Bab 7 Interview

1074 Kata
Pagi itu, Ferdinan berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Penampilannya, seperti biasa, sangat rapi dan penuh wibawa. Ia hendak berangkat ke kantornya, tempat di mana ia memegang kendali sebagai CEO perusahaan besar. Namun, aroma wangi dari dapur mengalihkan perhatiannya. Di meja makan, Alzena telah menyiapkan sarapan sederhana. Sepiring nasi goreng dengan irisan telur dadar dan beberapa potong buah segar sudah tersaji. Ia sibuk menyeduh teh hangat, mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang krem yang membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Ferdinan melangkah ke meja makan, lalu berhenti sejenak, menatap hidangan di depannya. "Kamu selalu sempat menyiapkan sarapan, ya?" tanyanya dingin. Alzena menoleh dan tersenyum tipis. "Saya pikir, setidaknya Anda tidak perlu keluar rumah tanpa sarapan. Itu tidak baik untuk kesehatan." Ferdinan mendengus kecil, ragu apakah ia ingin makan atau tidak. Namun, aroma nasi goreng itu begitu menggoda, dan akhirnya ia menarik kursi serta duduk. Alzena, yang sudah selesai menyiapkan semuanya, melepaskan apron dan mulai merapikan tas kecilnya. "Kamu mau ke mana?" tanya Ferdinan, sambil mengambil suapan pertama. Ekspresinya berubah sejenak, menunjukkan bahwa masakan Alzena kembali berhasil membuatnya terpukau, meski ia berusaha menyembunyikannya. "Saya ada jadwal wawancara kerja," jawab Alzena santai sambil memeriksa isi tasnya. Ferdinan mengangkat alis. "Wawancara kerja? Kamu kan sekarang tinggal di sini. Apa perlu bekerja?" Alzena menatap Ferdinan dengan sorot mata tegas. "Hidup saya tidak akan berhenti hanya karena tinggal di sini, Ferdinan. Saya ingin mandiri, punya kehidupan sendiri. Bukankah itu yang Anda inginkan juga? Tidak saling bergantung." Ferdinan tidak menjawab, hanya menatap Alzena dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia merasa sedikit terusik, namun memilih untuk tidak memperlihatkannya. "Kamu tahu kan, aku punya banyak perusahaan? Kalau kamu butuh kerja, aku bisa memberimu posisi," ucapnya setelah beberapa saat. Alzena tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Terima kasih, tapi saya lebih memilih mencari pekerjaan sendiri, tanpa campur tangan Anda. Saya ingin mendapatkan sesuatu dari usaha saya sendiri." Ferdinan terdiam. Ia tidak terbiasa melihat seseorang yang menolak kemudahan, apalagi dari dirinya. Kebanyakan orang akan memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun, Alzena berbeda. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Ferdinan semakin penasaran, meski ia tak ingin mengakuinya. "Semoga berhasil," ujar Ferdinan singkat, sebelum melanjutkan sarapannya. "Terima kasih," jawab Alzena, mengambil tasnya dan bergegas keluar. Sebelum pergi, ia menoleh sejenak. "Oh, dan nikmati sarapan Anda. Saya tidak selalu punya waktu untuk memasak seperti ini setiap hari." Setelah Alzena pergi, Ferdinan duduk termenung. Ia tak bisa memahami mengapa kehadiran wanita sederhana itu mulai memengaruhi rutinitasnya. Di satu sisi, ia merasa terganggu dengan kehadirannya. Namun, di sisi lain, ada rasa nyaman yang mulai ia rasakan setiap kali Alzena ada di sekitarnya. Hari itu, saat melangkah ke kantornya, pikiran Ferdinan terus kembali pada wanita yang sekarang tinggal di apartemennya. Sementara itu, di tempat lain, Alzena melangkah penuh percaya diri menuju wawancara, siap menghadapi tantangan baru dalam hidupnya. Pagi itu, Alzena berdiri di halte busway, mengenakan blus putih dengan detail ruffle di bagian d**a dan celana panjang hitam. Penampilannya sederhana namun tetap terlihat elegan. Rambutnya yang hitam legam diikat rapi, dan tas kecil berwarna cokelat tergantung di bahunya. Ini adalah hari penting baginya, wawancara kerja pertama sejak pindah ke apartemen Ferdinan. Saat busway datang, ia naik dengan langkah percaya diri, meski dalam hati ada sedikit rasa gugup. Perjalanan menuju kantor cukup membuatnya berpikir panjang. "Apakah keputusan ini benar? Bagaimana jika aku gagal? Tapi setidaknya aku sudah mencoba," batinnya mencoba meyakinkan diri. Setibanya di kantor perusahaan alat kantor dan konstruksi itu, suasana terlihat sibuk. Gedungnya tidak terlalu besar, tetapi terlihat profesional. Alzena melangkah masuk ke ruang wawancara dengan senyum tipis yang menunjukkan keyakinan. "Selamat pagi, saya Alzena," sapanya kepada pewawancara. Proses wawancara berlangsung cukup lancar. Pewawancara terlihat terkesan dengan kemampuan komunikasi Alzena, terutama saat ia menjelaskan tentang strategi pemasaran dan pengalaman akademiknya yang membuktikan ia memiliki pengetahuan luas. Meski ini adalah posisi magang, Alzena menunjukkan keinginan besar untuk belajar dan berkembang. Sore harinya, Alzena mendapat kabar bahwa ia diterima. Ia akan bekerja di bagian pemasaran, bertugas mengunjungi perusahaan-perusahaan untuk menawarkan produk-produk mereka, mulai dari peralatan kantor hingga perlengkapan konstruksi. "Alhamdulillah, ya Allah, akhirnya saya bekerja." "Jadi kamu diterima bekerja!"ujar Ferdinan dengan wajah mengejek. "Iya," ujar Alzena. "Ooh,"Ferdinan berlalu begitu saja. --- Hari pertama Alzena di kantor berjalan dengan cepat. Ia diperkenalkan kepada timnya dan mendapatkan briefing singkat tentang produk yang harus dipromosikan. Supervisor-nya, Pak Joko, seorang pria paruh baya yang ramah, menjelaskan bahwa pekerjaan ini membutuhkan keberanian dan komunikasi yang baik. "Tugas kamu adalah menjalin hubungan dengan perusahaan klien. Jangan khawatir, kami punya daftar perusahaan yang akan kamu kunjungi. Tapi kamu harus siap menghadapi penolakan dan tantangan, ya," ujar Pak Joko sambil tersenyum. Alzena hanya mengangguk penuh semangat. Meski baru pertama kali bekerja di dunia nyata, ia merasa tertantang. --- Beberapa hari kemudian, Alzena mulai terjun langsung ke lapangan. Dengan membawa katalog produk dan proposal penawaran, ia mengunjungi perusahaan-perusahaan sesuai dengan jadwal yang diberikan. Salah satu kunjungan pertamanya adalah ke sebuah perusahaan properti besar di pusat kota. Dengan langkah percaya diri, Alzena memasuki gedung tersebut, membawa dokumen lengkap. Meski sempat gugup, ia berhasil menyampaikan presentasi singkat tentang produk-produk yang ditawarkan perusahaannya. Presentasinya sederhana namun meyakinkan, membuat klien tertarik untuk mempertimbangkan kerja sama. Namun, tidak semua klien yang ia temui bersikap ramah. Ada beberapa yang langsung menolak dengan dingin atau bahkan tidak memberikan perhatian. Meski begitu, Alzena tidak menyerah. "Setiap penolakan adalah pelajaran," gumamnya, mencoba menyemangati diri setiap kali menghadapi kesulitan. Dalam waktu dua minggu, Alzena sudah mulai menunjukkan hasil. Ia berhasil menjalin kontak dengan beberapa perusahaan kecil yang tertarik untuk mencoba produk perusahaannya. Supervisor-nya bahkan memuji inisiatif dan cara bicara Alzena yang profesional namun tetap ramah. Di satu sisi, pekerjaan ini memberikan kepuasan tersendiri bagi Alzena. Ia merasa berguna dan mandiri, meski posisi yang ia tempati masih sebagai karyawan magang. Alzena belajar bahwa ketekunan dan sikap positif adalah kunci untuk bertahan dalam dunia kerja, terutama di bidang pemasaran. --- Sementara itu, Ferdinan, yang mengetahui bahwa Alzena sudah mulai bekerja, tidak menunjukkan perhatian khusus. Baginya, apa yang dilakukan Alzena bukan urusannya. "Keras kepala, ngapain sih dia kerja, toh aku bisa kasih uang bulanan buat dia." Namun, diam-diam ia merasa kagum. Tidak seperti Katrine yang hidupnya bergantung pada kemewahan, Alzena memilih untuk bekerja keras dan menjalani hidupnya sendiri. "Dia berbeda," pikir Ferdinan sesaat sebelum kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Tanpa mereka sadari, perjalanan baru dalam hidup Alzena ini perlahan mulai mempengaruhi hubungan mereka berdua. Alzena, dengan tekad dan ketulusan, menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang wanita sederhana yang terjebak dalam pernikahan tak terencana, tetapi juga seseorang yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN