Lelucon yang Tidak Lucu

1096 Kata
"Lisa, keluar!" Suara ketukan pintu itu semakin terdengar menjadi-jadi. Ini sudah malam, sudah waktunya untuk semua orang istirahat, tapi kenapa malah tidurku yang diganggu paksa?. Naasnya lagi, yang menggedor pintu itu sudah pasti mama. Dengan berat hati aku bangun sebelum mama lebih marah dari ini semua. Anehnya, tubuhku terasa pegal, padahal aku tidak melakukan aktivitas yang berat yang bisa membuatku kelelahan. Ah iya, aku lupa. Hatiku lah yang lelah. "Iya, ma. Ada apa? Lisa sudah tidur tadi." Kata ku. Wajah mama terlihat begitu garang. Dia seperti ingin memangsa ku saat ini juga. Tapi permasalahannya, apa salahku?. Aku pikir, aku sudah tidak ada tugas lain yang harus dikerjakan, tapi kenapa?. Adalah sebuah pertanyaan yang besar bagiku untuk sebuah pemaksaan ini. "Cepat turun ke bawah!. Adikmu sudah mau berangkat ke rumah suaminya, tapi kamu malah enak-enakan tidur di dalam kamar. Sangat tidak sopan sekali, Lisa!" Oh, ternyata itu lah alasannya. Si anak emas berharga sudah mau berangkat ke rumah suami tercintanya dan aku harus melihatnya dengan perasaan yang kembali dibuat hancur. "Ma, Lisa pikir tidak perlu ke bawah. Lisa capek, badan Lisa pegel. Sampaikan salam saja pada adek untuk selalu rukun dengan keluarga barunya." "Cepat turun ke bawah, Lisa!" Telak!. Ketika mama sudah membentak seperti ini, pertanda kalau aku sudah tidak bisa menolaknya lagi. Aku pikir, aku bisa diberikan hak untuk menolak demi kenyamanan ku, tapi nyatanya tetap tidak ada hak itu. Dengan perasaan yang sudah dibuat kecewa oleh mama, aku terpaksa turun ke bawah untuk bertemu dengan mereka. Atau mungkin sampai mengantarkan keharmonisan hubungan mereka sampai ke gerbang rumah? Ah, itu terlalu menyakitkan untuk aku yang tidak diuntungkan. Bahuku disenggol. Mama melakukannya dan melengos begitu saja. Hei, ma, aku ini anakmu. Putri pertama mu, bukan orang asing!. Bahkan tatapannya pun tidak aku kenal sekarang. Dia berubah sejak malam lamaran salah sasaran itu. "Ngeyel banget!. Ini lah akibatnya punya sikap yang kurang ajar. Bisa-bisanya bawa cowok ke kamarnya, bahkan mengakui orang itu sebagai pacarnya padahal ia baru saja putus dari suami adiknya. Aneh, memang anak gadis zaman sekarang tidak ada yang bisa menjaga dirinya." Aku langsung tertohok dengan apa yang dikatakan mama. Sudah sangat jelas kalau itu ditujukan kepadaku. Mama bukannya tidak mengenal Haris, malah dia lah yang pertama mengenalkan kami padanya dulu. Tapi kenapa sekarang dia malah seakan tidak mengenal sifat Haris yang sebenarnya?. Sejak awal, pria itu sudah sangat baik kepada keluarga. Dia bukan pria nakal seperti yang dikatakan mama tadi. Astaga, melawan apa yang diucapkan mama di depan keluarga pun rasanya aku tidak sanggup sekarang. Yang aku lakukan hanya satu, menunduk dan menerima setiap perkataan kasar yang diucapkan mama untukku. Sangat jelas untukku. "Kak Lisa..." Suara Dania membuatku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Senyum ini aku hadirkan secara paksa, nyatanya dalam hatiku masih berat untukku menerima hubungan mereka. Pelukan dari Dania pun tidak sehangat dulu. Kini, pelukan dari saudari kembar ku tidak mengartikan apa-apa. "Kak Lisa... Aku pamit ya, kak. Jaga mama dan papa di rumah, jaga diri juga. Selamat untuk hubungan baru kakak dengan Haris. Aku dan kak Fariz akan selalu mendukung hubungan kakak sampai ke jenjang yang sama dengan kami sekarang." Pembual. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Sekarang, sulit bagiku untuk percaya setelah apa yang terjadi. "Iya, dek. Kamu juga baik-baik ya dengan status dan tugas barumu sebagai istri Fariz. Kakak hanya bisa mendoakan agar kamu bahagia dengannya." Kata ku. Bahagia?. Iya, bahagia di atas penderitaan ku. Bukankah itu definisi kehidupan yang sangat lucu sekali? Disaat satu bahagia, ada yang menderita. Saling bertemu dengan rasa yang saling menyakiti. Aku melepaskan pelukan ini lebih dulu. Lebih tepatnya, aku tidak nyaman dengan hal itu. Seperti ada jarak pemisah yang cukup tinggi antara aku dengan Dania sekarang. Menjadi kembarannya tidak menjamin kami untuk tidak bisa dipisahkan. Sangat tidak menjamin. Orang-orang berpikir kalau orang terdekat lah yang lebih berpotensi untuk menyakiti. Dan itu benar-benar terjadi padaku. Kembaranku, keluargaku, hingga orang yang sudah aku berikan kepercayaan penuh. Tidak ada yang berada di pihakku. Kecuali satu pria, Haris. "Jaga diri baik-baik ya, Delisa. Jangan terlalu kepikiran dengan masalahmu sekarang ini. Jangan lupa makan, tidur yang teratur, dan jangan suka ceroboh yang nantinya akan buat kamu sakit sendiri." Sakit. Sangat sakit rasanya mendengar Fariz mengatakan ini. Andai dia bukan lah adik iparku dan masih menjadi pacarku, maka dengan senang hati aku akan memeluknya balik. Tapi tidak, kali ini aku menjaga sikapku. Aku tidak membalas pelukannya, pula ucapannya. Diam adalah keputusan yang sangat benar untukku. Tidak hanya untuk sekarang, tapi untuk selanjutnya. Sebab selain diriku, tidak ada lagi yang bisa aku banggakan. Tidak ada yang mendukungku, selain diriku. Terimakasih, Delisa. Terimakasih sudah mau berjuang sampai sekarang. Sungguh. Aku sedang menahan tangisku untuk keluar. Setiap kata yang diucapkan oleh Fariz, ialah kata yang sering dia ucapkan padaku ketika aku sering mengeluh dan bercerita banyak dengannya. Hal yang sering dia katakan dan aku ingat diluar kepalaku adalah semuanya pasti akan baik-baik saja. Tidak, Fariz. Semuanya tidak akan baik-baik saja selama aku menjadi kembaran Dania dan kamu lah yang menjadi adik ipar ku. Seharusnya setelah kamu memberikan luka, kamu harus menghilang agar tidak menambah sayatan di luka ku. Tapi nyatanya, Tuhan seakan berkata jangan dulu. Kamu belum terluka banyak. "Selamanya, aku tidak akan setuju dengan hubunganmu bersama pria itu. Selaku ingat kata ku ini, Delisa. Hanya aku." Bisikan terakhir itu berarti ambigu. Tetap, aku tidak mau berkata sepatah kata pun untuk Fariz. Sekali lagi, diam adalah pilihanku. Setelah selesai berpamitan pada semua orang, sudah waktunya bagi mereka untuk pergi. Ketika mereka beranjak ke depan rumah untuk mengantar pasangan baru itu, di dalam pikiranku saat ini hanya satu, kabur. Cepat naik ke atas, masuk ke kamar, kunci kamar, tidur dan lupakan apa yang terjadi. Itu yang ingin aku lakukan. "Eh, kamu mau kemana, Lisa?" Aku berbalik. Nyatanya mama kembali tidak sejalan dengan apa yang aku inginkan. "Aku mau masuk ke kamar lagi, ma. Kan adek sudah pamitan sama aku tadi, sekarang mereka sudah mau pergi, kan? Jadi sekarang Lisa boleh naik lagi untuk lanjut tidur." Kata ku. "Siapa bilang? Adikmu mau kamu tidur di rumah suaminya untuk satu malam ini." Lelucon macam apa lagi ini?. Masa iya aku harus menunggu dan menyaksikan kesakitan lainnya?. Aku harus menemani mereka malam pertama? Sangat lucu! Saking lucunya, tidak ada waktu bagiku untuk tertawaan, sebab yang ada saat ini hanya sesak saja. Diciptakan dan diracik langsung oleh wanita yang melahirkan ku atas dasar permintaan perempuan yang lahir bersamaan denganku. "Gak usah bengong-bengong gitu! Sekarang kamu ikuti mereka ke mobil. Besok pagi mama akan minta sopir untuk menjemputmu!" Perintah mama lagi, bahkan kini dia menyeret tanganku untuk mengikuti mereka keluar dari rumah. Lalu, apa gunanya mereka pamitan padaku tadi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN