08 - Kedatangan Wartawan

2557 Kata
“Hah? Wartawan apa? Memang mereka mau ngapain ke sini? Salah alamat?” “Bukan, Non. Mereka mau mengkonfirmasi soal hubungan Non Alana sama Mas Arkan. Mereka mau ketemu Non Alana, maksa banget lagi. Gimana dong?” ujar Bi Murni. “Aduh, sampaikan ke mereka deh, Bi. Aku nggak bisa ketemu mereka karena lagi kurang sehat. Suruh mereka langsung ke Arkan aja! Aku nggak mau urusannya jadi panjang kalau ternyata nanti sampai salah ngomong.” Alana sangat hafal dengan Arkan. Meski selama ini pria itu baik pada Alana, tapi, jika sampai Alana melakukan sesuatu yang merugikannya, pasti dia akan membuat perhitungan. Dan Alana tidak ingin memperpanjang urusannya dengan Arkan. “Tadi sudah coba Bibi usir, Non. Tapi mereka maksa. Mereka bilang nggak akan pergi kalau belum ketemu Non Alana. Apa saya telepon Mas Arkan aja biar datang ke sini?” tanya Bi Murni. Alana melebarkan pupil matanya. Ia malas jika harus berhadapan lagi dengan Arkan. Apalagi, membiarkan pria itu memasuki pekarangan rumahnya. Jujur saja, Alana masih butuh waktu untuk bangkit. Dan ia tidak ingin terlalu sering bertemu dengan Arkan sebelum ia memastikan jika luka di hatinya sudah sembuh dan ia sudah merelakan kisahnya dengan Arkan berakhir. “J- jangan, Bi. Ya udah biar aku temuin aja sebentar,” putus Alana. Alana masuk sebentar ke kamarnya untuk memperbaiki tampilannya. Ia juga mengganti pakaiannya menjadi yang lebih layak. Biar bagaimana pun juga, ia tidak tahu kan, apakah para wartawan itu juga akan mengambil dan menyebarkan fotonya atau tidak? Jadi, ia berusaha untuk cari aman. Total ada delapan orang yang menunggu Alana di depan rumahnya. Begitu melihat Alana menemui mereka, delapan orang itu langsung menyerbu Alana. “Mbak Alana, boleh minta waktunya sebentar buat kami wawancarai?” “Mbak, saya dari majalan Xxxx mau tanya dong, Mbak. Memang benar Mbak Alana dan Mas Arkan putus?” “Kalau boleh tahu alasan putusnya apa, Mbak?” “Apa benar isu adanya orang ketiga?” “Lalu, bagaimana masa depan Double A kalau sampai Mbak Alana dan Mas Arkan putus? Apa kalian masih akan bekerja sama untuk mengurus Double A, atau salah satu akan mengalah dan melepas kepemilikannya terhadap Double A?” Alana hampir lupa jika selain pengelola Double A, Arkan juga merupakan seseorang yang cukup memiliki nama di media sosial. Ia dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses berkat Double A. pengikutnya di sosial media bahkan ada lebih dari lima puluh ribu. Alana dan Arkan sering menjadi panutan bagi anak muda yang sedang ingin memulai usahanya berkat kesuksesan Double A beberapa bulan terakhir. Kepala Alana tiba-tiba terasa pening. Pertanyaan yang diajukan para wartawan itu terlalu spesifik dan to the point. Kalau begini sih, besar kemungkinan Arkan akan mendatangi Alana jika Alana sampai salah bicara. “Mbak Alana, gimana, Mbak?” “Jawab dong, Mbak!” “Satu satu ya, tanyanya!” tegur Alana. Ia mengangkat kedua tangannya, memberi gestur untuk membuat para wartawan itu sabar. “Pertama, saya mau jelasin kalau yang menjalin hubungan kan bukan cuma saya. Ada Arkan juga. Jadi saya merasa nggak punya kuasa buat jelasin langsung ke kalian,” ucap Alana. “Yang kedua, saya bukan publik figur. Sosial media saya aja saya kunci. Saya juga jarang aktif, beda sama Arkan yang memang sudah ada basic publick speaking yang memadai.” “Jadi, bagaimana kalau kalian tanyakan saja pada Arkan? Biar dia yang jelaskan semua. Soalnya saya merasa ini bukan kapasitas saya buat jawab.” “Tapi, Mbak Alana, bisa nggak kasih kami sedikit saja pandangan Mbak Alana tentang hubungan Mbak Alana dengan Mas Arkan?” “Iya, Mbak, kasih clue dong. Soalnya kan kalian juga punya ikatan dalam dunia bisnis. Kalian juga selama ini jadi role model anak muda masa kini yang lagi mau merintis bisnis. Jadi, kami butuh suara dari Mbak Alana juga.” Alana menghela napas panjang. Napasnya terasa semakin berat saat ia gugup dan stres seperti ini. Namun, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumahnya. Alana sedikit berjinjit untuk melihat siapa yang datang. Bahunya merosot saat mendapati salah satu orang yang paling tidak ingin ia temui justru datang di saat Alana terjebak tidak bisa kabur seperti ini. Orang itu adalah Arkan. Dia setengah berlari ke arah Alana dan merangkul pinggang Alana hingga membuat gadis itu terperanjat kaget. “Mas Arkan, boleh minta konfirmasinya? Apa benar hubungan Mas Arkan dan Mbak Alana putus? Dan apa betul kalau alasannya karena adanya orang ketiga?” “Mas Arkan Mas Arkan-” “Maaf, semuanya, saya akan langsung jawab aja, ya,” ujar Arkan. Alana berusaha melepas lengan Arkan di pinggangnya. Namun, pria itu justru semakin erat memeluknya, membuat Alana memiliki firasat buruk tentang apa yang akan Arkan lakukan setelahnya. “Saya dan Alana tidak putus, dan tidak akan pernah putus. Berita yang tersebar di luaran sana itu hoax.” Alana menoleh kaget ke arah Arkan. Berbeda dengan Arkan yang masih tampak tenang. Alana baru sadar, ternyata pria itu memang memiliki kemampuan akting di atas rata-rata. Pantas saja Alana sampai tertipu. “Lalu bagaimana dengan kabar kalau Mbak Alana sudah nggak bekerja di Double A lagi? Katanya juga Mas Arkan sempat kepergok jalan sama perempuan lain?” “Kami memang sempat ada sedikit masalah. Tapi kami tidak putus. Soal Alana nggak kerja beberapa hari ini, saya memang yang minta dia buat istirahat. Dia sempat sakit beberapa waktu lalu dan dia nggak boleh kelelahan,” terang Arkan. “Lalu soal isu perselingkuhan, itu semua hoax. Saya nggak tahu siapa yang kalian maksud. Tapi saya bisa pastikan kalau saya nggak punya wanita lain selain Alana.” “Mas Arkan-” “Sudah, ya! Seharusnya keterangan yang saya berikan tadi sudah cukup. Kebetulan Alana belum benar-benar sehat dan saya datang karena khawatir sama dia. Boleh tolong kalian pergi dulu? Kalau ada yang masih kurang jelas, bisa datang ke kantor saya lagi besok saat jam kerja!” usir Arkan dengan nada tegas. Lalu, beberapa orang datang dan mengarahkan para wartawan itu keluar gerbang. Sepertinya, mereka adalah orang-orang bayaran Arkan. Setelah memastikan para wartawan itu pergi, Arkan menggiring Alana masuk ke ruang tamu. Alana langsung melepaskan diri dari jeratan Arkan dan mendorong pria itu menjauh. “Kenapa nggak jujur aja sama mereka kalau kita udah putus? Dengan begitu, mereka nggak akan mengusik kita lagi, kan?” tanya Alana sinis. Arkan tersenyum miring. “Aku nggak sebodoh itu buat bikin saham Double A anjlok. Lagi pula, kamu pikir kenapa Double A bisa naik seperti sekarang, kalau bukan karena imej couple goals kita? Kamu mau hancurin Double A gitu aja?” Alana tersenyum pilu. Bukankah alasan Arkan sangatlah kejam? Arkan menilai semuanya hanya dari kaca mata bisnis dan sama sekali tidak memikirkan perasaan Alana yang masih rapuh. Namun, Alana seolah tidak berdaya untuk melawan. Ia hanya diam, sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya, mengabaikan Arkan yang masih belum pergi dari ruang tamunya. *** From: Arkan [Aku mengatakan kalau kita masih pacaran, semata-mata demi Double A. jaga sikap kamu, Alana! Jangan sampai kamu melakukan hal bodoh yang dapat merugikan Double A, atau kamu akan terima sendiri akibatnya.] Alana menghela napas panjang. Menurutnya, Arkan adalah pria yang benar-benar kejam. Setelah berselingkuh di belakangnya dan mencampakkannya demi selingkuhannya, sekarang pria itu masih menuntut Alana untuk menjaga nama baiknya. To: Arkan [Kalau kita putus, bagaimana dengan Double A? Bukannya hampir 100% modal Double A adalah milikku?] [Kamu sudah siap meninggalkan posisi kamu sekarang?] [Soal saham atau apapun itu, kamu nggak perlu pikirkan. Aku yang akan mengurus semuanya.] From: Arkan [Kamu lupa siapa yang mengelola Double A dari awal? Bukannya kamu titip modal doang, kan?] [Aku masih ingat. Kamu menggelontorkan sekitar dua ratus juta untuk Double A. aku akan menggantinya nanti. Dan Double A adalah milikku.] Alana meremat ponselnya setelah membaca pesan balasan dari Arkan. Bagaimana bisa begitu? Dalam mendirikan Double A, semua modal berasal dari Alana. Alana pikir, itu adalah usaha mereka bersama. Lagi pula, Arkan juga tidak bekerja cuma-cuma di Double A. Dia tetap mendapat gaji layaknya CEO pada umumnya. Dan sekarang, pria itu malah mengklaim Double A sebagai miliknya. “Nggak. Nggak bisa begini. Aku nggak bisa kehilangan Double A begitu saja. Sejak awal, dia sendiri yang bilang kalau bisnis ini akan jadi punya kami. Dan selama ini, dia di sana juga mendapat gaji. Sedangkan aku yang bantu-bantu di belakang layar justru melakukannya dengan suka rela karena menganggap jika Double A akan selamanya jadi milikku,” gumam Alana. Ia bisa saja melepas Arkan, setelah ia tahu betapa jahatnya pria itu. Arkan memang tidak layak untuk ia perjuangkan. Namun, Double A yang semua modalnya ia pinjam dari sang ayah, dan perjuangannya selama lebih dari setahun mencari customer? “Aku harus menemui Arkan besok. Aku harus meminta hakku kembali. Aku nggak terima kalau semua ini hanya dia anggap sebagai pinjaman. Sedangkan ide bisnis, modal, dan customer, semuanya berawal dari aku,” lanjut Alana. Alana benar-benar merasa pening. Ia tidak bisa tidur, hingga akhirnya memutuskan ke dapur untuk membuat minuman. “Non belum tidur? Mau Bibi siapin camilan juga?” tanya Bi Murni. Sepertinya wanita itu juga merasa haus di tengah malam seperti ini. “Nggak usah, Bi. Aku cuma haus aja, kok. Dan ini tehnya juga udah jadi,” tolak Alana. “Istirahat, ya, Non! Jangan kebanyakan begadang, nanti Non Alana sakit lagi,” ujar Bi Murni. Alana tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bi. Bibi juga langsung istirahat ya, setelah ini!” Setelah itu, Alana kembali ke kamar. Ia duduk sambil mulai membuka