"Tidak usah buru-buru." Pak Rido mencekal tangannya. Tak mengizinkan Dela berjalan selangkah pun.
Dela merasakan ketakutan sekarang, padahal baru beberapa hari yang lalu, dia tenangkan hatinya.
Mau menelpon Mas Ilham, tentu akan terlambat untuk itu. Butuh waktu lama untuk Ilham sampai ke sini, belum lagi kemacetan yang semakin parah di Jakarta ini.
Sementara Kalau Dela berteriak, perempuan itu rasa itu adalah hal yang sia-sia, sekolah benar-benar sepi, sangat tidak memungkinkan untuk dia berteriak meminta tolong, karena tak kan ada yang mendengarnya juga.
Seringai di wajah Pak Rido mengingatkan Dela pada seringai yang sama beberapa tahun yang lalu.
Ini sangat menjijikkan, Dela melihat sebuah gunting yang tertata rapi di atas meja. Gunting yang biasa dia gunakan untuk memotong kertas dan benda lainnya yang dibutuhkan untuk bahan mengajar.
Tanpa berpikir panjang, Dela mengambilnya. Dia arahkan benda itu ke perut Pak Rido yang berada tepat di sampingnya.
“Jangan sentuh saya atau gunting ini akan melukai perut anda!” ancam Dela. Tangannya bergetar, menunjukkan ketakutan yang teramat dia rasakan saat ini.
Pak Rido lantas melepaskan tangan Dela, lalu dia mengangkat kedua tangannya sendiri tinggi-tinggi.
“Diam di sana, biarkan saya keluar!” Dela berjalan menuju pintu yang tertutup.
Shit, ternyata di kunci. Sejak kapan? Dela bahkan tak melihat Pak Rido menguncinya tadi.
Apa ada orang lain di luar?
Habislah! Berakhir sudah semuanya.
Dela tak kan lagi punya tempat untuk lari kalau di Jakarta pun dia sampai menjadi korban kebejatan laki-laki seperti Pak Rido.
Apakah memang tak ada tempat aman di dunia ini?
Dela memutar gagang pintu ke bawah lalu menariknya. Namun pintu sama sekali tak bisa terbuka.
Saking fokusnya dengan handle pintu yang tak berfungsi sama sekali, Dela bahkan sampai tidak menyadari bahwa Pak Rido sudah ada di belakangnya.
Brak ... Gunting yang dia pegang di tendang oleh Pak Rido hingga jatuh menjauh darinya, entah ke mana.
Saat dirasa Dela sudah tak memiliki sesuatu yang membahayakan, Pak Rido lantas menyerang.
Dia menekan tubuh Dela ke pintu, “salah kamu sendiri, mempunyai wajah cantik dan tubuh yang sangat menggoda.” Pak Rido menyentuh tubuh Dela mengikuti bentuk body Dela yang mirip gitar spanyol.
“Lepasin! b******n. Kamu ga pantes menjadi bagian dari sekolah kalau kelakuanmu seperti ini.” Dela memberontak, namun tenaganya kalah jauh dari si tua Bangka ini.
Melihat Dela seperti ini, membuat keliaran laki-laki berstatus kepala sekolah ini semakin menjadi.
“Kamu semakin menggoda saat sedang marah.” Mata Pak Rido tertuju pada dua buah buah kenyal yang berdiri angkuh di d**a Dela. Emosi yang tersulut membuat d**a perempuan itu bergerak naik turun semakin menggairahkan.
Plak ... Dela menampar pipi Pak Rido lalu dia dorong tubuh lelaki itu dengan sekuat tenaga.
Dela bebas sekarang, tapi tetap saja dia tak bisa lari.
Dela lantas berlari menjauhi Pak Rido yang kini semakin marah karena perbuatan Dela. Dia usap pipinya dengan telapak tangannya, sementara matanya tak henti menatap Dela yang sekarang berdiri di balik meja kerjanya.
Kursi yang biasa dia duduki pun dia pegang, berjaga-jaga kalau Pak Rido akan balik menyerang.
"Kalau kamu mendekat, aku ga akan segan-segan lempar kursi ini ke kepala kamu," ancam Dela.
“Aku sudah tidak takut apapun. Kalau saya hancur, maka kamu juga harus hancur bareng saya.” Tidak bisa Dela bayangkan bagaimana nasib karirnya di Jakarta kalau dia sampai menjadi korban kebejatan kepala sekolah m***m ini. Kursi yang dia jadikan tameng, dia pegang kuat-kuat.
Jauh-jauh dari Madura untuk memperbaiki hidup, lantas setibanya di sini malah mengalami hal buruk yang bahkan membayangkannya saja, Dela tak berani.
Luka hatinya masih begitu menyakitkan, seolah tak ada obat untuk menyembuhkannya. Jangan ditambah dengan yang seperti ini lagi.
“Kamu ... Harus membayar mahal perbuatan kamu pada saya!” Pak Rido melangkah dengan seringai yang lebih menakutkan dari yang tadi.
