37. Romantisme

1836 Kata
Rengga POV. Lalu aku ternganga. “Reng!!, maaf ya, kelamaan nunggu” malah minta maaf. Aneh Sinta tuh, kenapa mesti minta maaf kalo setelah hampir satu jam aku menunggunya bersiap, lalu dia selesai dan dia jadi cantik sekali. Aku sampai mengusap kasar wajahku saat bangkit dari sofa ruang tamu rumahnya. “Kenapa sih?” tanyanya lagi. “Gak. Udah siap?” tanyaku. Dia mengangguk lalu mengamati penampilanku yang kali ini rapi dengan kemeja lengan panjang kotak kotak biru yang aku gulung sampai siku. Rapi versiku tetap aja pakai celana jeans dan sepatu kets. “Hmm…gue mesti ganti baju gak sih?, kok kayanya kalah rapi sama elo” keluh Sinta padahal sudah cantik dan rapi juga. Dia memang bukan pakai gaun. Tetap pakai kaos warna putih dengan gambar simple horizontal di bagian d**a, hanya berupa gambar garis garis seperti garis di alat cardiograf rumah sakit. Bawahannya rok model lebar di bagian bawah sepanjang hampir betis berwarna pink. Serasi kali kalo di padu dengan sepatu kets warna putih tanpa banyak detail. Simple, chic dan elegance kalo aku nilai meniru kata kata di beberapa majalah remaja yang suka Sinta bawa ke sekolah. Sinta memang fashionable sekali. “Eh gak usah, rapi rapi amat, kaya mau kondangan” cegahku. Sinta tertawa. “Dinnernya bukan di restoran peranciskan?” tanyanya lagi. Aku menghela nafas. Harusnya aku sejak awal jujur, kalo belum booking tempat untuk kami makan malam. Jangankan berharap makan malam romantis ala ala couple di film drama romantis juga, bayangan restoran untuk mewujudkan suasana itu aja, aku tidak punya bayangan. Sebenarnya ajakan dinner ini, aksi spontanku saja karena malu dengan perhatian Sinta yang memberikan hadiah valentine khusus untukku. Harusnya aku mengikuti saran Nino yang menyuruhku dan Obi membeli coklat Valentine, seperti Nino yang membelikan coklat Belgium impor untuk Noni. Aku memang payah bagian ini. “Eng…sebenarnya gue belum booking restoran buat kita dinner” jawabku akhirnya jujur. Sinta menatapku dengan dahi berkerut. “Gue sebenarnya juga gak tau restoran apa yang cocok buat dinner romantis ala ala Valentine Sin” lanjutku. Aku pikir Sinta akan marah, ternyata dia tertawa. “Emang dinner romantis versi elo apaan?” tanyanya gantian. Aku meringis. “Mungkin dinner di restoran Perancis yang elo bilang” jawabku. SInta tertawa lagi. “Trus elo berharap gue kaya Julia Robert di film Pretty Women yang makan escargot trus malah mental trus di tangkap pelayan?” ejeknya. Aku jadi ikutan tertawa. “Jadi gak dinnernya?, elo belum tau mau makan malam dimana gini” katanya lagi. Nah, ini hasil dari kebodohanku berikutnya. Benar Sinta, mau dinner dimana kalo belum tau tujuan tempat kami makan malam. “Eng…ada recomendasi gak?, gue nurut deh mau elo ajak makan dimana” kataku sambil mengusap tengkukku karena panik Sinta akan marah. “Hm…gitu ya” jawabnya lalu diam. Aku jadi mesti menebak dia marah atau sedang berpikir. “Atau jalan dulu deh, nanti pikirin sambil jalan” ajakku menarik tangannya. Bagusnya dia tertawa, jadi kemungkinan dia ngambek jadi tidak mungkin. “Silahkan nona!!” kataku memepersilahkan Sinta masuk mobilku. Dia tertawa lalu menurut masuk. Aku lalu menyusulnya masuk mobil. PR banget nih untukku, aku mesti berpikir cepat akan membawa Sinta makan malam dimana. Memang bego banget akunya. Untungnya Sinta juga diam sepanjang perjalanan. Kemana ya mesti aku bawa Sinta makan malam?. “Beli buruan coklat. Gue tuh intip obrolan Noni, Karin sama Sinta di chat handphone, mereka kayanya mau buat coklat valentine. Gak mungkinkan gak bagi ke kita kita” kata Nino memulai tanpa Omen dan Roland. Hanya ada aku dan Obi di kantin pojok. “Yang jadi masalah, gimana elo bisa buka handphone bule” ejek Obi. “Tau lo No, melanggar privacy” omelku karena menurutku berlebihan. Nino tertawa. “Gue sama Noni udah gak ada privacy” jawab Nino. “Jadi Noni bisa lihat handphone elo juga?” tanyaku. Nino menggeleng. “Menang banyak” omel Obi. “Lah serah gue. Bahaya kalo Noni lihat isinya” sanggah Nino. “Paling penuh foto cewek mantan pacar elo” tebak Obi. Nino tertawa. “Penting amat simpen foto mantan pacar. Lagi jadi pacar aja gak pernah gue simpen lama, pasti gue hapus” jawab Nino. “Trus?” tanyaku heran. “Bahaya kalo Noni lihat banyak foto dia di handphone gue yang belum sempat gue pindahin ke laptop. Nanti dia ngamuk kalo tau sering diam diam gue foto” jawabnya. “ASTAGA!!!!” jeritku berdua Obi kompak. Dia terbahak. “Ngapa sih lo, ribet amat sama urusan gue” sanggahnya. “Trus Noni gak marah, elo akses handphone dia?” tanyaku masih heran. Nino menggeleng. “Males kali dengar gue ngomel. Guekan gak suka kalo ada cowok cowok yang gak di kenal chat dia. Tar kalo di apa apain gimana?. Jadi Noni suka biarin gue hapusin tuh nomor atau gue blok. Nurut Noni gue mah” jawabnya. Aku dan Obi geleng geleng. “Bukan nurut, emang bule bego aja mau aja di begoin elo” jawab Obi. Nino tertawa. “Mana ada gue begoin, yang ada gue sayang banget” jawabnya. Hadeh…konsep sayang apaan ya model gini?, masa mendomisasi sekali?. Sampai pasangan tidak punya pripacy lagi. Benar Nino apa Obi sih?, apa benar keduanya?. Kalo Noni itu si penurut yang bego. “Udah gak usah kepo sama gue sama Noni, sana beli coklat, jangan sampai malu lo berdua sama cewek cewek. Kasihan juga kali, masa mereka mikir gimana kasih hadiah valentine, elo berdua malah gak ada usaha” kata Nino berikutnya. Memang dia jago menaklukan perempuan, buktinya Noni aja takluk. Mau mereka punya komitmet pacaran atau tidak, intinya mereka berdua lengket seperti prangko. Dan aku menyesal mengabaikan saran Nino. Sampai tadi sepulang sekolah, masih aku tanya di mana dia beli coklat untuk Noni, karena Sinta suka. “Kasih aja coklat ayam aja anak perawan jendral mah, perutnya aman gak kaya Noni gue, perutnya ninggrat, mesti makan coklat mahal” jawabnya menyebalkan. Aku menggeram dan dia terbahak. “Elah, ngambek pujangga. Kasih aja puisi, meleleh pasti anak Jendral” ejeknya lagi. “NO!!” bentakku kesal. Dia terbahak lagi. “Nyusahin hidup gue lo Reng, kaya Obi aja” keluhnya. Astaga…tinggal bilang beli dimana tuh coklat, masih aja bercanda, udah tau aku panik, bingung balas hadiah Sinta. “Kalo gak, dimana deh restoran yang cocok buat dinner?” tanyaku. “a***y, mau candle light dinner lo?, gak cocok anak perawan jendral mah, ajak aja ke hutan biar bisa nembak burung atau singa” jawabnya. Aku menggeram lagi, itu kenapa akhirnya aku tidak dapat apa pun dengan menelpon Nino tadi sepulang sekolah. Tapi dia akhirnya menelponku kembali. “APA!!!” bentakku. Dia menyebut nama mal dan toko tempat beli coklat. “Gue gak mau kasih tau nama restorannya, nanti kalo Sinta cerita, Noni bisa ngambek gak gue ajak dinner. Bukan gue gak punya duit ya, nyokap bokap gue soalnya undang Noni dinner buat rayain ultah gue” kata Nino berikutnya. “BODO AMAT!!” jawabku lalu menutup telpon. Aku abaikan telpon Nino berikutnya lalu bergegas mandi, aku harus membeli coklat seperti yang Nino berikan untuk Nino lalu menjemput Sinta. Walaupun PR banget soal restoran untuk kami dinner. “Ancol?” tanya Sinta melihatku membawanya masuk pintu masuk tempat wisata Ancol. Aku mengangguk. “Makan seafood pinggir pantai kayanya romantis” jawabku. Sinta bersorak. Ujungnya malah makan di warung pinggir pantai. Mau tau menunya?, mie cup dan minuman the dingin kemasan. “Yakin gak mau makan di restoran?” tanyaku heran. Murah amat ya