Bab 3 Pengantin yang Lapar

1096 Kata
Pagi itu, Ferdinan melangkah masuk ke kamar hotel dengan wajah lelah namun tetap memancarkan ketegasan yang khas. Dia terdiam sejenak ketika melihat pemandangan yang tak diduganya di dalam kamar. Di meja kecil dekat jendela, Alzena sedang menikmati sarapan—bukan satu, tetapi dua porsi sekaligus. Dengan tatapan penuh rasa takut, Alzena menoleh saat menyadari kehadiran Ferdinan. Dia tersentak, seolah tertangkap basah, dan matanya melebar seakan tak tahu harus berbuat apa. Ferdinan menaikkan alis, sedikit terkejut namun tak menyembunyikan senyum sinisnya. "Benar-benar tak kusangka, pengantin baruku punya nafsu makan besar,” katanya dengan nada dingin. Alzena menelan ludah, wajahnya memerah karena malu. Sebenarnya, dia memang merasa sangat lapar setelah semalam nyaris tidak bisa tidur karena rasa cemas. Tanpa pikir panjang, dia memesan dua porsi sarapan, berharap makanan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari segala kerumitan yang menghantui pikirannya sejak pernikahan mendadak ini. “Aku… aku tidak tahu kau akan datang secepat ini,” ujar Alzena terbata-bata, mencoba mencari alasan. “Aku hanya merasa lapar…” Ferdinan mendekat, melipat tangannya sambil memandangi Alzena dengan tatapan dingin. "Tidak perlu menjelaskan. Lagipula, apa pun yang kau lakukan di sini takkan membuat pernikahan ini jadi berarti," katanya tanpa basa-basi. “Satu hal yang harus kau tahu, aku tidak menganggap ini pernikahan yang sesungguhnya, dan aku berharap kau tidak akan berharap lebih.” Alzena menunduk, hatinya terasa perih mendengar kata-kata tajam itu. “Aku tidak pernah meminta pernikahan ini, Ferdinan. Aku hanya mengikuti permintaan keluarga untuk menggantikan Kaira. Tidak lebih.” Ferdinan mendengus, seolah tak percaya. "Jadi, kau sama sekali tak punya kepentingan dalam pernikahan ini? Bukankah kau yang sekarang berada di posisi ‘istri’ setelah Kaira pergi tanpa jejak?" Alzena menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk. “Aku hanya melakukan ini demi keluargaku, bukan karena aku menginginkannya. Aku tahu kau tidak suka padaku, dan aku juga tidak berharap banyak dari pernikahan ini,” jawabnya dengan suara pelan namun tegas. "Aku tahu kau pasti, mau menikah denganku karena uang bukan, kau akan menikah dengan seorang Konglomerat sepertiku bukan?" "Ya , kau benar, aku memang materlistis, aku menikah karena uang, dan kuharap kau bersiap-siap, karena aku akan menguras uangmu dan juga merebut perusahaanmu, kau mengerti!" Untuk pertama kalinya, Ferdinan terlihat sedikit bingung. Ada kejujuran yang terpancar dari ucapan Alzena, sesuatu yang membuatnya merasa Alzena mungkin tidak seburuk yang ia kira. "Hhhh, kata-katamu seolah kau bukan seperti itu, namun aku tahu orang-orang sepertimu itu bagaimana !" "Lalu bagaimana dengamu? yang meninggalkan pengantinnya sendirian, tanpa pesan apapun!" Namun, dia buru-buru menepis perasaan tersebut, meyakinkan dirinya bahwa Alzena tetaplah bagian dari intrik pernikahan yang diatur oleh keluarganya. "Terserah kau mau berpikir apa," ucap Ferdinan akhirnya, mencoba menegaskan jarak di antara mereka. "Aku akan pergi lagi setelah ini. Dan aku tidak peduli apa yang kau lakukan di sini." Tanpa menunggu jawaban, Ferdinan berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Alzena sendirian dengan perasaan campur aduk. Meski hatinya terasa terluka oleh sikap dingin Ferdinan, Alzena mencoba menenangkan diri dan berjanji untuk tetap menjalani peran ini tanpa berharap apa pun. Dia tahu bahwa perjalanannya sebagai ‘istri pengganti’ ini akan penuh dengan tantangan. Namun, dalam hati kecilnya, Alzena bertekad untuk tetap bertahan, meski harus berhadapan dengan pria yang seolah menolak kehadirannya setiap waktu. Pagi itu, Alzena berjalan di belakang Ferdinan dengan langkah bingung, masih memikirkan mengapa Ferdinan mengajaknya bulan madu ke Bali namun tetap memesan dua kamar di villa yang mereka tempati nanti. Di satu sisi, Alzena merasa sedikit lega karena setidaknya tidak harus berbagi kamar dengan pria yang masih terasa asing baginya, meskipun sekarang secara hukum ia adalah suaminya. Namun, rasa bingung Alzena berubah menjadi keterkejutan dan kekecewaan begitu mereka tiba di bandara. Ferdinan tidak hanya mengajaknya, tapi juga seorang wanita lain yang segera dikenali Alzena sebagai Katrine—seorang aktris terkenal dan kekasih Ferdinan yang sudah lama beredar dalam berita-berita gosip. Pagi itu, mereka bertiga melakukan perjalanan yang tampaknya sudah direncanakan dengan sangat rahasia; berangkat pada jam empat pagi untuk menghindari wartawan dan paparazzi. Saat mereka menunggu penerbangan di ruang tunggu bandara, Alzena merasa terpinggirkan. Ferdinan dan Katrine duduk berdekatan, saling berbicara dan tertawa tanpa sedikit pun memperhatikan keberadaannya. Sesekali, Katrine merapatkan diri pada Ferdinan, dan mereka bahkan tidak ragu saling berpelukan di hadapan Alzena. Ketika mereka akhirnya duduk bersebelahan di ruang tunggu, Katrine menyenderkan kepalanya pada bahu Ferdinan sambil berbisik, “Kau benar-benar romantis, mengajak kita bulan madu bersama. Aku tahu, hanya aku yang kau cintai.” Ferdinan tersenyum, membalas bisikan Katrine dengan lembut sambil melirik sekilas ke arah Alzena, seolah ingin menunjukkan pada Alzena bahwa dia tidak berarti baginya. Alzena merasa hatinya tersayat, tetapi ia memilih menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanan ini akan sekejam ini. Ketika mereka naik ke pesawat, Alzena dengan berat hati mengikuti mereka. Ferdinan dan Katrine memilih kursi berdampingan, sementara Alzena duduk agak jauh, sendirian. Dalam diam, dia menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar perjalanan bulan madu—ini adalah pernyataan tak langsung dari Ferdinan bahwa ia tidak diinginkan di sini, dan bahwa Katrine adalah wanita yang sebenarnya ia anggap sebagai pendamping hidup. Saat pesawat lepas landas, Alzena berusaha menenangkan pikirannya. Ia menyadari bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan pada Ferdinan, pria yang bahkan tidak memberinya sedikit pun penghargaan sebagai istrinya, walau sekadar dalam bentuk sopan santun. Bagi Ferdinan, Alzena hanyalah pengganti sementara yang harus diabaikan. Ketika sampai di Bali, perasaan terasing Alzena semakin mendalam. Ferdinan dan Katrine terus menunjukkan kemesraan mereka tanpa peduli perasaan Alzena. Bahkan di depan staf villa tempat mereka menginap, Ferdinan memperkenalkan Katrine sebagai “orang penting” dalam hidupnya, sementara Alzena hanya diperkenalkan sekilas sebagai “anggota keluarga.” Semua ini dilakukan seolah Alzena tidak lebih dari sekadar tamu tak diundang. Di dalam villa, Alzena masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melalui hari-hari ini. "Hah, ini awal.yang berat bagiku, tapi ingat .. aku adalah seorang wanita tangguh, bahkan aku sejak kecil sudah ditinggalkan orangtuaku."gumam Alzena. Meskipun sakit hati, ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan Ferdinan dan Katrine. Di balik perasaan terluka, Alzena mulai merencanakan bagaimana caranya agar ia dapat melalui semuanya dengan kepala tegak, meski cintanya tak dianggap. Saat makan malam tiba mereka makan di resto dekat villa dan Alzena duduk sendiri, di meja terpisah dengan Ferdinan. Alzena hanya fokus pada makanan baginya saat inu dia harus makan yang banyak supaya imun tubuhnya kuat, menahan penderitaan yang di berikan oleh Ferdinan. "Hahh, Alhamdulillah, akhirnya aku makan enak, bodo amat mereka mau apa, yang terpenting saat ini aku makan!" "Nona,kau sendirian?" seorang bule tampan mendekati Alzena. "Ehmm, ya, aku duduk sendiri. "Alzena melirik ke Ferdinan. "Duduk dengan siapa dia ?"Ferdinan memicingkan matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN