Rengga POV.
Setelah insiden penolakan SInta akan bubur yang aku beli, dengan sendirinya membuatku jadi menjaga jarak aman. Bukan aku takut mendekat atau takut dia mengamuk lagi. Tapi lebih ke memberikan ruang, supaya Sinta tetap nyaman untuk melakukan kegiatan dan menghabiskan waktu dengan Karin atau Noni. Kasihan kalo Sinta jadi tidak nyaman dan aku tidak mau memaksa sementara waktu. Kadang lebih baik menjaga jarak sementara waktu, untuk menenangkan diri. Entah aku, entah SInta. Kalo masih emosi, pasti malah buat keadaan malah berantakan.
Dulu aku sering lihat papa mamaku yang diam diaman tanpa bertegur sapa, walaupun di satu frame kegiatan sama. Tapi mamaku tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, papaku juga. Mereka juga tetap melakukan kegiatan bersama denganku atau kak Laras. Kami sarapan bersama, nonton TV bersama, atau makan malam bersama, tapi ya papa dan mama diam diaman dan bicara seperlunya.
“Mama kenapa sih sama papa?” tanyaku tak tahan setelah papa berangkat kerja.
Mama tertawa.
“Gak apa. Memang ada apa?” malah mama tanya.
Aku berdecak.
“Itu kenapa diam diaman trus” jawabku.
Mama tertawa lagi.
“Mama lagi kesal sama papa. Masalahnya biar mama yang tangani” jawab mama.
“Trus papa juga kesal sama mama?. Kalo papa yang salah, atau mama yang salah, kenapa gak minta maaf?” omelku sok tau waktu itu.
Mama tersenyum kali ini.
“Nak, kadang butuh ruang dan waktu untuk seorang perempuan meredam emosinya, dan papa tau soal ini. Diamnya papa untuk itu, dia memberikan mama ruang dan memberikan mama cukup waktu, untuk meremdam emosi mama. Kalo emosi mama sudah berhasil mama redam, pasti papa ajak mama bicara atau minta maaf, kalo memang papa merasa bersalah. Kalo papa tidak melakukan itu, hanya akan buat kami bertengkar. Mama emosi, papa emosi, apa yang di dapat dari dua orang yang saling emosi?” jawab mama.
Aku diam mencoba mencerna.
“Nak, suatu hari kalo kamu punya pacar, atau punya istri. Lakukan yang apa papamu lakukan. Jangan lawan amarah perempuan dengan amarah juga. Perempuan itu menitik beratkan segala sesuatu pada perasaan, jadi emosi yang bicara. Beda dengan lelaki yang menitik beratkan segala sesuatu pada logika. Kalo pun lelaki akhirnya emosi, itu hanya soal egonya yang keluar bersamaan dengan rasa kesal atau marahnya. Kamu ngerti soal ini?” tanya mama kali ini.
Waktu itu aku tidak terlalu mengerti jadi aku menggeleng.
“Intinya, kalo nanti pacarmu atau istrimu marah karena merasa kamu melakukan kesalahan, atau karena kamu membuatnya kecewa, biarkan dulu dia dengan amarahnya. Beri dia waktu untuk meredam emosinya, bukan berarti kamu menghindar, hanya memberi waktu supaya dia tenang dan rindu sama kamu” kata mama lagi.
Aku jadi tertawa.
“Orang marah kenapa jadi rindu mah” ejekku.
Mama tertawa juga.
“Kamu gak tau aja, kalo mama sudah rindu di tegur papa. Sudah tiga hari kami saling diam. Itulah perempuan, suka gengsi” jawab mama.
Aku tertawa lagi.
“Mau aku bilang sama papa, kalo mama kangen?” ejekku lagi.
Mama tertawa lagi.
“Papa tau kapan mama sudah tenang untuk kami bicara dan melepas rindu. Bagianmu sekarang, ambil tasmu, dan pakai sepatumu, trus sekolah. Jangan kepo urusan orang tua” jawab mama.
Aku menurut sambil tertawa.
Dan benar mamaku, papaku tau kapan mamaku sudah tenang dan bisa di ajak bicara berdua. Walaupun mama sempat gengsi menolak.
“Mah…papa kok gak ketemu ya cari kaos papa yang mama baru beli” papa memulai setelah kami makan malam.
Mama diam.
“Mah, papa tanya tuh” kata kak Laras.
Aku hanya mengawasi mama dan papaku.