Dela mundur beberapa langkah dengan tangan masih memegang kursi untuk melindungi tubuhnya.
Pak Rido tidak terlihat takut, karena dia tahu ... Kursi yang Dela pegang tidak akan mampu diangkat olehnya. Kursi itu berat dan hanya akan menyulitkan Dela kalau dia mengangkatnya.
Pak Rido lantas menarik paksa kursi itu hingga terlepas dari tangan Dela. Saking kuatnya tarikan itu, Dela sampai tertarik ke depan namun buru-buru dia lepaskan agar tubuhnya tidak jatuh ke lantai.
Pak Rido mendorong kursi itu hingga menabrak dinding. Tentu itu membuat Dela tersentak kaget karena suara gebrakannya teramat nyaring. Menandakan si pendorong mendorongnya dengan keras.
Reflek, Dela memakai tas yang masih bertengger di bahunya untuk melindungi tubuhnya, lebih tepatnya hanya menutupi dadanya saja.
Dan itu membuat Pak Rido semakin merasa berkuasa penuh atas diri Dela. Tidak akan ada yang datang apalagi menolong Dela.
“Cium kaki saya, maka saya akan maafkan kamu karena sudah menampar wajah saya.” Pak Rido mencoba untuk menjatuhkan harga diri yang sejatinya memang itulah yang sejak tadi dijaga Dela.
Cuih ... Dela tak Sudi. Dia meludah hampir tepat di kaki Pak Rido.
“Kamu!” sudah habis kesabaran Pak Rido. Dia menarik rambut belakang Dela lalu tangan satunya dia pergunakan untuk mencekal tangan kanan Dela.
“Saya semakin tergoda untuk membuat kamu sakit dan mendesah. Saya semakin tertarik untuk membuat kamu kelelahan karena saya.” Diserbunya ceruk leher Dela yang terekspos di depannya. Saat Dela mencoba memberontak, Pak Rido hanya tinggal menarik rambut Dela, maka secara otomatis kepala perempuan ini akan terangkat ke atas.
Dela tak peduli dengan sakit ke kepalanya. bahkan kalau harus menjadi botak karena melawan, dia tak peduli. Dia memberontak, dan Pak Rido memperkuat tarikan di rambut Dela.
Dela menggunakan tangan kirinya untuk mendorong Pak Rido menjauh dari tubuhnya, tapi kemudian, Pak Rido mencekal tangannya lagi. Rambut Dela dia lepaskan sebab dia sudah cukup puas bermain di leher jenjang si guru cantik, Dela.
Pak Rido sungguh biadab. Dia tak henti mencumbui leher Dela lalu kemudian turun ke d**a karena ternyata kancing baju seragam Dela terbuka satu, memperlihatkan kain putih tipis yang menutupi kain bernama bra di sana.
Dela terus memberontak meski saat dia melakukannya, tarikan di rambutnya menjadi semakin kuat dan menyakitkan.
Tangan kiri Dela sekuat tenaga berusaha mendorong tubuh Pak Rido, hingga keasyikan lelaki itu terganggu karenanya.
“Lepasin, b*****t!” Dela terus memberontak. Tidak dia pedulikan rasa sakit atau bahkan kalau rambutnya botak sekalipun karena ditarik oleh Pak Rido.
Merasa tak nyaman dengan posisinya, Pak Rido melepaskan rambut Dela. Lalu mencekal tangan milik Dela yang satunya.
Satu tangan Pak Rido mengunci satu tangan lagi milik Dela. Kedua tangan perempuan itu kini tak bisa lagi digerakkan. Tenaga Pak Rido jauh lebih besar dari tenaga yang Dela punya.
Terlebih, Pak Rido mengunci tangan itu ke atas, dan menekannya ke dinding.
Sekarang, kuasa berada penuh pada Pak Rido.
Lelaki itu menyerbu bibir Dela. Dan Dela menggunakan kesempatan itu untuk menggigit bibir Pak Rido.
“Jalang! Benar-benar kamu, ya?!”
Rupanya Pak Rido salah telah menikmati bibir yang hanya bisa dia nikmati kalau lawannya mau b******u dengan sukarela.
Lantas dia menenggelamkan wajahnya di belahan d**a Dela yang masih ditutupi dua kain di sana, Kain pembungkus yang dilihat Pak Rido justru hanya membuat isi di dalamnya keluar di bagian tengahnya. Sementara kain tipis di atasnya sama sekali tak berfungsi apa-apa sebab sekarang Pak Rido masih bisa melihat dengan jelas bagaimana menggodanya benda yang tersembunyi di dalam. Itu sungguh sangat menggoda.
"Kalau kamu masih mau ngajar di sini, ayo nikmati saja permainan ini. Tapi kalau tidak ...." Pak Rido masih saja ingin bernegosiasi.
Sekolah bukan hanya di sini, Dela pastikan akan mendapatkan tempat yang jauh lebih baik dari di sini.