu aku di kelas kami, dan kelas sudah sepi karena sudah jam pulang.
“Ikut gue yuk!!” ajak Rengga.
Aku abaikan dan membereskan bukuku dan aku masukan ke dalam tas.
“Gue sibuk” tolakku lalu beranjak.
Aku abaikan terus walaupun dia mengekorku sampai parkiran.
“Ikut gue!!” ajaknya mencekal tanganku.
“Lepas gak?” kataku.
Dia menatapku lebih dalam lagi.
“Sekali ini aja, dan gue maksa kali ini. Elo harus mau, karena setelah ini, gak perlu elo yang menjauh dari gue. Mungkin gue duluan yang akan jauhin elo” katanya.
Aku menghela nafas lelah.
“Janji elo bakalan jauhin gue dan gak ganggu gue lagi?” tanyaku.
“Janji” jawabnya.
Menurutlah aku masuk mobilnya dan mengabaikan mobilku yang harus aku tinggal di parkiran sekolah. Nanti aku bisa urus. Aku harus selesaikan dulu urusanku dengan Rengga. Kami lalu diam sepenjang jalan yang aku tidak kenal arahnya, tapi aku tetap waspada. Aku mendadak takut waktu Rengga berhenti di area pemakaman umum yang tidak aku kenali juga lokasinya.
“Elo gak bukan psikopat yang bakalan matiin guekan?” tanyaku setelah Rengga mengajakku turun.
Dia tertawa.
“Elo lihat gak dua penjaga makam yang pasti kenalin kita. Jadi jangan takut gue macam macam. Lagian masa cewek jagoan kaya elo takut sih, gue gak bisa gelud, trus dua penjaga makam itu udah hampir kakek kakek, gak usah elo hajar keras, di jorokin aja mereka pasti tepar” kata Rengga.
Benar juga. Itu kenapa aku bersedia turun dan mengekornya. Aku mengawasi Rengga yang menyapa penjaga makam dan mencium tangan keduanya.
“Kemarin baru kesini, udah kesini lagi” kata si bapak yang satu.
Rengga tertawa.
“Ada yang ketinggalan pak” jawabnya, lalu menarik tanganku untuk masuk komplek pemakaman itu.
Aku biarkan Rengga menuntunku lebih masuk lagi menyusuri jajaran makam yang berderet dan tampak rapi.
“Kita mau apa sih ke sini?” tanyaku mulai tidak sabar.
Rengga juga diam aja.
“RENG!!” jeritku protes dan melepaskan diri dari cekalan tangannya.
Dia hanya menatapku sekilas lalu bergerak lagi. Aku tidak punya pilihan selain mengekor. Kami sudah terlalu jauh masuk, dan aku lupa arah jalan keluar, aku terlalu sibuk mengawasi makam makam di sekelilingku.
Lalu aku ikut berhenti waktu Rengga berhenti lalu menatap makam yang masih terlihat taburan bunga di atas pusaranya yang berrumput hijau pendek dan rapi.
“Ini….” desisku.
Rengga menoleh menatapku lalu tersenyum.
“Kenalin Sin, sang Dewi lain” kata Rengga.
Aku jadi menatap batu nisan seperti Rengga.
“Gayatri…Sinta…Sari…Natalegawa…” desisku dan terbata membaca nama di batu nisan itu.
“Dia mama gue, mama kandung gue” jawab Rengga tanpa menatapku yang menoleh menatapnya.
“Astaga…” desisku bersamaan dengan airmataku yang luruh dan menutup mulutku.
“Dia sang Dewi yang gue cintain dan gue sayangin sebelum gue ketemu elo. Dan dia akan terus tinggal untuk gue kenang” kata Rengga lagi.
Maaf Reng…rasanya aku mau sekali menembak kepalaku sendiri menghadapi kenyataan ini.