“Sudah tua sih, cari apa apa gak bisa sendiri. Harus mama trus” omel mama.
Tapi aku tau itu gimmick, karena kak Laras menahan tawa, sementara papa tertawa.
“Malah ketawa, udah tau gak bisa lakukan apa apa, kalo gak mama bantu. Heran papa tuh, sadar gak sih kalo bisanya buat mama repot doang” omel mama lagi.
Papa terbahak.
“Pah!!” omel mama bangkit beranjak.
Aku menatap kak Laras yang tertawa.
“Papa susul mama dulu” pamit papa menghentikan tawanya.
Seperti itu cara kerjanya. Mereka berdua di kamar, dan aku berdua kak Laras bertahan di ruang tengah menonton TV.
“Kak itu gak akan malah berantem?” tanyaku khawatir.
Kakakku tertawa, dia sudah lebih dewasa dari aku yang waktu itu masih SMP.
“Berantem kecil gak masalah, tar juga sayang sayangan. Udah beberapa hari juga diam diaman, pasti saling kangen. Bukan masalah besar juga yang di ributkan. Mama kesal papa lupa bilang jam pulang, seperti biasa, saking sibuk kerja. Mama cuma cemburu karena di duakan pekerjaan” jawab kakakku yang pasti tanya papaku juga soal masalahnya.
Aku mengangguk mengerti.
“Udah gak usah di pikirin, nanti juga baik lagi” tambah kak Laras.
Dan benar kak Laras. Waktu mereka kembali bergabung mamaku sudah tertawa lagi dan mereka mesra lagi. Duduk berdua ikutan nonton TV sampai aku dan kak Laras pamit masuk kamar. Itulah alasanku ikutan diam, dan membiarkan Sinta. Aku meniru papaku, yang memberikan mama ruang dan waktu untuk meredam emosi.
Karin tapinya tetap menegurku soal ini.
“Malah di lawan diam sih Reng. Sinta jadi suntuk” tegurnya.
“Yam au gimana, kalo gue dekatin masih galak. Gimana gue ajak ngobrol” jawabku.
Karin tertawa.
“Cewek itu butuh waktu dan ruang untuk meredam emosi” tambahku.
“Eleh, sok tau” jawabnya.
“Lah benar kok. Elo aja sama Obi baru bisa redam emosi lo, pas Obi malah menjauh. Kangenkan lo, jadi elo biarin dia dekatin elo pas emosi elo reda” jawabku.
Tertawa lagi Karin.
“Memang masalahnya apa sih?” tanya Karin lagi.
Baru aku jelaskan semua, curhat lebih tepatnya. Soal kekesalan Sinta pada Febri dan soal keluhanku pada kedekatan Sinta dan Roland. Aku abaikan kemungkinan Karin meledek, eh beneran aku di ledek, terutama soal Roland. Memang Karin resek. Tapi aku merasa lega setelah bisa curhat pada Karin.
Setelah Karin, giliran Roland yang menegurku di lain waktu.
“Ngapa sama perawan Jendral?. Pusing gue dengar dia ngomel gak jelas sama gue. Ada apa sih?” tanyanya.
Aku tertawa. Mana mungkin aku cerita soal rasa tidak sukaku padanya yang sekarang dekat dengan Sinta. Tidak etis aja rasanya. Lagipula aku rasa Sinta mungkin sudah curhat soal ini.
“Sinta jealous sama elo soal Febri, trus jangan bilang elo jealous sama gue, karena dekat dekat Sinta?” kata Roland lagi.
Tuhkan dia tau. Aku jadi tertawa lagi, walaupun lebih pelan.
“Reng…kalo gue minat sama Sinta, dari kita sekelas udah gue pepet tuh perawan Jendral. Inikan gak Reng. Gue biarin elo deketin, dan gue senang lihatnya. Sinta memang mesti dapat elo yang melankolis dan sabar. Gue gak bisa Reng nanganinnya. Apalagi kalo dia mulai mellow apa gahar. Bikin pening kepala gue” kata katanya lagi.
“Elo sukanya sama bocah ABG yang bisa elo begoin atau yang gampang terpesona sama kegantengan elo?” ejekku.
Roland terbahak.
“Gak usah bahas soal gue. Gue pernah buat salah dengan curhat soal ini, Sinta sampai sekarang jadi kepo trus sama percintaan gue yang gak jelas” keluhnya.
Aku tertawa lagi, walaupun tidak tau masalah yang di curhatkan Roland pada Sinta. Mungkin aku jadi salah kali ya, menilai kedekatan Sinta dan Roland. Roland aja santai bicara soal Sinta padaku. Dari gerak geriknya, dari intonasi suaranya, dia terdengar tulus peduli dengan Sinta yang mungkin uring uringan karena berselisih pendapat.
“Rayu Reng!!, elo pujangga, masa gak jago rayu. Kalo emang tetap gak bisa, belajar deh dari kampret, jago dia bagian ini” saran Roland.
Aku hanya mengangguk. Dan aku tetap tidak lakukan. Aku masih merasa Sinta emosi. Kalo lihat aku aja, wajah garangnya masih terlihat jelas sampai aku kadang merinding. Aku sebenarnya kangen dia yang menye menye sama aku, macam Noni ke Nino.
“a***y, perawan Jendral, mukanya horror gitu Reng, gak ngeri lo Reng?” bisik Obi di lain waktu lagi.
Jadi mendadak kepo semua gara gara aku dan Sinta perang dingin. Bukan aku kesal karena semua seperti mencampuri urusanku. Aku justru malah senang. Gak tau ya, sepertinya semua menunjukan keperdulian padaku dan Sinta. Mungkin ini alasan Sinta juga perduli pada setiap permasalahan yang di alami teman teman baru kami. Hanya Nino dan Noni yang tidak berkomentar banyak. Tapi aku tau mereka tetap perduli. Nino kadang menemaniku suntuk di pojok kantin, sampai bolos pelajaran. Dia tidak sekelas lagi dengan Noni, jadi agak longgar. Tapi ada Karin yang akan ngamuk menyusulnya ke kantin.
“KAMPRET!!, masuk kelas gak!!. Jangan sia siain kerja keras teman gue ya!!” omel Karin galak.
“a***y Reng, kompeni gak ada, ngapa jadi pribumi antek kompeni yang jadi centeng gue” ejek Nino tapi bangkit dari duduknya.
Aku terbahak waktu Karin menggeram sambil tolak pinggang.
“Yaelah becanda Kar, galak amat lo, Rengga bolos juga tuh” kata Nino sambil menunjukku.
“Eh, dia gak punya catatan hitam hampir DO, emang elo. Kelar hidup elo kalo sampai ketahuan bolos pelajaran trus. Masuk kelas gak!!. Ayo buruan, biar pujangga cari inpirasi caranya rayu perawan Jendral” ejek Karin sambil menarik tangan Nino yang terbahak.
Aku tertawa lagi. Aku lihat Karin yang kembali ngomel karena omongan konyol Nino sampai kemudian, Nino merangkul bahu Karin dan berlalu dari kantin. Noni aja santai ya Nino begitu sama Karin, sesantai Nino yang melihat Noni suka merangkul lengan Obi atau merengek pada Obi. Ini rasa saling percaya yang aku dan Sinta belum punya.
Lalu giliran Omen bereaksi di saat aku dan Sinta bertahan perang dingin hampir 4 hari atau 5 hari, lupa aku juga. Dan semua sedang berkumpul di pojok kantin. Aku dan Omen turun belakangan lalu bergabung. Sinta yang langsung diam melihat aku dan Omen mendekat.
“Ini ada apa sih?” tegur Omen menjeda tawa semua.
“Ada apaan sih Men?” jawab Karin yang berani menjawab.
Omen berdecak.
“Ini perawan Jendral sama Pujangga milenial” jawabnya.
Yang lain tertawa lagi sepertiku, Sinta yang diam cemberut dan melengos. Dia duduk di sebelah Roland, sedangkan Karin duduk berderet dengan Noni di apit Nino dan Obi di sisi lain Karin.
“Gak jelas lo Men!!” omel Sinta.
Omen berdecak lagi. Dia yang paling diam, dan paling belakangan komentar, pada siapa pun. Ingatkan kalo Omen lebih suka mengawasi kami semua?. Kalo Omen sampai angkat bicara, berarti dia tau, masalahnya belum beres.
“Elo yang gak jelas. Ada apaan sampai mesti perang dingin sama Rengga?” jawab Omen.
Sinta memutar matanya. Semoga tidak adu gelud.
“Emang elo pacaran sama nih laki!!” kata Omen lagi sampai perlu mendorong bahuku.
Sinta terbelalak saat yang lain tertawa.
“Cie…” ejek Obi malah meledek.
Aku jadi ikutan tertawa.
“Kalo elo gak pacaran sama nih laki, trus ngapain elo ngambek gak jelas. Nyebelin tau gak lo!!, ngaku aja anak Jendral, tapi baperan" ejek Omen.
Sinta semakin melotot dan Omen seperti tidak perduli.
“Men…” tegurku menjeda.
“Diam!!, jadi laki, jangan mau banget di injek injek perempuan” jawab Omen.
Aku meringis waktu Sinta bangkit.
“DUDUK!!” jeda Roland menarik tangannya supaya duduk lagi.
Dia menurut duduk tapi melengos menhindari tatapanku dan bertahan menatap Omen sama tajamnya.
“Dan yang lebih nyebelin dari elo, kalo memang gak suka sama Rengga, ngapain elo menye menye,rangkul rangkul lengan nih bujang kemana mana, sampai elo suka banget sandaran di bahu Rengga. Elo gak pernah tau gimana gemetarannya nih bujang gara gara kelakuan elo?” kata Omen lagi.
Yang lain kompak ngakak dan aku cenger cengir.
“Kalo sama elo gak ya Men, kan orientasi elo di ragukan” ejek Obi.
Terbahak lagi semua, kecuali Omen dan Sinta.
“DIAM GESREK!!” bentak Omen.
Obi menurut diam.
“Emang ngapa sih Men menye menye, gue aja gitu sama Ino” sanggah Noni.
Nino tertawa lalu mengacak rambut Noni.
“Nah itu!!, maca kampret, akhirnya tangannya ngayap ngacak rambut elo, dan elo jadi ikutan baper, apa gemeteran” jawab Omen.
Noni merona dan Nino tertawa lagi.
“Intinya centeng” ejek Karin.
“Intinya, ngapain pake baper, kalo emang gak punya hubungan apa apa. Mau apa baper, kalo emang gak punya perasana lebih dari teman. Macam Sinta sama Rengga sekarang. Gak jelas masalahnya apa, tau tau perang dingin. Yang perawan jendral jadi galak banget, yang pujangga jadi muyung kaya ayam sayur” ejek Omen.
Yang lain tertawa lagi, dan Sinta memutar matanya.
“Jealous euy aslinya” celetuk Roland dan bahunya jadi di dorong Sinta.
“Gak mesti kalo gak pacaran, ngapain jealous?. Kalo emang begitu, jadian aja dulu, bukan sibuk sama masalah gak penting. Kalo udah jadian, masalah gak penting aja jadi penting. Itu kenapa gue bilang jangan baper kalo emang gak ada hubungan apa apa” jawab Omen.
Semua jadi diam.
“Eneg lama lama gue lihatnya. Dikit dikit masalah. Yang laki lembek bilang sayang apalagi nembak, yang cewek dikit dikit ngambek gak jelas. Bisa gak sih elo pada mikir dewasa, dengan jujur bilang sayang atau gak. Heran mesti banget centeng macam gue bahas soal ini!!. Puas lo semua!!” omel Omen lagi.
Baru tertawa lagi semua.
“Pulang ah, ada yang mau bareng gak!!” jeda Sinta beranjak.
“Eleh, Men…elo mah bikin makin runyam” keluh Obi.
Apa Omen perduli, gak tuh, santai aja melepas Sinta berlalu sendiri.
“Gue temanin!!, sayang Omen!!” kata Karin ikutan bangkit lalu mencium pipi Omen.
“HEI!!!” protes Omen dan Obi.
Karin tertawa.
“Gak Non jangan ikutan, rugi gue” cegah Nino menahan lengan Noni.
“Pulang ah sama perawan Jendral, males ada yang baper” ejek Karin lalu menyusul SInta.
“Ayo Ino!!, pulang” rengek Noni dan Nino pasti menurut.
Tinggal aku, Obi, Omen dan Roland.
“Jangan di alem banget cewek mah Reng, diamin aja. Tiru Gesrek!!, kalo elo mau maju, maju yang benar, galakan dikit, biar elo di hargain” pesan Omen waktu aku pamit ikutan pulang.
Sinta mesti tetap di kawal, mau dia sedang ngambek atau tidak. Aku lihat Obi dan Roland mengangguk. Aku mesti mulai memikirkan gimana caranya buat Sinta bersedia mendengar, agar kami tidak perang dingin lagi.