laptopnya. Ia masuk ke website Double A yang sejak lama tidak pernah lagi ia cek. Ternyata, empat bulan terakhir, brand-nya itu mengalami kemajuan pesat. Omzet bulanannya mencapai ratusan juta. Namun, Alana tidak pernah mendapat apa-apa dari sana. Padahal, selama ini Alana juga turut membantu memasarkan produknya. Ia juga yang riset ke sana-ke mari untuk mencari bahan terbaik dengan harga miring. Ia selalu berupaya, bagaimana caranya agar Double A bisa memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Arkan tinggal menjalankan operasionalnya saja. Mengatur produksi di pabrik dan distribusinya. Soal keuangan, Alana tidak pernah ingin tahu. Dan ternyata, sekarang semua itu malah diklaim oleh Arkan. “Apa sejak awal dia mendekati dan menjalin hubungan sama aku cuma buat ini?” pikir Alana, mulai melanglang buana dan tak dapat berpikir positif lagi. *** “Non Alana rapi banget pagi-pagi. Mau ke mana, Non?” tanya Bi Murni sambil menuangkan jus untuk Alana di meja makan. “Mau ke kantor, Bi,” jawab Alana. “Wah, iya juga. Non Alana sudah lebih dari dua bulan ini nggak ngurusin bisnis Non sama Mas Arkan.” Alana hanya tersenyum tipis. Sepertinya belum waktunya Bi Murni tahu detail kisahnya dan Arkan yang kini jadi kacau. Usai sarapan, Alana naik taksi pergi ke perusahaan yang ia rintis bersama Arkan. Beberapa orang menyapanya ramah seperti biasa, meski awalnya mereka tampak kaget. Alana naik ke lift, menuju ke ruangannya yang berada di lantai paling atas bangunan ini. Dan saat melewati ruang kerja mantan kekasihnya, ruangan itu tampak masih sepi. “Mbak Alana?” “Hay, Naya. Bisa bantu saya siapkan laporan penjualan, keuangan dan daftar klien kita dua bulan ini?” pinta Alana. Naya tampak bimbang. Naya ini, adalah salah satu manajer di perusahaan Alana. Dia juga dekat dengan Arkan, bisa dibilang sebagai salah satu orang kepercayaan Arkan juga. “Nanti saya minta izin sama-” “Nggak perlu izin siapa-siapa. Kamu tahu, kan, kalau saya juga pemilik perusahaan ini? Saya tunggu ya, Naya? Kalau bisa sebelum tiga puluh menit semua berkasnya sudah ada di atas meja kerja saya,” tegas Alana yang tidak mau dibantah. Ia tahu, pada siapa Naya akan meminta izin. Namun, Alana merasa itu tidak perlu. Posisi Arkan di sini tidak lebih tinggi darinya. “B- baik, Mbak. Sebentar saya ambilkan,” balas Alana dengan nada bergetar. Sepertinya gadis itu mulai menangkap sinyal-sinyal yang janggal pada perilaku dan ucapan Alana. Namun, Alana memilih untuk tidak ambil pusing. Ia pun segera masuk ke salah satu ruang kerja yang berukuran hampir sama dengan milik Arkan. Alana membuka ponselnya. Tiba-tiba, ia teringat dengan Langit. Padahal, pria itu sudah setuju untuk menjadi pacar pura-puranya. Namun, kenapa sampai sekarang dia tidak pernah menghubungi Alana? “Ck, apa dia nggak serius mau jadi pacar pura-puraku waktu itu? Dia pasti bohong, kna?” gumam Alana. Mendadak, suasana hatinya menjadi semakin suram. To: Dokter Langit [Pagi, Dok.] [Hari ini sibuk? Gimana kalau nanti malam kita makan bareng? Saya yang traktir.] Alana menatap layar ponselnya dengan saksama. Status pesannya sudah terkirim dan diterima oleh dokter tampan itu. Namun, hingga beberapa menit, Langit tak kunjung membalasnya. To: Dokter Langit [Dokter serius, kan, mau jadi pacar pura-pura saya?] [Waktu itu Anda sudah janji loh.] Dua simbol centang yang awalnya berwarna abu-abu, tiba-tiba berubah menjadi biru. Alana langsung menegakkan posisi duduknya. Entah kenapa, ia jadi antusias menunggu pesan balasan dari Arkan. “Permisi, Mbak!” Alana mengalihkan tatapannya. Mendengar suara Naya dari luar ruangannya, sepertinya kini ia harus mengabaikan sejenak urusan pribadinya dengan Langit. “Masuk!” Beberpa detik kemudian, Naya muncul dari balik pintu. Gadis itu membawa lima map yang warnanya berbeda-beda. Alana tahu betul arti warna dari setiap map itu. Dua milik bagian keuangan, dua milik bagian penjualan, dan satu milik Naya sendiri - yang kemungkinan berisi daftar klien besar produk Double A saat ini. Alana mempersilakan Naya untuk meletakkan berkas-berkas yang ia bawa ke mejanya. “Ya sudah, kalau begitu, kamu boleh keluar. Makasih ya, Nay,” ucap Alana. “I- iya, Mbak. Kalau begitu, saya permisi,” pamitnya. Setelah kepergian Naya, Alana kembali mengecek ponselnya. Namun, Langit masih belum membalas pesannya, yang membuat ia menghela napas kesal. Lalu, Alana pun melanjutkan pekerjannya. Ia mulai membuka berkas yang ada di dalam map berwarna biru. Ia membaca dengan saksama laporan penjualan produknya itu. Ia cukup terkejut melihat diagram baris di lembar ke enam. Masih tak menyangka, jika Double A ternyata sudah sebesar ini. Arkan sama sekali tidak pernah mengatakan apa-apa padanya. Sepertinya pria itu memang berniat untuk menguasai Double A. Usai membuka kedua berkas bermap biru itu, Alana beralih ke satu-satunya map putih yang ia yakini milik Naya. Dan dari sana, ia baru tahu jika beberapa klien yang ia dekati dulu, ternyata berhasil bekerja sama dengan Double A. bahkan, Arkan juga tak melaporkan hal ini pada Alana. Alana terkekeh miris. Dan terakhir, Alana mulai membuka berkas berwarna merah. Berkas laporan keuangan perusahaannya. Namun, saat Alana baru membuka lembar ke tiga, pintu ruangannya dibuka oleh seseorang, membuat ia mendongak kaget. “Siapa yang ngizinin kamu ke sini?” tanya orang itu ketus. Alana terkekeh remeh. “Kenapa aku harus meminta izin pada orang lain saat aku mau ke perusahaanku sendiri?” Pria itu berjalan mendekat ke arah Alana. Sementara Alana menatapnya dingin. Arkan meraih map yang ada di atas meja kerja Alana. Namun, saat akan mengambil map di tangan Alana, Alana menjauhkannya. “ALANA!” “Aku berhak tahu kan, apa saja yang terjadi di perusahaanku selama ini? Ingat, Kan, perusahaan ini punyaku juga. Kamu bahkan nggak punya apa-apa di sini, karena selama menduduki posisi CEO pun kamu juga mendapat gaji dari perusahaan. Sedangkan aku? Aku yang bekerja di balik layar, aku yang mengeluarkan modal, aku yang diam-diam berjuang tanpa tahu apa-apa saja yang terjadi di perusahaanku selama ini,” ujar Alana dengan mata merah menyala. Arkan tersenyum sinis, “perlu aku ambil dan bawakan ke sini dokumen kepemilikan perusahaan ini?” Alana mengepalkan tangannya. Sepertinya, di luar sepengetahuannya, Arkan sudah bertindak lebih jauh untuk mengakuisisi Double A. Apakah ini artinya Alana akan kalah, dan harus rela melepas perusahaan yang selama ini ia perjuangkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN