Acara pernikahan Dania dan Fariz sudah selesai. Di saat yang lainnya masih sibuk memberikan ucapan selamat pada pasangan yang baru saja resmi menikah, aku malah sibuk melanjutkan hobiku, yaitu memotret. Daripada harus membuat diri sendiri jadi sesak, lebih baik mencoba menenangkan diri. Setidaknya, dengan begitu umurku jadi lebih panjang. Mungkin.
Memotret hal-hal sembarang di belakang rumah dan jauh dari suasana pernikahan. Mungkin kini memori kameraku sudah full, sebab bidikan shutterku kadang meleset. Mencoba berpaling dari keadaan, tapi tetap membuatku tidak bisa fokus sepenuhnya.
"Ah, itu ada kupu-kupu. Lumayan menambah koleksi foto kupu-kupu ku."
Segera beranjak menuju ke pojokan sana. Aku melihat ada kupu-kupu yang berwarna biru dengan gradasi warna oranye di kepakan sayap atasnya. Terlihat begitu menarik perhatianku dan membuatku sangat ingin memotretnya kini.
Dengan sangat perlahan-lahan aku melangkah agar kupu-kupu itu tak menyadari kehadiranku. Bahkan, aku sampai melepas sandal yang aku gunakan dan lebih memilih berjalan dengan kaki telanj*ng.
Setelahnya, aku segera menyiapkan kameraku, memfokuskan lensanya menuju kupu-kupu yang sepertinya masih sibuk menghisap nektar dari bunga.
Dan...
Cekrek!
Berhasil!
Aku berhasil membidik fotonya dengan sangat indah. Meski setelahnya kupu-kupu itu terbang, namun sudah berhasil membuatku senang bukan main.
"Cantik sekali!" Gumamku melihat kembali hasil bidikan ku. Memang aku tak pernah salah dalam bidang yang satu ini.
Ketika aku hendak berbalik, kaki ku malah terpeleset pada tumpuan kayu yang tadi aku pakai agar bisa membuatku setidaknya lebih tinggi dan membidik foto itu dengan tepat. Bukannya mempermudah, malah akhirnya menciptakan luka.
Brak!
"Aww!" Ringisku.
Tumpuan kayu itu mengenai lenganku. Parahnya adalah tumpuan kayu itu sudah tertancap satu paku yang begitu tajam dan membuat lenganku sedikit terluka hingga mengeluarkan darah segar darinya. Kaki ku juga rasanya keseleo, ngilu.
Keseleo, lengan terluka, hati hancur berkeping-keping, PAKET KOMPLIT. Setelahnya, rasa luka apa lagi yang aku rasakan hingga membuatku lupa akan rasa bahagia?.
Aku menunduk malu. Malu pada diriku sendiri yang selalu menginginkan kebahagiaan, namun rasa bahagia itu lah yang enggan menghampiriku. Tanpa sadar, aku menangis sendirian di belakang rumah. Menumpahkan segala rasa sakit yang aku coba tahan yang pada akhirnya membuatku lemah.
"Kamu tidak apa-apa kan, Delisa?"
Haris datang menghampiriku dan aku sangat yakin kalau dia juga tahu kalau aku menangis. Segera aku menghapus air mataku, daripada membuatnya bertanya lebih.
"Tidak. Aku tidak kenapa-napa kok." Jawabku.
Aku berusaha untuk bangun, tapi kaki sebelah kiri ku langsung terasa ngilu, membuatku langsung meringis. Alhasil, dengan sigap Haris memegang tanganku dan membantuku berjalan masuk ke dalam rumah. Ia juga mengambil alih kamera yang sebelumnya aku kalungkan.
"Duduk di sini saja."
Haris mengajakku untuk duduk di bawah tangga. Dia beranjak mengambil kursi plastik untukku. Dia sigap melakukan ini-itu tanpa aku memintanya.
"Terimakasih sudah mau bantu aku." Ujarku padanya.
"Tidak apa. Lagipula ini tidak ada apa-apanya. Kalau kamu mau nangis, lanjut aja. Jangan dipendam. Tidak baik untukmu. Sesak yang kamu rasakan kini, obatnya hanya satu. Luapkan, meski dengan tangisan yang kencang sekalipun."
Mendengar itu seketika membuat tangisku meledak kembali, namun aku tak mau menimbulkan suara darinya. Berarti aku benar bahwa Haris sudah tahu kalau aku menangis saat terjatuh tadi. Dan mungkin saja dia tahu kalau jatuh terpeleset tadi bukan menjadi alasan utama aku menangis.
"Hidup memang sangat tidak adil, tapi yang bisa bertahan dengan segalanya akan bisa lebih bahagia daripada orang yang menyia-nyiakan itu. Aku tahu, aku sangat kurang ajar dengan mengajakmu menikah disaat kamu terluka seperti ini, tapi ketahuilah kalau aku sudah lama memiliki perasaan padamu. Kamu tak perlu memikirkan apa yang aku katakan, anggap saja itu sebagai angin lalu. Yang terpenting sekarang kamu bisa tenang tanpa ada yang membuatmu terluka lagi, lebih-lebih karena perasaanmu sendiri." Ujar Haris, sambil terus mengurut kaki ku yang keseleo.
Terus menangis, namun tak mau bersuara. Itu lah yang aku lakukan sekarang. Bukan hanya karena sakit hati, namun juga terharu sebab di saat tidak ada yang mau mendukungku seperti ini, masih ada orang yang mau berpihak padaku, meski kehadirannya baru hadir setelah lama tidak bersua.
"Sebentar. Aku mau ambil kotak obat dulu untuk mengobati lukamu."
Tidak lama kemudian, ia datang dengan membawa kotak obat di tangannya. Ia menarik lenganku untuk ia obati.
"Ini akan sedikit perih, tapi cobalah untuk menahannya." Ucap Haris.
Dia membersihkan luka ku dengan alkohol dan itu menimbulkan rasa perih, meski tidak sesakit perasaanku kini. Sakit perihnya, tak sengaja aku memegang bahunya.
"Tahan lah sedikit saja." Ujarnya lagi.
Dia meniup luka yang tadi sudah ia bersihkan dengan alkohol. Saat itu, entah mengapa hatiku tergerak untuk selalu menatapnya. Ia bersimpuh di depanku, merawat luka ku dengan baik. Tak seperti keluargaku yang hanya memberikan luka.
Haris— seorang dokter bedah yang sempat menjadi tetangga kami dulu, begitu perhatian padaku. Ia membuatku bisa melupakan masalahku meski hanya sejenak. Hati tulus yang ingin dia tunjukkan padaku, bisa aku rasakan kini. Tapi, melepaskan rasa yang sudah lama bertaut dengan Fariz adalah perihal yang sulit. Membayangkan banyak momen indah yang terlewat dengan sia-sia, meski masih membekas dalam jiwa.
"Apa yang sudah terjadi padamu, Delisa!"
Seketika, suara itu membuatku tersadarkan dan menoleh ke sampingku. Aku melihat Fariz dan disampingnya ada Dania.
"Tadi dia terpeleset saat memotret di belakang rumah. Tapi aku sudah obati dia, jadi kalian bisa pergi." Jawab Haris singkat, mewakili diriku.
Aku lihat, Fariz melepaskan kaitan lengannya dengan Dania dan segera beranjak mendekati diriku. Dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Haris.
Bersimpuh dan memperhatikan luka ku.
Fariz berdecak tidak suka. "Sudah berapa kali aku bilang sama kamu. Kamu boleh cinta sama hobi kamu, tapi jangan buat kamu lalai sama keselamatan mu sendiri. Kamu selalu seperti ini. Kamu tidak tahu kalau aku juga pasti akan sangat mengkhawa--"
"Fariz, kenalin dia Haris. Pacar baruku."
Aku sengaja menyela ucapan Fariz yang demikian. Aku takut membuat adikku merasa sakit hati setelahnya hanya karena mendengarnya yang mengomeliku dengan kalimat yang sama setiap aku terluka. Aku tidak mau, hanya karena rasa khawatir semu yang ia miliki padaku membuat Dania salah paham dan pada akhirnya aku dimarahi sama mama-papa.
Aku sengaja memperkenalkan Haris sebagai pacar baruku. Sengaja mau memperkenalkan luka padanya, meski aku tidak yakin kalau dia akan merasa demikian. Aku hanya berharap, Haris bisa menangkap maksudku kini. Terlebih aku melihatnya yang menatapku dengan penuh kebingungan.
"Dia pacarku." Ucapku mengakui Haris lagi sebagai seorang pacar.