ajak pergi anak perawan Jendral. “Romantisme itu tercipta gak melulu tentang tempat, makanan dan moment yang tepat. Tapi bisa juga kita ciptakan asal berdua dengan orang yang kita sayang” jawab Sinta sambil membawa mie cup yan sudah di seduh dan minuman kemasan tadi. Aku tertawa lalu menyusulnya dengan membawa bagianku sendiri. Dia lalu duduk di betonan pinggir pantai. Tidak ada pemandangan indah di hadapan kami, hanya gelap gulita dan mungkin lampu kapal di kejauhan. Laut di malam hari justru menyeramkan menurutku. Terlalu gelap dan kelam. Tapi entak kenapa, malah romantis sesuai perkiraan Sinta. Aku diam diam jadi menikmati suasana hening di antara kami, kecuali bunyi mie yang di makan pelan oleh Sinta atau aku. “Boleh tanya gak Reng?” tanyanya tiba tiba setelah selesai makan dan aku sudah membuang cup bekas kami makan. “Soal?” tanyaku menoleh walaupun dia tetap menatap ke depan. “Kenapa status what’s up elo hanya bisa di lihat gue?” tanyanya. Aku tertawa, ternyata sadar juga. “Kok ketawa sih, bukan jawab. Why just me?” kejarnya baru menoleh menatapku menyamping. Aku menghela nafas. “Gue mau banget kaya Nino yang pede bagi Noni sama semua orang, dan nunjukin betapa specialnya Noni buat dia. Tapi…gue gak seberani Nino” kataku jujur. “Kenapa?” kejarnya lagi. Aku menghela nafas lagi, aku jadi menghidari tatapannya. “Takut banyak orang yang jadi ikut kagumi elo, sementara gue belum yakin bisa milikin elo” jawabku. Aku sampai menoleh menatap SInta yang diam tapi bertahan menatapku. “Melted…” desisnya dan aku terbahak. Dia ikutan tertawa. “Pinter banget sih lo bikin gue meleleh, kesel deh” protesnya kesal lalu cemberut. Aku tertawa lagi, walaupun lebih pelan. “Gak usah ngambek. Gue udah usaha lo tunjukin elo special buat gue, tapi dengan cara gue yang mungkin gak gentleman. Gue terlalu takut elo di ambil orang, jadi boleh ya gue simpen elo buat diri gue sendiri?” tanyaku. Sinta cengar cengir menatapku. “Malah ketawa, jadi gantian gue yang kesal” protesku. Dia gantian terbahak dan aku yang cemberut. “Sayang aku….” rengeknya merangkul lenganku. “Hadeh…gantian gue yang meleleh” keluhku dan Sinta terbahak lagi. “Elo sayang gue ya Reng?” tanyanya setengah mengejek lagi. “GAK!!” jawabku spontan dan bohong. Lagi kenapa nanya sih, dan aku rasa dia tau aku bohong, untuk itu dia terbahak lagi dan bertahan merangkul lenganku. “Tapi gue sayang elo, gimana dong?. Gue tembak elo ya?” tanyanya semakin tak tau diri. “GAK!!. Nanti gue mati, malah elo mewek” jawabku tetap menatap ke depan menghindari tatapannya. Wajahnya terlalu dekat dengan wajahku, bahaya kalo aku ketelepasan lalu mencium bibirnya. Bisa benaran aku di tembak. “Trus kita begini aja?” tanyanya. Aku menghela nafas. “Diam gak!!, gue udah lemas nih di gombalin elo” pintaku kewalahan. Dia tertawa pelan lalu bersandar di bahuku. Dan membuatku berani menggenggam tangannya yang merangkul lenganku. Sampai dia mengangkat kepalanya dan membuat tatapan kami bertemu lagi. “Romantis bukan?” tanyanya sambil melirik genggaman tanganku. “Ya…dan bisa diamkan sekarang?” jawabku setengah memohon. “As your wish, my valentine” jawabnya lalu bersandar lagi di bahuku. Tak perduli di hadapan kami terlihat gelap gulita, tak perduli juga angin malam membuat tubuh kami perlahan jadi dingin. Atau deru ombak yang sama kerasnya seperti bunyi degup jantung kami. Kalo tangan kami saling menggenggam, dan kepala Sinta yang bersandar di bahuku, rasanya gelapnya lautan terasa terang benderan, dan dinginnya tubuh kami terasa hangat. Benar Sinta, romantisme itu bisa di ciptakan bersama orang yang kita sayang. Hadeh…yang pujangga sebenarnya siapa sih?.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN